Perkembangan terpenting dalam evolusi homini adalah perkembangan kebudayaan, yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Kemunculan kebudayaan berhubungan dengan evolusi otak dan perkembangan kemampuan berpikir manusia. Kebudayaan berkembang oleh perkembangan pola komunikasi manusia yang unik yaitu komunikasi simbolik.
Kebudayaan merupakan salah satu karakteristik masyarakat, termasuk peralatan, pengetahuan, cara berpikir, dan bertindak yang telah berpolakan, yang dipelajari dan disebarkan, serta bukan merupakan hasil pewarisan biologis.
Prinsip dasar dalam bertindak bersifat universal dalam mengendalikan semua tipe perilaku manusia, tanpa memandang konteks sosial budaya tertentu. Hal yang mendasar dari perilaku individu adalah adanya subjektivitas dan orientasi nilai yang berbeda. Perbedaan itu dapat diintegrasikan oleh norma-norma tertentu, yang dapat membawa orientasi motivasional dan orientasi nilai menjadi kesatuan yang integral karena adanya interaksi sosial dengan tujuan sama. Moralitas sosial dalam masyarakat dapat menjadi sistem nilai yang menentukan tujuan yang sama pada kepentingan dan orientasi individu dalam berperilaku. Oleh karena itu, dimensi motivasional ataupun dimensi nilai sebagai unsur orientasi diri manusia, dapat lebur menjadi satu bentuk perilaku sosial.
A.
Komunikasi antar
Manusia
Bahasa merupakan ciri utama lahirnya kebudayaan manusia
yang modern karena melalui bahasa, perkembangan manusia semakin sempurna,
terutama dalam menjalin hubungan antarmanusia, bahkan hubungan dengan Tuhan. William
A.
![]() |
1 Stephen K. Sanderson, Makro Sosiologis; Sebuah Pendekatan terhadap
Realitas Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 2003) hlm. 39
Haviland
mengatakan bahwa salah satu kajian antropologi budaya adalah bahasa, yang
kemudian disebut dengan antropologi linguistik. Menurut William, ciri manusia
yang paling khusus adalah kemampuannya untuk berbicara dan
mengadakan komunikasi dengan menggunakan lambang dan simbol-simbol.
Bahasa, sebagai simbol, mempunyai signifikansi bagi umat
manusia. la memuluskan jalan bagi munculnya kebudayaan. Kebudayaan sangat
bergantung pada simbol, baik muncul
maupun berkembangnya. Simbol dapat melahirkan dan mempertahankan kebudayaan.
Juga, simbollah yang membedakan manusia dari binatang.
Kebudayaan memerlukan kemampuan simbolisasi. Sebab, ia
sangat bergantung pada sebuah alat untuk menyimpan dan mentransmisikan sejumlah
besar informasi yang disampaikan dalam kehidupan sosialnya. Dengan demikian,
fungsi krusial bahasa adalah meyimpan dan mentransmisikan informasi dari satu
pihak ke pihak lain, atau dari satu generasi ke generasi lain.
B.
Evolusi Kebudayaan dan Nilai yang dianut
Manusia
Kebudayaan merupakan salah satu karakteristik masyarakat,
termasuk peralatan, pengetahuan, cara berpikir, dan bertindak yang telah
berpolakan, yang dipelajari dan disebarkan, serta bukan merupakan hasil
pewarisan biologis. Definisi kebudayaan menekankan totalitas kompleks yang
memuat tiga rangkaian gejala yang
saling berhubungan, yaitu (1) peralatan dan teknik ringkasnya, teknologi yang
telah ditemukan manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, (2) pola
perilaku yang diikuti para individu sebagai anggota masyarakat, (3) berbagai
kepercayaan, nilai, dan aturan yang diciptakan manusia sebagai alat untuk
mendefinisikan hubungan mereka satu dan lainnya dan dengan lingkungan alamnya.
