Urusan Perusahaan | Hukum Benda

Urusan Perusahaan

Urusan Perusahaan atau yang dalam bahasa belanda disebut dengan handelszaak, adalah segala urusan yang berkaitan dengan perusahaan baik yang bersifat material maupun immaterial, yang termasuk kedalam lingkungan perusahaan.[1] Dalam hal ini perusahaan yang berbadan hukum. Urusan perusahaan dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek ekonomi dan aspek hukum. Pada aspek ekonomi, urusan perusahaan ini haruslah dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh. Antara urusan perusahaan yang satu dengan urusan perusahaan yang lain tidak dapat dipisahkan, karena dari urusan perusahaan itulah suatu perusahaan dapat berdiri dan menjalankan kegiatan usahanya sebagaimana mestinya. Apabila ada satu urusan perusahaan yang tidak ada, maka kegiatan perusahaan akan berhenti atau terhambat, sehingga perusahaan akan mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan perusahaan.

Jika dilihat dari aspek hukum, urusan perusahaan merupakan hal yang terpisah antara satu dengan yang lainnya karena masing-masing urusan perusahaan memiliki hukumnya masing-masing. Misalnya aturan untuk utusan yang berupa benda memiliki perbedaan dengan urusan perusahaan yang bukan benda. Urusan Perusahaan yang berupa benda bergerak aturannya akan berbeda dengan urusan perusahaan yang berupa benda tetap. Demikian juga untuk benda yang berwujud maupun yang tidak berwujud. [2]

Ada beberapa jenis urusan perusahaan, yaitu Bukan Benda, Benda Bergerak, dan Benda Tetap.

1.    Bukan Benda

Yang termasuk kedalam hal ini adalah karyawan, pelanggan, relasi, dan perusahaan itu sendiri apabila perusahaan tersebut berbentuk badan hukum, dan lain-lain. Perbuatan hukum yang terpenting dalam urusan perusahaan ini adalah perbuatan jual beli urusan perusahaan, terutama yang berkaitan dengan penyerahan benda-benda tersebut. [3]

 

2.    Benda Bergerak

a.    Benda bergerak berwujud, misalnya, meja, kursi, computer, sepeda motor, mobil, truk, barang dagangan, dan lain-lain.

b.    Benda bergerak tidak berwujud, misalnya saham, obligasi, cek, wesel, bilyet giro, piutang, merek dagang, paten, nama perusahaan, dan lain-lain.

 

3.    Benda tetap

a.    Benda tetap berwujud, misalnya tanah, bangunan, kapal terdaftar, pesawat terdaftar, dan lain-lain.

b.    Benda tetap tidak berwujud, misalnya hak tanggungan, hipotik, dan lain-lain.

 

Menjual urusan perusahaan dapat dilakukan secara bersama-sama sebagai satu kesatuan (en bock). Tidak ada pasal yang mengatur namun secara analogis dapat dirujuk kepada ketentuan Pasal 1537 KUHPerdata yang membolehkan penjualan harta warisan tanpa perincian dan ketentuan Pasal 1533 KUHPerdata yang menentukan dapat dilakukan penjualan piutang berikut segala sesuatu yang melekat padanya, maka menjual urusan perusahaan yang berupa benda, Akan tetapi, dalam penyerahannya tidak dapat dilakukan secara bersama-sama, karena masing-masing benda mempunyai hukumnya sendiri berkaitan dengan penyerahan. [4]

Menurut ketentuan Pasal 612 ayat (1) KUHPerdata mengenai urusan perusahaan yang berupa benda-benda bergerak berwujud, penyerahannya dilakukan dengan cara penyerahan nyata (feitelijke levering), atau penyerahan langsung, atau penyerahan dari tangan ke tangan. Di samping itu, penyerahan benda-benda bergerak berwujud dapat juga dilakukan dengan cara penyerahan penyerahan kunci. Artinya, untuk menyerahkan barang-barang yang ada dalam gudang, cukup dilakukan dengan cara menyerahkan kunci gudang tersebut, tidak perlu menyerahkan barangnya secara fisik.

