Kebudayaan, Komunikasi antar Manusia dan Hukum

    Perkembangan terpenting dalam evolusi homini adalah perkembangan kebudayaan, yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Kemunculan kebudayaan berhubungan dengan evolusi otak dan perkembangan kemampuan berpikir manusia. Kebudayaan berkembang oleh perkembangan pola komunikasi manusia yang unik yaitu komunikasi simbolik.

    Kebudayaan merupakan salah satu karakteristik masyarakat, termasuk peralatan, pengetahuan, cara berpikir, dan bertindak yang telah berpolakan, yang dipelajari dan disebarkan, serta bukan merupakan hasil pewarisan biologis.

    Prinsip dasar dalam bertindak bersifat universal dalam mengendalikan semua tipe perilaku manusia, tanpa memandang konteks sosial budaya tertentu. Hal yang mendasar dari perilaku individu adalah adanya subjektivitas dan orientasi nilai yang berbeda. Perbedaan itu dapat diintegrasikan oleh norma-norma tertentu, yang dapat membawa orientasi motivasional dan orientasi nilai menjadi kesatuan yang integral karena adanya interaksi sosial dengan tujuan sama. Moralitas sosial dalam masyarakat dapat menjadi sistem nilai yang menentukan tujuan yang sama pada kepentingan dan orientasi individu dalam berperilaku. Oleh karena itu, dimensi motivasional ataupun dimensi nilai sebagai unsur orientasi diri manusia, dapat lebur menjadi satu bentuk perilaku sosial.

Perkembangan terpenting dalam evolusi homini adalah perkembangan kebudayaan, yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Kemunculan kebudayaan berhubungan dengan evolusi otak dan perkembangan kemampuan berpikir manusia. Kebudayaan berkembang oleh perkembangan pola komunikasi manusia yang unik yaitu komunikasi simbolik. Semua makhluk melakukan komunikasi, yaitu mentransmisikan informasi tertentu secara behavioral. Akan tetapi, hanya manusia yang melakukannya dengan menggunakan simbol-simbol.

Komunikasi manusia berbeda dengan binatang karena didasarkan atas simbol-simbol. Makna sebuah simbol ditentukan oleh mereka yang menggunakannya. Dengan demikian, simbol tidak terbatas seperti tanda. Menurut Sanderson, simbol bersifat terbuka dan produktif. Simbol-simbol memiliki makna yang baru atau berbeda, bergantung pada penggunaan dalam konteks diletakkannya simbol itu. Baik tanda maupun simbol, keduanya menyampaikan informasi secara efisien. Simbol bukan hanya membuat komunikasi semakin efisien, melainkan dapat mengomunikasikan informasi dalam jumlah yang lebih banyak dan lebih kompleks dibandingkan dengan yang dapat dilakukan oleh tanda. Simbol-simbol tertentu memberikan unsur pembentuk bagi kepandaian khas manusia, yaitu kepandaian berbahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai penataan berbagai simbol yang kompleks. Dengan perkembangan bahasa, manusia melintasi sebuah pintu gerbang evolusioner.1 Freud Luthan mengatakan bahwa simbol adalah "to use onething to represent to another", artinya memakai sesuatu yang mewakili makna lain. Sebagai contoh, seorang muslim yang melaksanakan shalat, ia mengangkat tangan atau bertakbir takbir adalah simbol bahwa ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan yang Mahabesar, Mahakuat, dan Maha segalanya.


Alat komunikasi manusia yang paling banyak digunakan di dunia adalah bahasa. Para ahli bahasa banyak berbeda pendapat tentang kapan bahasa mulai tercipta. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa bahasa berkembang tidak lebih dari 100.000 tahun yang lalu, sebagai perkembangan evolusioner. Sebagian yang lain dari mereka memandang bahwa bahasa telah berkembang sejak sejuta tahun yang lalu.

Bahasa merupakan ciri utama lahirnya kebudayaan manusia yang modern karena melalui bahasa, perkembangan manusia semakin sempurna, terutama dalam menjalin hubungan antarmanusia, bahkan hubungan dengan Tuhan. William A.


1 Stephen K. Sanderson, Makro Sosiologis; Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 2003) hlm. 39


Haviland mengatakan bahwa salah satu kajian antropologi budaya adalah bahasa, yang kemudian disebut dengan antropologi linguistik. Menurut William, ciri manusia

yang paling khusus adalah kemampuannya untuk berbicara dan mengadakan komunikasi dengan menggunakan lambang dan simbol-simbol.

Bahasa, sebagai simbol, mempunyai signifikansi bagi umat manusia. la memuluskan jalan bagi munculnya kebudayaan. Kebudayaan sangat bergantung pada simbol, baik muncul maupun berkembangnya. Simbol dapat melahirkan dan mempertahankan kebudayaan. Juga, simbollah yang membedakan manusia dari binatang.

Kebudayaan memerlukan kemampuan simbolisasi. Sebab, ia sangat bergantung pada sebuah alat untuk menyimpan dan mentransmisikan sejumlah besar informasi yang disampaikan dalam kehidupan sosialnya. Dengan demikian, fungsi krusial bahasa adalah meyimpan dan mentransmisikan informasi dari satu pihak ke pihak lain, atau dari satu generasi ke generasi lain.

 

B.      Evolusi Kebudayaan dan Nilai yang dianut Manusia

Kebudayaan merupakan salah satu karakteristik masyarakat, termasuk peralatan, pengetahuan, cara berpikir, dan bertindak yang telah berpolakan, yang dipelajari dan disebarkan, serta bukan merupakan hasil pewarisan biologis. Definisi kebudayaan menekankan totalitas kompleks yang memuat tiga rangkaian gejala yang saling berhubungan, yaitu (1) peralatan dan teknik ringkasnya, teknologi yang telah ditemukan manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, (2) pola perilaku yang diikuti para individu sebagai anggota masyarakat, (3) berbagai kepercayaan, nilai, dan aturan yang diciptakan manusia sebagai alat untuk mendefinisikan hubungan mereka satu dan lainnya dan dengan lingkungan alamnya.

Karakteristik utama kebudayaan terdiri atas empat hal. Pertama, kebudayaan mendasarkan diri pada sejumlah simbol. Kedua, kebudayaan dalam transmisinya dipelajari dan tidak tergantung pada pewarisan biologis. Ketiga, kebudayaan adalah sistem yang dipikul bersama oleh para anggota masyarakat, sebagai representasi anggota masyarakat secara kolektif. Keempat, kebudayaan cenderung terintegrasi. Berbagai bagian atau komponen kebudayaan cenderung menyatu secara konsisten satu dan yang lainnya.

Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu. Istilah itu disebut Cultural-Determinism.2

Menurut Edward Bunnet Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan lain yang diperoleh seseorang sebagai


anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, Kebudayaan adalah sarana hasil kaya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan, yaitu sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, meliputi sistem ide yang terdapat dalam pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat abstrak. Adapun perwujudan kebudayaan berupa benda-benda yang diciptakan oleh manusia

sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lainnya, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Pendapat ahli yang mengemukakan komponen atau unsur kebudayaan, Bronislaw Malinowski menyebutkan empat unsur pokok, yaitu:

1.      Sistem norma sosial yang memungkinkan kerjasama antara anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya.

2.      Organisasi ekonomi.

3.      Alat-alat atau lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama).

4.      Organisasi kekuatan (politik).3

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:

1.      Gagasan (wujud ideal)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, sebagainya yang sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam pemikiran warga masyarakat.

2.      Aktivitas (tindakan)

Aktivitas adalah wujud kebudayaan berupa tindakan berpola dari manusia. Wujud ini disebut sistem sosial. Sistem sosial terdiri atas aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontrak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat dan tata kelakuan.

3.      Artefak (karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

Berdasarkan wujudnya, kebudayaan dapat digolongkan menjadi dua komponen utama, yaitu sebagai berikut.


1.      Kebudayaan materiil

Kebudayaan materiil mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang konkret. Termasuk temuan-temuan yang dihasilkan dari penggalian arkeologi, misalnya ditemukan mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan lainnya. Kebudayaan materiil juga mencakup barang-barang teknologi yang modern.4

2.      Kebudayaan non-materiil

Kebudayaan non-materiil adalah ciptaan abstrak yang diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya, misalnya berupa dongen, cerita rakyat, tarian tradisional, makanan khas, dan lainnya.

Beberapa ahli memberikan pengertian dan wujud kebudayaan yang berbeda- beda. Tylor mendefinisikan kebudayaan sebagai pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat, dan berbagai kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku, baik eksplisit maupun implisit yang diturunkan melalui simbol-simbol dan membentuk sesuatu yang khas dari kelompok manusia.

Clifford Geertz menegaskan bahwa kebudayaan merupakan hasil pemaknaan, bukan sekedar tingkah laku manusia atau hubungan sebab akibat. Kebudayaan harus dipahami dalam konteks antropologi, yaitu pemaknaan manusia pada simbol-simbol. Dengan demikian, menurut Geertz, kebudayaan bukan sekedar tradisi yang dikerjakan secara turun-temurun, melainkan berkaitan dengan cara pandang masyarakat, cara merasakan dan berpikir masyarakat terhadap segala sesuatu yang ada di sekelilingnya.5

Kebudayaan berhubungan dengan berbagai asspek kehidupan, diantaranya cara berlaku, kepercayaan, sikap, dan hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.

Kebudayaan manusia terus berkembang, artinya pola pikir dan pola hidup manusia semakin sempurna. Hal itu dilakukan dengan proses sosialisasi. Sosialisasi adalah proses manusia menyerap isi kebudayaan yang berkembang di tempat kelahirannya. Kebanyakan antropolog percaya bahwa proses ini merupakan proses transmisi kebudayaan suatu generasi kepada generasi penerusnya, dan generasi penerusnya biasanya banyak menerima kesan dari berbagai upaya sosialisasi tersebut.6

Konsep kebudayaan juga digunakan untuk meneyebut seluruh cara hidup suatu masyarakat yang dipandang sebagai sebuah keutuhan. Akan tetapi, dalam sistem sosial-kultural masyarakat yang sangat kompleks, seperti masyarakat indsutrial modern, penting untuk mengakui sifat pola-pola budaya yang beragam,

 


4 Beni Ahmad Saebani, Antropologi Hukum (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm. 101

5 Beni Ahmad Saebani, Antropologi Hukum (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm. 102


yang ada dalam masyarakat tersebut. Untuk alasan ini, para antropolog mengembangkan konsep subkultur daan budaya tandingan.

Subkultur adalah budaya lebih kecil yang terdapat dalam kerangka kebudayaan yang lebih besar. Anggota subkultur mengikuti pola budaya khas, yang dalam beberapa hal berbeda dengan budaya yang ada dalam kerangka budayanya yang lebih besar. Akan tetapi, pada saat yang sama, umunya menerma dan mengikuti pola budaya yang lebih besar.7

Tingkah laku manusia dibatasi oleh kaidah-kaidah normatif yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat dengan tujuan tercapainya kehidupan yang tertib, aman, dan damai. Untuk mencapai tujuan normatif diperlukan sosialisasi yang membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga norma yang ada disepakati dan cukup efektif dalam mengendalikan kehidupan masyarakat sehingga tercipta kemapanan sosial. Oleh karena itu, antropologi hukum secara epistemologi mengkaji dua hal mendasar, yaitu sebagai berikut:

1.      Kebudayaan dalam gejala sosial dan hubungan timbal balik dalam kehidupan masyarakat yang melahirkan norma atau kaidah sosial guna memagari perilaku manusia di luar batas sehingga ketentuan-ketentuan dalam kaidah sosial itu disepakati secara turun-menurun.

2.      Hukum yang berlaku sebagai produk pemerintah atau penyelenggara negara atau lembaga yudikatif dan lembaga yang memiliki wewenang untuk itu, yang kemudian menjadi hukum positif atau peraturan yang mengikat kehidupan masyarakat dalam aktivitas sosial, ekonomi, politik, dan beragama serta hukum yang mengendalikan dan bersifat mencegah terjadinya tindakan kriminal atau mengatur hubungan antarindividu dalam keperdataan.

Perilaku manusia yang terbentuk oleh norma-norma masyarakat tidak berarti bahwa potensi dirinya secara kultural dinafikan begitu saja. Potensi kultural individual justru diadaptasikan dan diintegrasikan secara sosialistik sehingga menjadi sistem sosial yang muatan simboliknya diterima dan menjadi citra khas masyarakat tertentu. Dengan demikian, pembentukan masyarakat secara serta merta merupakan pemolaan karakteristik budaya yang memiliki daya ikat dan daya atur tersendiri.