Karakteristik utama kebudayaan terdiri atas empat hal. Pertama, kebudayaan
mendasarkan diri pada sejumlah simbol. Kedua,
kebudayaan dalam transmisinya dipelajari dan tidak tergantung pada pewarisan
biologis. Ketiga, kebudayaan adalah
sistem yang dipikul bersama oleh para anggota masyarakat, sebagai representasi
anggota masyarakat secara kolektif. Keempat,
kebudayaan cenderung terintegrasi. Berbagai bagian atau komponen kebudayaan
cenderung menyatu secara konsisten satu dan yang lainnya.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski
mengemukakan bahwa segala sesuatu
yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu. Istilah itu disebut Cultural-Determinism.2
Menurut Edward Bunnet Tylor, kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan
lain yang diperoleh
seseorang sebagai
anggota
masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, Kebudayaan adalah
sarana hasil kaya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kebudayaan, yaitu sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, meliputi
sistem ide yang terdapat dalam pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari yang
bersifat abstrak. Adapun perwujudan
kebudayaan berupa benda-benda yang diciptakan
oleh manusia
sebagai
makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lainnya, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Pendapat ahli yang mengemukakan komponen atau unsur
kebudayaan, Bronislaw Malinowski menyebutkan empat unsur pokok, yaitu:
1. Sistem
norma sosial yang memungkinkan kerjasama antara anggota masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya.
2.
Organisasi ekonomi.
3. Alat-alat
atau lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah
lembaga pendidikan utama).
4.
Organisasi kekuatan (politik).3
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi
tiga, yaitu sebagai berikut:
1.
Gagasan (wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk
kumpulan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, sebagainya yang sifatnya
abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam
pemikiran warga masyarakat.
2.
Aktivitas
(tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan berupa tindakan berpola
dari manusia. Wujud ini disebut sistem sosial. Sistem sosial terdiri atas
aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontrak, serta bergaul
dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat dan
tata kelakuan.
3.
Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil
dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat
berupa benda-benda atau hal-hal yang
dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara
ketiga wujud kebudayaan.
Berdasarkan wujudnya, kebudayaan dapat digolongkan menjadi
dua komponen utama, yaitu sebagai berikut.
1.
Kebudayaan materiil
Kebudayaan materiil mengacu pada semua ciptaan masyarakat
yang konkret. Termasuk temuan-temuan yang dihasilkan dari penggalian arkeologi,
misalnya ditemukan mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan lainnya.
Kebudayaan materiil juga mencakup barang-barang teknologi yang modern.4
2.
Kebudayaan non-materiil
Kebudayaan non-materiil adalah ciptaan abstrak yang
diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya, misalnya berupa
dongen, cerita rakyat, tarian tradisional, makanan khas, dan lainnya.
Beberapa ahli memberikan pengertian dan wujud kebudayaan
yang berbeda- beda. Tylor mendefinisikan kebudayaan sebagai pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat, dan berbagai kebiasaan yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn
menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola tingkah laku dan pola-pola
bertingkah laku, baik eksplisit
maupun implisit yang diturunkan melalui simbol-simbol dan membentuk sesuatu
yang khas dari kelompok manusia.
Clifford Geertz menegaskan bahwa kebudayaan merupakan hasil pemaknaan,
bukan sekedar tingkah laku manusia atau hubungan
sebab akibat. Kebudayaan harus
dipahami dalam konteks antropologi, yaitu pemaknaan manusia pada simbol-simbol.
Dengan demikian, menurut Geertz, kebudayaan bukan sekedar tradisi yang
dikerjakan secara turun-temurun, melainkan berkaitan dengan cara pandang
masyarakat, cara merasakan dan berpikir masyarakat terhadap segala sesuatu yang
ada di sekelilingnya.5
Kebudayaan berhubungan dengan berbagai asspek kehidupan,
diantaranya cara berlaku, kepercayaan, sikap, dan hasil dari kegiatan manusia
yang khas untuk masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
Kebudayaan manusia terus berkembang, artinya pola pikir dan
pola hidup manusia semakin sempurna. Hal itu dilakukan dengan proses
sosialisasi. Sosialisasi adalah proses manusia menyerap isi kebudayaan yang
berkembang di tempat kelahirannya. Kebanyakan antropolog percaya bahwa proses
ini merupakan proses transmisi kebudayaan suatu generasi kepada generasi
penerusnya, dan generasi penerusnya biasanya banyak menerima kesan dari
berbagai upaya sosialisasi tersebut.6
Konsep kebudayaan juga digunakan untuk meneyebut seluruh
cara hidup suatu masyarakat yang dipandang sebagai sebuah keutuhan. Akan
tetapi, dalam sistem sosial-kultural masyarakat yang sangat kompleks, seperti
masyarakat indsutrial modern, penting
untuk mengakui sifat pola-pola budaya yang beragam,
![]() |
4
Beni Ahmad Saebani, Antropologi Hukum (Bandung: Pustaka
Setia, 2012) hlm. 101
5
Beni Ahmad Saebani, Antropologi Hukum (Bandung: Pustaka
Setia, 2012) hlm. 102
yang
ada dalam masyarakat tersebut. Untuk alasan ini, para antropolog mengembangkan
konsep subkultur daan budaya tandingan.