Masih ada cara lain untuk menyerahkan benda bergerak berwujud sebagaimana diatur dalam Pasal 612 ayat (2) KUHPerdata, yaitu:

1.    Tradition brevi manu

Penyerahan dengan cara tradition brevi manu, yang dimaknai sebagai penyerahan tangan pendek, ini terjadi apabila seseorang mempunyai kewajiban untuk menyerahkan suatu barang, tetapi barang tersebut sudah ada di tangan orang yang berhak menerimanya.

2.    Constitutum pessessorium

Penyerahan dengan cara constitutum pessessorium, yang dimaknai sebagai penyerahan dengan melanjutkan penguasaan atas bendanya, ini terjadi dalam kondisi jika seseorang mempunyai kewajiban menyerahkan suatu barang, tetapi kewajiban tersebut tidak dilaksanakan karena berdasarkan perjanjian lain dia berhak menerima barang tersebut.

Sementara itu, untuk penyerahan urusan perusahaan yang berupa benda-benda bergerak tidak berwujud – dalam hal ini bentuknya adalah surat-surat piutang dilakukan berdasarkan klausula yang ada dalam bendanya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 613 KUHPerdata. Menurut ketentuan yang ada dalam KUHPerdata, klausula yang ada dalam benda bergerak yang tidak berwujud atau surat piutang ada 3 (tiga macam), yaitu:

1.    Klausula atas nama (op naam)

Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata menentukan penyerahan piutang yang berklausula atas nama (op naam) dilakukan dengan cara cessie, yaitu dengan cara membuat akta, baik akta otentik maupun akta di bawah tangan. Dan agar peralihan sebagai akibat adanya penyerahan mempunyai akibat hokum, maka peralihan tersebut harus diberitahukan kepada pihak yang menerbitkan piutang tersebut.

2.    Klausula atas tunjuk (ann toonder)

Berdasarkan ketentuan Pasal 613 ayat (3) KUHPerdata, penyerahan piutang-piutang yang berklausula atas tunjuk (aan toonder) dilakukan dengan cara penyerahan nyata, atau penyerahan langsung, atau penyerahan dari tangan ke tanga. Penyerahan piutang-piutang yang berklausula atas tunjuk ini sama dengan penyerahan benda-benda bergerak yang berwujud.

3.    Klausula atas pengganti (aan order).            

Masih dalam ketentuan Pasal 613 ayat (3) KUHPerdata ditentukan penyerahan piutang-piutang yang berklausula atas pengganti (aan order) dilakukan dengan cara penyerahan endosemen. Cara penyerahan endosemen ini adalah penyerahan yang dilakukan dengan cara menuliskan disebalik surat piutang tersebut dengan kalimat sederhana yang menyatakan kepada siapa piutang tersebut dipindahkan.

 

Sementara itu, penyerahan benda tetap yang berupa tanah dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan didaftarkan ke Seksi Pendaftaran Tanah. Dalam hal ini, untuk sahnya penyerahan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:

1.    Harus ada perjanjian yang zakelijk

Yaitu merupakan perjanjian yang menyebabkan pindahnya hak-hak kebendaan, misalnya hak milik, bezit, hipotik.

2.    Harus ada titel (alas hak)

Yaitu hubungan hokum yang mengakibatkan penyerahan atau peralihan barang. Hubungan hukum yang paling sering mengakibatkan penyerahan ini adalah perjanjian, misalnya perjanjian jual beli, perjanjian tukar menukar, perjanjian pemberian hadiah dan lain-lain.

3.    Harus dilakukan oleh orang yang berwenang menguasai benda-benda tersebut

Syarat ini dapat dijumpai dalam Pasal 584 KUHPerdata, yaitu pelaksanaan dari asas nemoplus. Artinya bahwa seseorang itu tidak dapat memperalihkan hak melebihi yang menjadi haknya. Pada umumnya, yang wenang untuk menguasai benda adalah pemilik.