Setiap masyarakat selalu menghadapi persoalan dalam meneruskan peranan sosial yang dibangun dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Proses ini disebut sosialisasi. Dalam sosialisasi, setiap makna dari proses sosial perlu ditafsirkan sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh individu.

Dalam konteks kebudayaan, suasana perubahan sosial dan transformasi masyarakat yang sedang terjadi, perlu diperhatikan mengenai tempat dan peranan fungsi tradisi yang telah menjadi sosial-normatif, dan tentang hubungan antar berbagai rujukan sosial normatif dengan gejala hukum sosial dalam proses yang berlaangsung terus-menerus. Perubahan sosial atau ransformasi yang mengindikasikan adanya modernisasi akan disertai indivdualisasi sehingga dapat memecahkan kerukunan masyarakat.


7 Beni Ahmad Saebani, Antropologi Hukum (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm. 104


Kaidah sosial atau norma yang membentuk karakteristik budaya lokal ketika masyarakat mengehendaki norma sosialnya menjadi hukum yang memiliki kekuatan pasti, perilaku kolektif dapat berubah menjadi gejala sosial tersendiri. Sebagaimana nilai-niai yang dianut manusia dengan gejala sosial yang terus-menerus bergejolak, dapat dirumuskan menjadi hukum dan perundang-undangan. Hal tersebut menandakan adanya perubahan kebudayaan yang semula dilahirkan oleh keyakinan normatif masyarakat dalam mencapai tujuan kehidupan, kemudian menjadi landasan yuridis perilaku masyarakat yang harus dilaksanakan oleh segenap masyarakat.8

C.      Pembentukan Kebudayaan dalam Norma-norma Sosial

Prinsip dasar dalam bertindak, bersifat universal dalam mengendalikan semua tipe perilaku manusia, tanpa memandang konteks sosial budaya tertentu. Hal yang mendasar dari perilaku individu adalah adanya subjektivitas dan orientasi nilai yang berbeda. Perbedaan itu dapat diintegrasikan oleh norma-norma tertentu, yang dapat membawa orientasi motivasional dan orientasi nilai menjadi kesatuan yang integral karena adanya interaksi sosial dengan tujuan sama. Moralitas sosial dalam masyarakat dapat menjadi sistem nilai yang menentukan tujuan yang sama pada kepentingan dan orientasi individu dalam berperilaku. Oleh karena itu, dimensi motivasional ataupun dimensi nilai sebagai unsur orientasi diri manusia, dapat lebur menjadi satu bentuk perilaku sosial. Orientasi individu yang dimaksudkan adalah dua macam orientasi dengan berbagai dimensinya, yaitu:

1.      Orientasi motivasional yang berdimensi kognitif, katektik, dan evaluatif

2.      Orientasi nilai dengan dimensi kognitif, apresiatif, dan dimensi moral Menurut Paule Jhonson, dimensi kognitif dalam orientas motivasional pada

dasarnya menunjuk pengetahuan orang yang bertindak mengenai situasinya, khususnya jika dihubungkan dengan kebutuhan dan tujuan-tujuan pribadi. Dimensi ini mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara rangsangan yang berbeda dan membuat generalisasi dari satu rangsangan denas rangsangan lainnya. Dimensi katektik dalam orientasi motivasion menunjuk pada reaksi apresiatif atau emosional dari orang yang bertindak terhadap situasi atau berbagai aspek di dalamnya. Hal terseb mencerminkan kebutuhan dan tujuan individu. Karena pada umumnya orang memiliki suatu reaksi emosional positif terhadap elemen-elemen dalam lingkungan yang memberikan kepuasan dan dapat digunakan sebagai alat pencapaian tujuan.

Dimensi evaluatif menunjuk pada dasar pilihan manusia antara orientasi kognitif dan katektik. Karena, manusia selalu memiliki banyak kebutuhan dan tujuan, dan untuk kebanyakan manusia pada semua atau sebagian situasi, ada kemungkinan menafsirkan tindakan-tindakan yang ada, sehingga perilaku yang muncul merupakan hasil akhir dari alternatif tindakan yang sudah dievaluasi sisi baik dan buruknya.

Kedua dimensi yang terdapat dalam orientasi nilai tampaknya sama dengan dimensi dalam orientasi motivasional. Sekalipun demikian, perbedaannya akan tetap


8 Beni Ahmad Saebani, Antropologi Hukum (Bandung: Pustaka Setia, 2012) hlm. 114-115


ada dan bertahan, meskipun keduanya saling bergantung, dimensi-dimensi itu dapat berdiri sendiri. Perbedaan prinsipiilnya terdapat pada komponen-komponen orientasi nilai yang menunjuk pada standar normatif umum, bukan pada keputusan- keputusan dengan orientasi tertentu. Dengan demikian, dimensi kognitif dalam orientasi nilai menunjuk pada standar-standar yang digunakan dalam menerima atau menolak berbagai interpretasi kognitif mengena situasi yang mengelilinginya. Misalnya, penjelasan yang bersifat magis mengenai gejala alam bersamaan dengan pola keyakinan manusia yang membentuk nilai-nilai spiritualnya. Dengan demikian, dimensi apresiatif menunjuk pada standar yang mencakup pengungkapan perasaan atauketerlibatan afektif. Dimensi moral dalam orientasi nilai menunjuk pada standar- standar abstrak yang digunakan untuk menilai tipe-tipe tindakan alternatif menurut implikasinya terhadap sistem itu secara keseluruhan, baik individu maupun sosial pada akar tindakan bersangkutan. Orientasi nilai keseluruhannya memengaruhi dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional.

Dimensi orientasi nilai mencerminkan pola-pola sosial normatif yang diresapi setiap individu. Dimensi-dimensi itu dapat digunakan untuk mengklasifikasikan aspek-aspek sistem budaya yang berbeda. sebagaimana dimensi kognitif berhubungan dengan sistem budaya dan kepercayaan, dimensi apresiatif berhubungan dengan sistem budaya yang berhubungan dengan simbolisme ekspresif, dan dimensi moral berhubungan dengan sistem budaya dalam orientasi semacam analisis paralel mengenai pola-pola budaya dan orientasi subjektif individu. Dengan demikian, salah satu pembentukan kebudayaan normatif berkaitan dengan perjalanan kepercayaan manusia terhadap nilai-nilai yang manfaatnya telah dirasakan sekian lama dalam kehidupan sosialnya.