Subkultur adalah budaya lebih kecil yang terdapat dalam
kerangka kebudayaan yang lebih besar. Anggota subkultur mengikuti pola budaya
khas, yang dalam beberapa hal berbeda dengan budaya yang ada dalam kerangka
budayanya yang lebih besar. Akan tetapi, pada saat yang sama, umunya menerma
dan mengikuti pola budaya yang lebih
besar.7
Tingkah laku manusia dibatasi oleh kaidah-kaidah normatif
yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat dengan tujuan tercapainya kehidupan
yang tertib, aman, dan damai. Untuk mencapai tujuan normatif diperlukan
sosialisasi yang membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga norma yang ada
disepakati dan cukup efektif dalam mengendalikan kehidupan masyarakat sehingga
tercipta kemapanan sosial. Oleh karena itu, antropologi hukum secara epistemologi mengkaji
dua hal mendasar, yaitu sebagai berikut:
1. Kebudayaan
dalam gejala sosial dan hubungan timbal balik dalam kehidupan masyarakat yang
melahirkan norma atau kaidah sosial guna memagari perilaku manusia di luar
batas sehingga ketentuan-ketentuan dalam kaidah sosial itu disepakati secara
turun-menurun.
2. Hukum yang berlaku
sebagai produk pemerintah atau penyelenggara negara atau lembaga yudikatif dan
lembaga yang memiliki wewenang untuk itu, yang kemudian menjadi hukum positif
atau peraturan yang mengikat kehidupan masyarakat dalam aktivitas sosial,
ekonomi, politik, dan beragama serta hukum yang mengendalikan dan bersifat
mencegah terjadinya tindakan kriminal atau mengatur hubungan antarindividu
dalam keperdataan.
Perilaku
manusia yang terbentuk oleh norma-norma
masyarakat tidak berarti bahwa potensi dirinya secara kultural dinafikan begitu
saja. Potensi kultural individual justru diadaptasikan dan diintegrasikan
secara sosialistik sehingga menjadi sistem sosial yang muatan simboliknya
diterima dan menjadi citra khas masyarakat tertentu. Dengan demikian,
pembentukan masyarakat secara serta merta merupakan
pemolaan karakteristik budaya yang memiliki daya ikat dan daya atur tersendiri.
Setiap masyarakat selalu menghadapi persoalan dalam meneruskan peranan
sosial yang dibangun dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Proses ini
disebut sosialisasi. Dalam sosialisasi, setiap makna dari proses sosial perlu
ditafsirkan sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh individu.
Dalam
konteks kebudayaan, suasana perubahan sosial dan transformasi masyarakat yang
sedang terjadi, perlu diperhatikan mengenai tempat dan peranan fungsi tradisi
yang telah menjadi sosial-normatif, dan tentang hubungan antar berbagai rujukan
sosial normatif dengan gejala hukum sosial dalam proses yang berlaangsung
terus-menerus. Perubahan sosial atau ransformasi yang mengindikasikan adanya
modernisasi akan disertai indivdualisasi sehingga dapat memecahkan kerukunan
masyarakat.
![]() |
7 Beni Ahmad Saebani, Antropologi Hukum (Bandung: Pustaka
Setia, 2012) hlm. 104
Kaidah
sosial atau norma yang membentuk karakteristik budaya lokal ketika masyarakat
mengehendaki norma sosialnya menjadi hukum yang memiliki kekuatan pasti,
perilaku kolektif dapat berubah menjadi gejala sosial tersendiri. Sebagaimana
nilai-niai yang dianut manusia dengan gejala sosial yang terus-menerus
bergejolak, dapat dirumuskan menjadi hukum dan perundang-undangan. Hal tersebut
menandakan adanya perubahan kebudayaan yang semula dilahirkan oleh keyakinan
normatif masyarakat dalam mencapai tujuan kehidupan, kemudian menjadi landasan yuridis perilaku masyarakat yang
harus dilaksanakan oleh segenap masyarakat.8
C.
Pembentukan Kebudayaan dalam Norma-norma Sosial
Prinsip dasar dalam bertindak, bersifat universal dalam
mengendalikan semua tipe perilaku
manusia, tanpa memandang konteks sosial budaya tertentu. Hal yang mendasar dari
perilaku individu adalah adanya subjektivitas dan orientasi nilai yang berbeda.