4.    Harus ada penyerahan nyata.

Yaitu penyerahan dari tangan ke tangan. Akan tetapi, dari perjanjian-perjanjian yang bersifat obligatoir akan timbul dua kewajiban penyerahan, yaitu penyerahan nyata dan penyerahan yuridis. Pada benda bergerak berwujud, penyerahan nyata dan penyerahan yuridis terjadi secara bersamaan.

Pada benda tetap kedua, penyerahan tersebut terjadinya tidak secara bersamaan. Untuk benda tetap berupa tanah, penyerahan yuridis terjadi pada saat dibuatnya akte perpindahan hak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Sedangkan penyerahan nyata terjadi pada saat diserahkannya kunci rumah atau pembukaan pagar dan lain-lain.[5]

Pada benda tak bergerak terdapat goodwill, yaitu suatu nilai lebih yang timbul dari hubungan yang secara bertimbal balik antara perusahaan dan langganan, serta adanya prospek perusahaan yang baik.  Goodwill  umumnya terdapat pada perusahaan yang mendapat laba.[6] Goodwill dapat dipindahtangankan bersama dengan urusan perusahaan yang lain dan dicatat dalam neraca sebagai keuntungan atau laba. Tegasnya goodwill adalah hubungan perusahaan dengan pelanggan atau konsumen yang menciptakan keuntungan perusahaan.

Berdasarkan pernyataan ini jelas bahwa dari segi ekonomi goodwill adalah benda tidak berwujud hasil kemajuan perusahaan yang digambarkan sebagai nilai lebih. Oleh karena itu, goodwill dicatat dalam pembukuan sebagai keutungan atau laba. Keutungan atau laba ini adalah hasil kegiatan ekonomi suatu perusahaan. Sebagai perusahaan, goodwill dapat terjadi karena hal-hal berikut:

1.    Hubungan baik antara perusahaan dan konsumen;

2.    Menajemen perusahaan yang baik dan teratur;

3.    Pemilihan tempat penjualan perusahaan yang strategis;

4.    Pemasangan iklan yang tepat dan menarik pelanggan atau konsumen;

5.    Produksi yang tinggi memenuhi selera konsumen dengan harga layak;

6.    Pelayanan perusahaan yang ramah dan menarik pembeli; dan

7.    Barang produksi perusahaan dibutuhkan orang terus-menerus karana vital, jumlah penduduk bertambah, dan daya beli masyarakat meningkat.

Perusahaan dengan goodwill yang tinggi menjadi terkenal, dipercaya, dan sahamnya dijualbelikan dengan harga mahal di pasar modal. Goodwill merupakan sumber nilai lebih yang bukan berasal dari modal uang, melainkan dari kegiatan pelayanan (jasa), kreativitas, pemasaran, dan prospek usaha.

Dari segi hukum, goodwill adalah usaha perusahaan bukan benda dalam arti hukum karena tidak dapat dialihkan (dijual) kepada pihak lain. Goodwill bukan kekayaan yang dapat dijadikan objek hak, jadi dari segi hukum tidak relevan.[7]



[1] Erna Widjajati dan Yessy Kusumadewi. Pengantar Hukum Dagang. (Jakarta: Roda Inti Media, 2009). Hal. 23.

[2] Danang Wahyu Muhammad dkk. Buku Ajar Hukum Bisnis.  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018). Hal. 45.

[3] Erna Widjajati dan Yessy Kusumadewi. Loc.cit

[4] H.M.N. Purwosutjipto. “Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Jilid 1 : Pengetahuan Dasar Hukum Dagang.” (Jakarta:Djambatan, 1978), Hal. 299.

[5] Danang Wahyu Muhammad dkk. Op.cit. Hal. 47

[6] Erna Widjajati dan Yessy Kusumadewi. Loc.cit.

[7] Danang Wahyu Muhammad dkk. Op.cit. Hal.52