Perbedaan dalam setiap orientasi individu akan bertahan karena terdapat prioritas tertentu, seperti orientasi motivasional dalam konteks dimensi kognitif diprioritaskan pada tipe tindakan yang merupakan manifestasi intelektual. Kegiatan ekspresif akan muncul jika dimensi katektik yang diprioritaskan. Apabila dimensi evaluasi yang diprioritaskan, hasilnya akan berupa tindakan moral. Oleh karena itu, dimensi orientasi tindakan individu dapat diklasifikasikan secara sistematis, dan hanya dengan berbagai dimensi situasi kebudayaan terbentuk.

Perbedaan yang paling mendasar adalah antara benda-benda nonsosial dan benda sosial. Benda-benda nonsosial diklasifikasikan ke dalam benda-benda fisik dan benda-benda budaya. Adapun benda-benda sosial adalah makhluk hidup yang dinamis, baik individu-individu maupun kolektivitas-kolektivitas individual dalam berintegrasi dan berinteraksi. Tekanannya terdapat pada orientasi nilai dan motivasi tindakan. Kebudayaan dibentuk oleh masyarakat dengan sebab adanya dorongan ketaatan pada hukum dan nilai-nilai normatif yang sudah lama berlaku.

Interaksi sosial adalah wujud kolektivitas dari interaksi individual yang diwarnai oleh orientasi motivasional dan orientasi nilai dengan segala dimensinya. Aksi sosial adalah perilaku yang saling berinteraksi Dengan demikian, interaksi menjadi sangat penting dalam membentuk kebudayaan kolektif. Pertanyaannya


adalah, apa tindakan yang diwujudkan individu? Bagaimana berintegrasi dengan tindakan individu lain? Mengapa dapat berinteraksi dan interelasi? Apa hasil dari interaksi tersebut? Hasil dari interaksi dapat berupa kebudayaan yang di dalamnya terdapat norma-noma sosial yang baru. Pada sisi lain, norma yang ada dapat membentuk perilaku sosial yang diakui dan diyakini sesuai dengan maksud dan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang dimaksud adalah perpaduan antara orientasi motivasional dengan orientasi nilai.

Secara substansial, pola interaksi berpangkal pada motivasi setian individu. Oleh karena itu, menurut Parsons, individu merupakan pelaku atau aktor tindakan. Tindakan individu yang berhubungan dengan individu lainnya memiliki kepentingan yang berbeda. Karena adanya perbedaan orientasi tersebut, hubungan sosial menjadi dinamis dan saling berkolaborasi secara aktif. Akan tetapi, ujung dari interaksi dengan menekankan pada tujuan kolektif adalah dinamikanya akan semakin berkurang, bahkan bisa hilang, karena semua pihak yang terlibat dalam interaksi akan saling menyesuaikan diri dan menyeimbangkan kepuasan masing- masing.

Kebutuhan individu terpuaskan oleh adanya interaksi timbal balik dan fungsional yang berlangsung lama. Interaksi yang berjalan lama akan menguatkan pertahanan budaya kolektifnya, sehingga kemungkinan besar menjelma menjadi kultur khas, masyarakat khas, perilaku khas, dan terinstitusikan jika perilaku yang bersangkutan telah mendarah daging (internalistik). Sistem sosial terbentuk dari individu-individu yang dalam interaksinya menjamin kebutuhan dasar yang seimbang. Setiap tindakan sosial merupakan tindakan kumpulan individu yang disebut tindakan kolektif. Melalui konsep kolektivitas, organisasi sosial yang khusus dibudayakan. Suatu kolektivitas merupakan seperangkat posisi tertentu yang di dalamnya orang-orang dengan setiap posisinya saling berinteraksi menurut perannya masing-masing. Suatu institusi disebut sebagai kompleks keutuhan peran yang melembaga yang secara struktur sangat penting dalam melembagakan tindakan individu-individu. Kompleksitas tindakan itu disistematiskan oleh institusi bersangkutan. Institusi yang dimaksudkan adalah seperangkat tipe peran dan pola normatif yang berhubungan dengan fungsi tindakan, bukan sebagai organisasi. Dengan demikian, institusi di antaranya adalah kebudayaan, agama, politik, dan ekonomi.

Tindakan yang terinstitusikan merupakan perilaku kolektif yang berkaitan dengan struktur sosial, yang d dalamnya setiap individu memilik peran masing- masing secara timbal balik dan fungsional, Suatu koiektivitas merupakan sistem peran yang secara konkret bersifat tidak terbatas Demiklan pula, perilaku sosial, perilaku beragama, dan perilaku politik dengan fungsi den perannya merupakan institusi yang terlembagakan oleh konseprya sendiri-sendiri. Agama pun adalah institusi dan perilaku kolektivitasnya sebagai perilaku beragama yang terlembagakan.


Perilaku yang melembaga sebagai sistem sosial berproses melalui strategi fungsional. Strategi analisis tungsional menegaskan bahwa struktur sosial dan tindakan manusia mencerminkan orientasi niilai dasar dan keharusan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Terlebih lagi, tindakan yang dimaksudkan menuju pelembagaan atau terlembagakan aleh berbagai persyaratan dalem norma tindakan. Kehidupan masyarakat akan terus berlangsung jka persyaratan normatif dari tindakan dengan orientasi motivasional dan orientasi nilainya dengan pasti dipola secara struktural dan dilembagakan. Terlembagakannya tindakan sosial karena tingkat integritasnya ditopang oleh struktur institusional dalam suatu masyarakat. Kebudayaan pun mengikat pola pikir dan pola hidup manusia.

Kebudayaan dalam sistem sosial normatif dilengkapi dengan empat persyaratan berikut :

1.       Adaptasi sosial, yaitu keharusan bagi sistem sosial menghadapi lingkungannya, yaitu penyesuaian dari sistem itu terhadap tuntutan kenyataan yang keras, yang datang dari lingkungan dan tidak dapat diubah. Dalam proses adaptasi selau terdapat kondisi tindakan yang tidak dapat diubah, ada proses transformasi aktil dari situasi itu, dan penggunaan situasi yang dapat dimanipulasi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, beradaptasi bukan melemahkan kepentingan dan nilai-nilai, melainkan menguatkan nilai dengan tindakan yang sudah lama ada dan diterima sebagai sistem sosial.