Perbedaan itu dapat diintegrasikan oleh norma-norma tertentu, yang dapat
membawa orientasi motivasional dan orientasi nilai menjadi kesatuan yang
integral karena adanya interaksi sosial dengan tujuan sama. Moralitas sosial
dalam masyarakat dapat menjadi sistem nilai yang menentukan tujuan yang sama
pada kepentingan dan orientasi individu dalam berperilaku. Oleh karena itu,
dimensi motivasional ataupun dimensi nilai sebagai unsur orientasi diri
manusia, dapat lebur menjadi satu bentuk perilaku
sosial. Orientasi individu yang dimaksudkan
adalah dua macam orientasi dengan berbagai dimensinya, yaitu:
1. Orientasi motivasional yang berdimensi kognitif, katektik, dan evaluatif
2. Orientasi
nilai dengan dimensi kognitif, apresiatif, dan dimensi moral Menurut Paule Jhonson,
dimensi kognitif dalam orientas motivasional pada
dasarnya
menunjuk pengetahuan orang yang bertindak mengenai situasinya, khususnya jika
dihubungkan dengan kebutuhan dan tujuan-tujuan pribadi. Dimensi ini
mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara rangsangan yang
berbeda dan membuat generalisasi dari satu rangsangan denas rangsangan lainnya.
Dimensi katektik dalam orientasi motivasion menunjuk pada reaksi apresiatif
atau emosional dari orang yang bertindak terhadap situasi atau berbagai aspek
di dalamnya. Hal terseb mencerminkan kebutuhan dan tujuan individu. Karena pada
umumnya orang memiliki suatu reaksi emosional positif terhadap elemen-elemen dalam
lingkungan yang memberikan kepuasan dan dapat digunakan sebagai alat pencapaian
tujuan.
Dimensi evaluatif menunjuk pada dasar pilihan manusia
antara orientasi kognitif dan katektik. Karena,
manusia selalu memiliki banyak kebutuhan dan tujuan, dan untuk kebanyakan manusia
pada semua atau sebagian situasi, ada kemungkinan menafsirkan tindakan-tindakan
yang ada, sehingga perilaku yang muncul merupakan
hasil akhir dari alternatif tindakan yang sudah dievaluasi sisi baik dan
buruknya.
Kedua dimensi yang terdapat dalam orientasi nilai tampaknya
sama dengan dimensi dalam orientasi motivasional. Sekalipun demikian,
perbedaannya akan tetap
![]() |
8 Beni Ahmad Saebani, Antropologi Hukum (Bandung: Pustaka
Setia, 2012) hlm. 114-115
ada
dan bertahan, meskipun keduanya saling bergantung, dimensi-dimensi itu dapat
berdiri sendiri. Perbedaan prinsipiilnya terdapat pada komponen-komponen orientasi nilai yang menunjuk pada standar
normatif umum, bukan pada keputusan- keputusan dengan orientasi tertentu.
Dengan demikian, dimensi kognitif dalam orientasi nilai menunjuk pada
standar-standar yang digunakan dalam menerima atau menolak berbagai interpretasi
kognitif mengena situasi yang mengelilinginya. Misalnya, penjelasan yang
bersifat magis mengenai gejala alam bersamaan dengan pola keyakinan manusia
yang membentuk nilai-nilai spiritualnya. Dengan demikian, dimensi apresiatif
menunjuk pada standar yang mencakup pengungkapan perasaan atauketerlibatan afektif.
Dimensi moral dalam orientasi nilai menunjuk pada standar-
standar abstrak yang digunakan untuk menilai tipe-tipe tindakan alternatif
menurut implikasinya terhadap sistem itu secara keseluruhan, baik individu
maupun sosial pada akar tindakan bersangkutan. Orientasi nilai keseluruhannya
memengaruhi dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional.
Dimensi orientasi nilai mencerminkan pola-pola sosial
normatif yang diresapi setiap individu. Dimensi-dimensi itu dapat digunakan
untuk mengklasifikasikan aspek-aspek sistem budaya yang berbeda. sebagaimana
dimensi kognitif berhubungan dengan sistem budaya dan kepercayaan, dimensi
apresiatif berhubungan dengan sistem budaya yang berhubungan dengan simbolisme
ekspresif, dan dimensi moral berhubungan dengan sistem budaya dalam orientasi
semacam analisis paralel
mengenai pola-pola budaya dan orientasi subjektif individu.
Dengan demikian, salah satu pembentukan kebudayaan normatif berkaitan dengan
perjalanan kepercayaan manusia terhadap nilai-nilai yang manfaatnya telah
dirasakan sekian lama dalam kehidupan sosialnya.