2.       Pencapaian tujuan dalam setiap tindakan, yaitu tujuan bersama para anggota dalam sistem sosial. Fungsinya menyatakan bahwa pencapaian tujuan merupakan sejenis kulminasi tindakan yang secara intrinsik memuaskan. Pencapaian tujuan meliputi pengambilan keputusan yang berhubungan dengan prioritas dari sekian banyak tujuan.

3.       Mengintegrasikan hubungan antarnilai. Hal ini merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interelasi antarangg dengan sistem sosial yang ada. Agar sistem sosial berfungsi efektif sebagai satu kesatuan, harus ada tingkatan solidaritas antarindividu. Masalah integrasi menunjuk pada kebutuhan untuk menjamin balwa ikatan emosional yang cukup, yang menghasilkan solidaritas da kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan serta dipertahankan. ikatan-ikatan emosional ini tidak boleh bergantung pada keuntungan yang diterima atau sumbangan yang diberikan untuk tercapainva tujuan individu atau kolektif. Kalau tidak, solidaritas sosial dan kesediaan untuk kerja sama akan jauh lebih goyah sifatnya, karena hanya didasarkan pada kepentingan diri pribadi.

4.       Penguatan sistem sosial dan norma-norma. Hal ini merupakan kesepakatan terakhir untuk mengakui keberlakuan sistem sosial dan sistem nilai sebagai karakteristik kebudayaan setempat yang tidak dapat diganggu gugat. Semua sistem sosial harus berjaga-jaga bila sewaktu- waktu sistem yang ada kacau-balau dan para anggotanya tidak lagi bertindak atau berinteraksi sebagai anggota sistem (outside of system).


Komitmen para anggota harus dibina dengan berbagai pertemuan yang interaktif, melalui berbagai ritual seremonial atau melalui berbagai dorongan motivasional yang mempertahankan pola budaya dalam sistem yang sudah laten.

Dengan empat persyaratan tersebut, setiap tindakan individu diadaptasikan dengan individu lainnya sehingga terjadi interelasi dan interaksi yang saling memahami situasi dan kondisinya. Tindakan yang telah menjadi kesatuan diarahkan pada tujuan yang hendak dicapai sehingga semua pelaku tindakan menyamakan persepsinya dengan tujuan yang ada. Kesatuan tindakan tersebut merupakan proses integrasi dalam upaya menyatukan persepsi dan tujuan bersama. Apabila tindakan itu telah terintegrasikan, terbentuk sistem sosial yang dilindungi oleh kesepakatan terhadap sistem nilai tertentu. Pengaruh sistem nilai ini sangat signifikan dalam sistem sosial. Di samping mewujudkan kebudayaan sosial yang khas, perwujudan sistem sosial merupakan proses menormatifkan perilaku yang telah integral. Proses inilah yang disebut dengan latensi semua tindakan individu yang ada dalam sistem sosial.

Internalisasi adalah proses mendarahdagingnya orientasi nilai budaya dan harapan dari semua tindakan kolektif menyatu dengan sistem kepribadian. Jadi, tindakan kolektif yang pada awalnya merupakan kumpulan tindakan personal dengan nilai-nilai personalitasnya masing- masing, jika mendarah daging, semua sistem nilai dan sistem budaya yang ada menjadi sangat personal. Sistem sosial menjadi sistem personal. Personalitas menyangkut harga diri, kerelaan mempertahankan kepentingan kolektif, dan cenderung menolak tindakan di luar norma yang berlaku. Internalisasi nilai-nilai akan melembagakan perilaku karena diperankan dan difungsikan sesuai dengan harapan. Itulah sebabnya, integritasnya sempurna dengan motivasi yang murni dikolektifkan dalam struktur sosial yang ada, sehingga semua motivasi dan orientas internalisasi menciptakan institusionalisasi.

Internalisasi menunjuk pada sistem kepribadian dan sistem sosial Kalau komitmen nilai yang dinternalisasi individu secara konsisten menghasilkan tindakan yang memenuhi harapan orang lain dan mereka memberikan tanggapan menyetujuinya, nilai-nilai seperti itu serta tindakan yang diakibatkannya akan melembaga. Hal ini terjadi kalau orang lain memiliki komitmen nilai umum yang sama. Konformitas terhadap standar orientasi nilai memenuhi kedua kriteria ini, artinya dari titik pandangan orang yang bertindak dalam sistem itu, yakni bentuk pemenuhan kebutuhannya sendiri dan kondisi mempertinggi reaksi orang lain yang bertindak, standar itu dapat dikatakan melembaga.

Banyak faktor determinan, yang menurut Horton dan Chester, memengaruhi proses terbentuknya norma sosial dan hukum sosial, yaitu: (1) adanya kesesuaian struktural, yaitu antara anggota kelompok dengan lembaga yang ada sangat kondusif; (2) adanya harapan pasti setelah individu tertentu mengalami ketegangan bertindak; (3) adanya persamaan persepsi dalam melakukan pemecahan berbagai masalah, baik dari segi kognitif maupun afektivitasnya; (4) ada mobilitas tindakan, sebagaimana adanya pemimpin yang memulai, menyarankan, dan mengarahkan; (5)


ada yang melakukan kontrol sosial secara struktural ataupun kultural karena perilaku institusional didominasi oleh homogenitas perilaku.9

Norma sosial sebagai tolok ukur perilaku masyarakat yang sistem sosial dan sistem nilai yang berlaku. Fred Luthan berpendapa melembaga dan secara langsung atau tidak langsung dilembagakan oleh bahwa untuk mengetahui secara konkret dan lebih empiris perilaku sosial normatif yang membudaya, dapat dilihat dalam perilaku organisas dengan tetap menjadikan kesesuaian antara sistem nilai dan sistem sosial dan budaya sebagai term of reference. Bahwa terdapat kompleksitas perilaku yang secara langsung atau tidak langsung saling berinteraksi dalam lingkungan sosial, antara lingkungan agama dengan perilaku sosial secara partisipatif saling melakukan kontrol terhadap bentuk perilaku interaktif; kontrol perilaku diidealisasikan pula oleh fungsi kognitif yang merepresentasikan realitas arahan dan menunjukkan berbagai konsekuensi dari perilaku yang relevan dengan tujuan masyarakat Dengan demikian, terbentuklah norma-norma sosial kolektif yang menetapkan bentuk sistem sosial yang seharusnya. Itulah eksistensi hukum sosial yang diproduk oleh kebutuhan sosial dengan gejala sosial yang relevan dengan teks-teks hukum yang eksplisit.

Karakter sosial dan norma yang berlaku adalah budaya yang terdapat dalam perilaku yang merujuk pada tatanan hukum yang dibangun melalui interaksi yang kontinu dan diorientasikan pada kesesuaian antara sistem nilai dengan sistem sosial, serta diinternalisasikan hingga sistem nilai dan sistem sosial lebur menjadi sistem kepribadian.

Pentingnya nilai-nilai yang dianut bersama sering ditekankan. Masalah membatasi nilai dan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai itu sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Secara tradisional, keyakinan terhadap nilai-nilai yang membudaya memberikan kerangka arti simbolis yang bersifat umum sehingga sistem nilai dalam masyarakat memperoleh makna akhir atau mutlak. Dengan kata lain, pandangan dunia yang mendasar dalam masyarakat berkaitan dengan struktur nilai yang membudaya, misalnya karena agamanya. Pandangan dunia merupakan kerangka umum bagi orientasi kognitif yang primer dan sistem simbol ekspresif yang dianut bersama dalam masyarakat. Artinya, kepercayaan-kepercayaan dasar serta sentimen secara khas dibentuk oleh warisan nilai-nilai kebudayaan. Misalnya, agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu jika telah dibunuh, saat itu ia mati untuk selamanya. Akan tetapi, bagi agama sebaliknya, meskipun telah seratus kali dibunuh, ia akan muncul dan hidup kembali setelah itu. Agama adalah kebudayaan. Oleh karena itu, mengandung nilai-nilai absolut dan relatif. Shalat itu absolut, tetapi shalat mengenakan sarung adalah shalat yang berbudaya.

Kebudayaan yang berlaku mutlak ditandai oleh adanya proses transgeneration (pewarisan antargenerasi) dalam berperilaku, terutama dalam nilai- niai hukum sosial menurut karakteristrik budayanya. Menurut Murthada Muthahari, pewarisan nilai-nilai hukum beragama merupakan kebutuhan alamiah atau kebutuhan fitrah manusia. Setiap fenomena sosial yang dapat mempertahankan kehadirannya sepanjang masa, harus selaras dengan keinginan atau kebutuhan


9 Horton dan Chester, Sosiologi (Jakarta: Gramedia, 1992) hlm. 167


alamiah manusia. Oleh karena itu, fungsi hukum dalam nilai-nilai agama akan terus abadi. Adapun karakter budaya dan sistem sosial yang berlaku, dapat berubah karena ia bukan agama, melainkan alat untuk meringankan beban pemeluk agama dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai orang yang beragama.

Hukum adalah norma yang mengendalikan perilaku sosial, tetapi tidak semua hukum dapat berubah menjadi norma sosial, kecuali apabila bergerak beriringan dengan kebutuhan sosial dan setiap individu memerankan hak dan kewajibannya sebagai orang yang membutuhkan kehadiran hukum. Interaksi dan adaptasi dalam menyosialisasikan hukum merupakan syarat mutlak terbentuknya hukum sosial yang normatif atau norma yang menjadi hukum sosial.

Ada lima proses terbentuknya kebudayaan dalam hukum yang menjadi norma sosial, dan terbentuknya norma menjadi hukum sosial, yaitu :

1.      Sumber nilai yang diyakini kebenarannya

2.      Kebutuhan yang sama dari masyarakat terhadap keadilan dan tanggung jawab hukum;

3.      Sosialisasi yang diadaptasikan dengan kebudayaan lokal setempat

4.      Struktur kepemimpinan dan kekuasaan yang otoriter atau karisma yang teradaptasikan secara turun-temurun;

5.      Persepsi yang sama tentang kemaslahatan yang diperoleh secara sosial.

 

D.     Kaidah Kebudayaan menjadi Kaidah Hukum Sosial

Kaidah hukum adalah peraturan yang dibuat atau yang dipositifikan secara resmi oleh penguasa masyarakay atau penguasa negara, mengikat setiap orang, dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat penegak hukum atau aparata negara, sehingga berlakunya kaidah hukum dapat dipertahankan.10 Kaidah hukum ditunjukkan pada sikap lahir manusia atau perbuatan nyata yang dilakukan.

Dari sifat yang dimiliki kaidah hukum dibagi menjadi dua, yaitu:

1.      Hukum yang imperatif, yaitu kaidah hukum bersifat apriori harus ditaati, bersifat mengikat dan memaksa. Tidak ada pengecualian bagi seorang pun di mata hukum (equality before the law).

2.      Hukum yang fakultatif, yaitu tidak secara apriori mengikat. Kaidah fakultatif bersifat sebagai pelengkap.

Menurut bentuknya, kaidah hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1.      Kaidah hukum tidak tertulis biasanya tumbuh dalam masyarakatdan bergerak sesuai perkembangan masyarakat;

2.      Kaidah hukum tertulis, biasanya dituangkan dalam bentuk tulisan pada undang- undang dan sebagainya.

Teori Keberlakuan kaidah hukum sebagai berikut:

1.      Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya, atau berbebntuk menurut cara yang telah ditetapkan, atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara kondisi dan akibat;


2.      Kaidah hkum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan);

3.      Kaidah hukum berlaku secara filosofis, ayitu sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif tertinggi.

Dalam menfungsikan kaidah hukum maka ketiga macam unsur tersebut harus dipenuhi. Jika salah satu unsurnya tidak terpenuhi, tidak akan seperti yang dikehendaki oleh hukum itu sendiri.

Perumusan kaidah hukum ada dua macam, yaitu:

1.      Hipotesis/bersyarat: menunjukkan adanya hubungan antara kondisi (sebab) dan konsekuensi (akibat) tertentu;

2.      Kategori; suatu keadaan yang menurut hukum tidak menunjukkan adanya hubungan antara kondisi (sebab) dan konsekuensi (akibat)

Secara mendasar , kaidah hukum berkaitan dengan esensinya yang disebut hukum esensial. Hukum esensial adalah hukum yang bersidfat mematokkan dan bukan memaksa karena hukum tidak dapat emmaksa, tetapi dapat dilanggar.

Kaidah hukum berlaku disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

1.      Penegak hukum

Penegak hukum adalah orang yang bertugas menerapkan hukum secara hirarkis, mulai tingkat terbawah hingga teratas.