Perbedaan dalam setiap orientasi individu akan bertahan
karena terdapat prioritas tertentu, seperti orientasi motivasional dalam
konteks dimensi kognitif diprioritaskan pada tipe tindakan yang merupakan
manifestasi intelektual. Kegiatan ekspresif akan muncul jika dimensi katektik
yang diprioritaskan. Apabila dimensi evaluasi yang diprioritaskan, hasilnya
akan berupa tindakan moral. Oleh karena itu, dimensi orientasi tindakan
individu dapat diklasifikasikan secara sistematis, dan hanya dengan berbagai
dimensi situasi kebudayaan terbentuk.
Perbedaan yang paling mendasar adalah antara benda-benda
nonsosial dan benda sosial. Benda-benda nonsosial diklasifikasikan ke dalam
benda-benda fisik dan benda-benda
budaya. Adapun benda-benda sosial adalah makhluk hidup yang dinamis, baik
individu-individu maupun kolektivitas-kolektivitas individual dalam
berintegrasi dan berinteraksi. Tekanannya terdapat pada orientasi nilai dan
motivasi tindakan. Kebudayaan dibentuk oleh masyarakat dengan sebab adanya
dorongan ketaatan pada hukum dan nilai-nilai normatif yang sudah lama berlaku.
Interaksi sosial adalah wujud kolektivitas dari interaksi
individual yang diwarnai oleh orientasi motivasional dan orientasi nilai dengan
segala dimensinya. Aksi sosial adalah perilaku yang saling berinteraksi Dengan
demikian, interaksi menjadi sangat penting
dalam membentuk kebudayaan kolektif. Pertanyaannya
adalah,
apa tindakan yang diwujudkan individu? Bagaimana berintegrasi dengan tindakan
individu lain? Mengapa dapat berinteraksi dan interelasi? Apa hasil dari
interaksi tersebut? Hasil dari interaksi dapat berupa kebudayaan yang di
dalamnya terdapat norma-noma sosial yang baru. Pada sisi lain, norma yang ada
dapat membentuk perilaku sosial yang diakui dan diyakini sesuai dengan maksud
dan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang dimaksud adalah perpaduan antara
orientasi motivasional dengan orientasi nilai.
Secara substansial, pola interaksi berpangkal pada motivasi
setian individu. Oleh karena itu, menurut Parsons, individu merupakan pelaku
atau aktor tindakan. Tindakan individu yang berhubungan dengan individu lainnya
memiliki kepentingan yang berbeda. Karena adanya perbedaan orientasi tersebut,
hubungan sosial menjadi dinamis dan
saling berkolaborasi secara aktif. Akan tetapi, ujung dari interaksi dengan
menekankan pada tujuan kolektif adalah dinamikanya akan semakin berkurang, bahkan bisa hilang, karena semua pihak yang
terlibat dalam interaksi akan saling menyesuaikan diri dan menyeimbangkan
kepuasan masing- masing.
Kebutuhan individu terpuaskan oleh adanya interaksi timbal
balik dan fungsional yang berlangsung lama. Interaksi yang berjalan lama akan
menguatkan pertahanan budaya kolektifnya, sehingga kemungkinan besar menjelma
menjadi kultur khas, masyarakat khas, perilaku khas, dan terinstitusikan jika
perilaku yang bersangkutan telah mendarah daging (internalistik). Sistem sosial
terbentuk dari individu-individu yang dalam interaksinya menjamin kebutuhan
dasar yang seimbang. Setiap tindakan
sosial merupakan tindakan kumpulan individu yang disebut tindakan kolektif.
Melalui konsep kolektivitas, organisasi sosial yang khusus dibudayakan. Suatu
kolektivitas merupakan seperangkat posisi tertentu yang di dalamnya orang-orang dengan setiap posisinya saling berinteraksi menurut
perannya masing-masing. Suatu institusi disebut sebagai kompleks
keutuhan peran yang melembaga yang secara struktur sangat penting dalam
melembagakan tindakan individu-individu. Kompleksitas tindakan itu
disistematiskan oleh institusi bersangkutan. Institusi yang dimaksudkan adalah
seperangkat tipe peran dan pola normatif yang berhubungan dengan fungsi
tindakan, bukan sebagai organisasi. Dengan demikian, institusi di antaranya
adalah kebudayaan, agama, politik, dan ekonomi.
Tindakan yang terinstitusikan merupakan perilaku kolektif
yang berkaitan dengan struktur sosial, yang d dalamnya setiap individu memilik
peran masing- masing secara timbal balik dan fungsional, Suatu koiektivitas
merupakan sistem peran yang secara konkret bersifat tidak terbatas Demiklan
pula, perilaku sosial, perilaku beragama, dan perilaku politik dengan fungsi
den perannya merupakan institusi yang terlembagakan oleh konseprya
sendiri-sendiri. Agama pun adalah institusi dan perilaku kolektivitasnya
sebagai perilaku beragama yang terlembagakan.
Perilaku yang melembaga sebagai sistem sosial berproses
melalui strategi fungsional. Strategi analisis tungsional menegaskan bahwa
struktur sosial dan tindakan manusia mencerminkan orientasi niilai dasar dan
keharusan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Terlebih lagi, tindakan
yang dimaksudkan menuju pelembagaan atau terlembagakan aleh berbagai
persyaratan dalem norma tindakan. Kehidupan masyarakat akan terus berlangsung
jka persyaratan normatif dari tindakan dengan orientasi motivasional dan
orientasi nilainya dengan pasti dipola secara struktural dan dilembagakan.
Terlembagakannya tindakan sosial karena
tingkat integritasnya ditopang oleh struktur institusional dalam suatu
masyarakat. Kebudayaan pun mengikat pola pikir dan pola hidup manusia.
Kebudayaan dalam sistem sosial normatif dilengkapi dengan
empat persyaratan berikut :
1. Adaptasi
sosial, yaitu keharusan bagi sistem sosial menghadapi lingkungannya, yaitu
penyesuaian dari sistem itu terhadap tuntutan kenyataan yang keras, yang datang
dari lingkungan dan tidak dapat diubah. Dalam proses
adaptasi selau terdapat kondisi tindakan yang tidak dapat diubah, ada proses
transformasi aktil dari situasi itu, dan penggunaan situasi yang dapat dimanipulasi sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Dengan demikian, beradaptasi bukan melemahkan kepentingan dan
nilai-nilai, melainkan menguatkan nilai dengan tindakan yang sudah lama ada dan
diterima sebagai sistem sosial.
2. Pencapaian
tujuan dalam setiap tindakan, yaitu tujuan bersama para anggota dalam sistem
sosial. Fungsinya menyatakan bahwa pencapaian tujuan merupakan sejenis
kulminasi tindakan yang secara intrinsik memuaskan. Pencapaian tujuan meliputi
pengambilan keputusan yang berhubungan dengan prioritas dari sekian banyak
tujuan.
3. Mengintegrasikan
hubungan antarnilai. Hal ini merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interelasi antarangg dengan sistem
sosial yang ada. Agar sistem
sosial berfungsi efektif sebagai satu kesatuan, harus ada tingkatan solidaritas
antarindividu. Masalah integrasi menunjuk pada kebutuhan untuk menjamin balwa
ikatan emosional yang cukup, yang menghasilkan solidaritas da kerelaan untuk
bekerja sama dikembangkan serta dipertahankan. ikatan-ikatan emosional ini
tidak boleh bergantung pada keuntungan yang diterima atau sumbangan yang
diberikan untuk tercapainva tujuan individu atau kolektif. Kalau tidak,
solidaritas sosial dan kesediaan untuk kerja sama akan jauh lebih goyah
sifatnya, karena hanya didasarkan pada kepentingan diri pribadi.
4. Penguatan
sistem sosial dan norma-norma. Hal ini merupakan kesepakatan terakhir untuk
mengakui keberlakuan sistem sosial dan sistem nilai sebagai karakteristik
kebudayaan setempat yang tidak dapat diganggu gugat. Semua sistem sosial harus
berjaga-jaga bila sewaktu- waktu sistem yang ada kacau-balau dan para
anggotanya tidak lagi bertindak atau berinteraksi sebagai anggota sistem
(outside of system).
Komitmen
para anggota harus dibina dengan berbagai pertemuan yang interaktif, melalui
berbagai ritual seremonial atau melalui berbagai dorongan motivasional yang
mempertahankan pola budaya dalam
sistem yang sudah laten.
Dengan empat persyaratan tersebut, setiap tindakan individu
diadaptasikan dengan individu lainnya sehingga terjadi interelasi dan interaksi
yang saling memahami situasi dan kondisinya. Tindakan yang telah menjadi
kesatuan diarahkan pada tujuan yang hendak dicapai sehingga semua pelaku
tindakan menyamakan persepsinya dengan tujuan yang ada. Kesatuan tindakan
tersebut merupakan proses integrasi dalam upaya menyatukan persepsi dan tujuan
bersama. Apabila tindakan itu telah terintegrasikan, terbentuk sistem sosial
yang dilindungi oleh kesepakatan terhadap sistem nilai tertentu. Pengaruh
sistem nilai ini sangat signifikan dalam sistem sosial. Di samping mewujudkan
kebudayaan sosial yang khas, perwujudan sistem sosial merupakan proses
menormatifkan perilaku yang telah integral. Proses inilah yang disebut dengan
latensi semua tindakan individu yang ada dalam sistem sosial.