2.      Sarana dan prasarana

Sarana dan prasarana untuk terlaksananya hukum sangat penting, misalnya kantor kepolisian, lembaga permasyarakatan

3.      Warga masyarakat

Masyarakat termasuk faktor penentu berlakunya kaidah hukum karena pada dasarnya hukum dibuat untuk memperoleh keamanan, ketenteraman, dan keadilan.

Hukum ada disana jika masyarakat ada juga ada disana. (ubu societes ibi ius). Atas hal tersebut bisa kita simpulkan bahwa hukum merupakan produk otentik masyarakat yang merupakan kristalisasi naluri, perasaaan, kesadaran, sikap, perilaku, kebiasaan, adat, nilai, dan budaya yang hidup dalam masyarakat.

Menurut Ralp Linton, masyarakat merupakan kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur dan menganggap diri mereka sebagai kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas. Menurut Seko Soemarjan, masyarakat adalah orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.11

Dengan ini unsur-unsur masyarakat terdiri atas:

a.      Manusia yang hidup bersama;

b.      Berkumpul dan bekerja sama untuk waktu yang lama;

c.       Merupakan satu kesatuan;

d.      Merupakan hidup bersama.

Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan aman, tenteram, dan damai, manusia memerlukan tata (orde/ordnung). Tata itu berwujud aturan yang


menjadi pedoman tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup sehingga, kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin.

Tata tersebut merupakan kaidah atau norma sosial. Kaidah atau norma sosial adlah patokap atau pedoman tingkah laku yang berisi perintah, dan merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu karen akibatnya dipandang baik. Larangan merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu karena akibatnya tidak baik.

Manfaat kaidah sosial adalah memberi petunjuk kepada manusia mengenai tata cara bertindak dalam masyarakat serta perbuatan yang harus dijalankan dan harus dihindari. Dalam kehidupan masyarakat terdapat kaidah hukum dan kaidah agama. Perbedaan dari kedua kaidah seperti berikut:

1.      Dilihat dari tujuannya, kaidah hukum bertujuan menciptakan tata tertib masyarakat dan melindungi manusia beserta kepentingannya. Adapun kaidah agama bertujuan memperbaiki pribadi agar menjadi manusia ideal di mata Tuhan.

2.      Dilihat dari sasarannya, kaidah hukum mengatur tingkah laku manusia dan memberi sanksi bagi setiap pelanggarnya dalam kehidupan dunia, sedangkan kaidah agama mengatur sikap batin manusia sebagai pribadi. Kaidah hukum menghendaki tingkah laku manusia sesuai dengan aturan, sedangkan kaidah agama menghendaki sikap batin setiap pribadi itu baik. Kaidah agama membicarakan dampak yang akan diterima di dunia dan di akhirat.

3.      Ditinjau dari sumber sanksinua, sumber sanksi kaidah hukum berasal dari luar dan dipaksakan oleh kekuasaan dari luar diri manusia (heteronom), sedangkan sumber sanksi kaidah agama berasal dari ajaran agama, yaitu dari Tuhan.

4.      Ditinjau dari kekuatan mengikatnya, pelaksanaan kaidah hukum dipaksakan secara nyata oleh kekuasaan dari luar, sedangkan pelaksanaan kaidah agama pada asasnya bergantung pada yang bersangkutan.

5.      Ditinjau dari isinya, kaidah hukum memberikan hak dan kewajiban (atribut dan normatif), sedangkan kaidah agama hanya memberikan kewajiban (normatif). Hak-haknya diatur sepenuhnya oleh Tuhan.

Perbedaan antara kaidah hukum dan kaidah kesopanan:

1.      Kaidah hukum memberi hak dan kewajiban, kaidah kesopanan hanya memberikan kewajiban;

2.      Sanksi kaidah hukum dipaksakan dari masyarakat secara resmi (negara), sedangkan sanksi kaidah kesopanan dipaksakan oleh masyarakat secara tidak resmi

Perbedaan antara kaidah kesopanan dan kaidah agama, dan kaidah kesusilaan:

1.      Asal kaidah kesopanan dari luar diri manusia, sedangkan kaidah agama dan kaidah kesusilaan berasal dari pribadi manusia;

2.      Kaidah kesopanan berisi aturan yang ditunjukan pada sikap lahir manusia, sedangkan kaidah agama dan kaidah kesusilaan berisi aturan yang ditunjukan pada sikap batin manusia;

3.      Tujuan kaidah kesopanan menertibkan masyarakat agar tidak ada korban, sedangkan tujuan kaidah agama dan kaidah kesusilaan adalah menyempurnakan manusia agar tidak menjadi manusia jahat.

Ciri-ciri kaidah hukum yang membedakan dengan kaidah lainnya adalah:


1.      Hukum bertujuan menciptakan keseimbangan antara kepentingan;

2.      Hukum mengatur perbuatan manusia yang bersifat lahiriah;

3.      Hukum dijalankan oleh badan-badang yang diakui masyarakat;

4.      Hukum mempunyai berbagai jenis sanksi yang tegas dan bertingkat;

5.      Hukum bertujuan mencapai kedamaian (ketertiban dan ketenteraman).

Meskipun dalam kehidupan masyarakat sudah ada kaidah yang mengatur tingkah laku manusia, kaidah hukum masih diperlukan karena:

1.      Masih banyak kepentingan manusia dalam pergaulan hidup yang memerlukan perlindungan karena belum mendapat perlindungan sepenuhnya dari kaidah agama, kesusilaan, sopan santun, dan kebiasaan;

2.      Kepentingan-kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari kaidah-kaidah tersebut dipandang belum cukup terlindungi karena apabila terjadi pelanggaran terhadap kaidah tersebut, akibat atau ancamannya dipandang belum cukup kuat.

Kebudayaan masyarakat dengan pranatanya dapat menciptakan norma hukum. norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga tertentu sehingga dengan tegas dapat melarang seseorang serta memaksa orang agar berperilaku sesuai keinginan pembuat peraturan. Pelanggaran terhadap noram ini berupa sanksi denda atau hukuman fisik.