Internalisasi adalah proses mendarahdagingnya orientasi
nilai budaya dan harapan dari semua tindakan kolektif menyatu dengan sistem
kepribadian. Jadi, tindakan kolektif yang pada awalnya merupakan kumpulan
tindakan personal dengan nilai-nilai
personalitasnya masing- masing, jika mendarah daging, semua sistem nilai dan
sistem budaya yang ada menjadi sangat personal. Sistem sosial menjadi sistem
personal. Personalitas menyangkut harga diri, kerelaan mempertahankan
kepentingan kolektif, dan cenderung menolak tindakan di luar norma yang berlaku.
Internalisasi nilai-nilai akan melembagakan perilaku karena diperankan dan
difungsikan sesuai dengan harapan. Itulah sebabnya, integritasnya sempurna
dengan motivasi yang murni dikolektifkan dalam struktur sosial yang ada,
sehingga semua motivasi dan orientas internalisasi menciptakan
institusionalisasi.
Internalisasi menunjuk pada sistem kepribadian dan sistem
sosial Kalau komitmen nilai yang dinternalisasi individu secara konsisten
menghasilkan tindakan yang memenuhi harapan orang lain dan mereka memberikan
tanggapan menyetujuinya, nilai-nilai seperti itu serta tindakan yang
diakibatkannya akan melembaga. Hal ini terjadi kalau orang lain memiliki
komitmen nilai umum yang sama. Konformitas terhadap standar orientasi nilai
memenuhi kedua kriteria ini, artinya dari titik pandangan orang yang bertindak
dalam sistem itu, yakni bentuk pemenuhan kebutuhannya sendiri dan kondisi
mempertinggi reaksi orang lain yang bertindak, standar itu dapat dikatakan
melembaga.
Banyak faktor determinan, yang menurut Horton dan Chester,
memengaruhi proses terbentuknya norma sosial dan hukum sosial, yaitu: (1)
adanya kesesuaian struktural, yaitu antara anggota kelompok dengan lembaga yang
ada sangat kondusif; (2) adanya
harapan pasti setelah individu tertentu mengalami ketegangan bertindak; (3)
adanya persamaan persepsi dalam melakukan pemecahan berbagai masalah, baik dari
segi kognitif maupun afektivitasnya; (4) ada mobilitas tindakan, sebagaimana
adanya pemimpin yang memulai, menyarankan, dan mengarahkan; (5)
ada yang melakukan kontrol
sosial secara struktural ataupun kultural karena perilaku
institusional didominasi oleh homogenitas perilaku.9
Norma sosial sebagai tolok ukur perilaku masyarakat yang
sistem sosial dan sistem nilai yang berlaku. Fred Luthan berpendapa melembaga
dan secara langsung atau tidak
langsung dilembagakan oleh bahwa untuk mengetahui secara konkret dan lebih empiris perilaku sosial normatif yang
membudaya, dapat dilihat dalam perilaku organisas dengan tetap menjadikan
kesesuaian antara sistem nilai dan sistem sosial dan budaya sebagai term of
reference. Bahwa terdapat kompleksitas perilaku yang secara langsung atau tidak
langsung saling berinteraksi dalam lingkungan sosial, antara lingkungan agama
dengan perilaku sosial secara partisipatif saling melakukan kontrol terhadap
bentuk perilaku interaktif; kontrol perilaku diidealisasikan pula oleh fungsi
kognitif yang merepresentasikan realitas arahan dan menunjukkan berbagai
konsekuensi dari perilaku yang relevan dengan tujuan masyarakat Dengan
demikian, terbentuklah norma-norma sosial kolektif yang menetapkan bentuk
sistem sosial yang seharusnya. Itulah eksistensi
hukum sosial yang diproduk oleh kebutuhan sosial dengan gejala sosial yang
relevan dengan teks-teks hukum yang eksplisit.
Karakter sosial dan norma yang berlaku adalah budaya yang
terdapat dalam perilaku yang merujuk pada tatanan hukum yang dibangun melalui
interaksi yang kontinu dan diorientasikan pada kesesuaian antara sistem nilai
dengan sistem sosial, serta diinternalisasikan hingga sistem nilai dan sistem
sosial lebur menjadi sistem kepribadian.