Ciri-ciri norma hukum adalah:

1.      Aturannya pasti (tertulis);

2.      Mengikat semua orang;

3.      Memiliki alat penegak aturan;

4.      Dibuat oleh penguasa;

5.      Bersifat memaksa;

6.      Sanksinya berat.

Adapun norma sosial berbeda dengan norma hukum. norma sosial memiliki ciri-ciri berikut:

1.      Aturannya tidak pasti dan tidak tertulis;

2.      Ada atau tidak ada alat penegak tidak pasti (terkadang ada, terkadang tidak ada);

3.      Dibuat oleh masyarakat;

4.      Bersifat tidak terlalu memaksa;

5.      Sanksinya ringan.

Tujuan dari kaidah hukum adalah kedamaian, yaitu adanya keserasian antara (nilai) ketertiban eksternal antarpribadi dan niali ketenteraman internal pribadi. Adapun tugas kaidah hukum untuk mencapai keadilan, yaitu keserasian antara (nilai) kepastian hukum dan (nilai) kesebandingan hukum. hubungan antara tugas dan tujuan hukum adalah pemberian nilai kepastian hukum mengarah pada ketertiban eksternal pribadi, sedangkan pemberian kesebandingan hukum mengarah pada ketenteraman internal pribadi.

Kaidah hukum mengandung nilai-nilai yuridis. Pada hakikatnyam, nilai adalah sifat atau kualitas yang melekat pada objek, sesuatu yang ideal, bukan yang faktual, dan tidak ada dalam pengalaman, tetapi ada pada akal atau pikiran manusia. Nilai merupakan patokan tingkah laku, keindahan, efisiensi atau harga dari masyarakat, dan mereka yang berusaha untuk menikmati hidup sepuas-puasnya atau mempertahankan hidupnya.


Adapun lima hal yang diperhatikan dengan pemaknaan nilai secara aksiologis,

yaitu:

1.      Nilai sebagai panduan hidup manusia;

2.      Nilai sebagai tujuan hidup manusia;

3.      Nilai sebagai pilihan normatif tindqakan manusia;

4.      Nilai sebagai hakikat semua pengetahuan;

5.      Nilai sebagai kesadaran tertinggi dan seluruh kesadaran amnusia tentang motif dan bentuk tindakan yang berakar pada nalar dan tolok ukur yang menjadi jaminan tercapainya tujuan pelaku.

Lima makna nilai tersebut mengungkap hakikat nilai secara filosofis. Dengan demikian, alternatif “pertama” dapat diletakkan “terakhir” dalam seluruh tindakan berpengetahuan atau tidak, sebagai pilihan nilai dalam kehidupan rasional dan spiritual manusia sebagai individu ataupun kelompok. Prinsip bernilai sepanjang makna tersebut menjadi perangsang dan pelengkap hakikat semua tujuan diraihnya ilmu pengetahuan sekaligus pengalamannya.

Dalam kehidupan manusia, hakikakt nilai bergantung pada tiga hal mendasar,


yaitu:


1.      Cara berpikit yang melandasi manusia dalam berperilaku;

2.      Cara berbudaya yang menjadi sendi berlakunya norma sosial;

3.      Cara merujuk pada sumber-sumber nilai yang menjadi tujuan pokok dalam bertindak.

Cara berpikir akan berkaitan dengan pemahaman tentang baik dan buruk.


Cara berbudaya pada kebiasaan-kebiasaan normatif. Cara merujuk berhubungan dengan pendekatan yang digunakan dalam menilai sumber nilai itu sendiri. Jika agama sebagai sumber nilai, landasannya adalah keimanan. Nilai memiliki dua dimensi, yaitu dimensi intelektual dan dimensi emosional. Adapun nilai-nilai yang menjadi acuan penetapan tujuan kaidah hukum adalah:

1.      Nilai materiil, memelihara keberadaan manusia dari segi materi;

2.      Nilai sosial, yang lahir dari kebutuhan manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya;

3.      Nilai intelektual yang berkaitan dengan kebenaran pemikiran manusia mengenai pentingnya kaidah hukum;

4.      Nilai estetis yang berhubungan dengan apresiasi terhadap melaksanakan hukum;

5.      Nilai etis yang menjadi sumber kewajiba dan tanggung jawab;

6.      Nilai    religius    dan    spiritual    yang    menghubungkan    manusia    dengan penciptanya.

Fungsi hukum dalam perkembangan masyarakat adalah sebagai berikut:

1.      Alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat;

2.      Saran untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin;

3.      Menentukan orang yang bersalah dan tidak bersalah, dan dapat memaksa agar peraturan ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya;

4.      Saran penggerak pembangunan;

5.      Penentu alokaso wewenang secara terperinci;

6.      Alat penyelesaian sengketa;

7.      Alat ketertiban dan keteraturan masyarakat;

8.      Alat untuk mewujudkan ketenteraman sosial;


9.      Alat kritik;

10.  Pemersatu bangsa dan negara serta meningkatkan kewibawaan negara di mata dunia.

Adapun hakikat dari tujuan hukum yaitu menghendaki keseimbangan kepentingan, ketertiban, keadilan, ketenteraman, kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi manusia.selain itu tujuan dari hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat degan damai dan adil. Hukum menghendaki pelayanan kepentingan setiap orang, baik individual maupun kelompok agar tidak diganggu oleh orang atau kelompok lain yang menonjolkan kepentingan pribadinya atau kepentingan kelompoknya.

Konsep yang berhubungan dengan hukum adalah sebagai berikut:

1.      Pada pembentukan hidup bersama yang baik, dituntut pertimbangan asas atau dasar dalam membentuk hukum supaya sesuai dengan cita-cita dan kebutuhan hidup bersama.

2.      Semua peraturan hukum harus dapat dikembalikan pada asas hukumnya.

Menurut teori penegakan hukum, hukum dapat ditegakkan bergantung pada tiga hal, yaitu:

1.      Materi hukum;

2.      Aparat penegak hukum;

3.      Kesadaran hukum masyarakat.

Menurut Soejono Soekanto, dalam kesadaran hukum terdapat empat indikator, yaitu:

1.      Pengetahuan hukum;

2.      Pemahaman hukum;

3.      Penilaiam dam sikap terhadap hukum;

4.      Dan ketaatan hukum.

Kesadaran hukum menyangkut faktor-faktor pengetahuan hukum, ada faktor-faktor yang berpengaruh dalam penegakkan hukum, yaitu:

1.      Faktor hukum atau perundang-undangan;

2.      Faktor penegakkan hukum;

3.      Faktor masyarakat,

4.      Faktor kebudayaan, karya,cipta, dan rasa manusia yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.