Pentingnya nilai-nilai yang dianut bersama sering
ditekankan. Masalah membatasi nilai dan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai
itu sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Secara tradisional, keyakinan
terhadap nilai-nilai yang membudaya
memberikan kerangka arti simbolis yang bersifat umum sehingga sistem nilai
dalam masyarakat memperoleh makna akhir atau mutlak. Dengan kata lain,
pandangan dunia yang mendasar dalam masyarakat berkaitan dengan struktur nilai
yang membudaya, misalnya karena agamanya. Pandangan dunia merupakan kerangka
umum bagi orientasi kognitif yang primer dan sistem simbol ekspresif yang
dianut bersama dalam masyarakat. Artinya, kepercayaan-kepercayaan dasar serta
sentimen secara khas dibentuk oleh warisan nilai-nilai kebudayaan. Misalnya,
agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu jika telah dibunuh, saat itu ia
mati untuk selamanya. Akan tetapi,
bagi agama sebaliknya, meskipun telah seratus kali dibunuh, ia akan muncul dan hidup kembali setelah itu.
Agama adalah kebudayaan. Oleh karena itu, mengandung nilai-nilai absolut dan relatif. Shalat
itu absolut, tetapi shalat
mengenakan sarung adalah shalat yang berbudaya.
Kebudayaan yang berlaku mutlak ditandai oleh adanya proses
transgeneration (pewarisan antargenerasi) dalam berperilaku, terutama dalam
nilai- niai hukum sosial menurut karakteristrik budayanya. Menurut Murthada
Muthahari, pewarisan nilai-nilai hukum beragama merupakan kebutuhan alamiah
atau kebutuhan fitrah manusia. Setiap fenomena sosial yang dapat mempertahankan
kehadirannya sepanjang masa,
harus selaras dengan
keinginan atau kebutuhan
![]() |
9 Horton dan Chester, Sosiologi (Jakarta: Gramedia, 1992) hlm. 167
alamiah
manusia. Oleh karena itu, fungsi hukum dalam nilai-nilai agama akan terus
abadi. Adapun karakter budaya dan sistem sosial yang berlaku, dapat berubah karena ia bukan agama, melainkan alat
untuk meringankan beban pemeluk agama dalam menjalankan peran dan fungsinya
sebagai orang yang beragama.
Hukum adalah norma yang mengendalikan perilaku sosial, tetapi
tidak semua hukum dapat berubah menjadi norma sosial, kecuali apabila
bergerak beriringan dengan kebutuhan sosial dan setiap individu memerankan hak
dan kewajibannya sebagai orang yang membutuhkan kehadiran hukum. Interaksi dan
adaptasi dalam menyosialisasikan hukum merupakan syarat mutlak terbentuknya
hukum sosial yang normatif atau norma yang menjadi hukum sosial.
Ada lima proses terbentuknya kebudayaan dalam hukum yang
menjadi norma sosial, dan
terbentuknya norma menjadi hukum sosial, yaitu :
1.
Sumber nilai yang diyakini kebenarannya
2. Kebutuhan yang sama dari masyarakat terhadap keadilan dan tanggung jawab
hukum;
3.
Sosialisasi yang diadaptasikan dengan kebudayaan lokal setempat
4. Struktur kepemimpinan dan kekuasaan yang otoriter atau karisma yang teradaptasikan secara turun-temurun;
5.
Persepsi yang sama tentang kemaslahatan yang diperoleh secara
sosial.
D.
Kaidah Kebudayaan menjadi Kaidah
Hukum Sosial
Kaidah
hukum adalah peraturan yang dibuat atau yang dipositifikan secara resmi oleh
penguasa masyarakay atau penguasa negara, mengikat setiap orang, dan berlakunya
dapat dipaksakan oleh aparat penegak hukum atau aparata negara, sehingga
berlakunya kaidah hukum dapat dipertahankan.10 Kaidah hukum
ditunjukkan pada sikap lahir manusia atau perbuatan nyata yang dilakukan.
Dari sifat yang dimiliki kaidah
hukum dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Hukum yang
imperatif, yaitu kaidah hukum bersifat apriori harus ditaati, bersifat mengikat
dan memaksa. Tidak ada pengecualian bagi seorang pun di mata hukum (equality
before the law).
2. Hukum yang
fakultatif, yaitu tidak secara apriori mengikat. Kaidah fakultatif bersifat
sebagai pelengkap.
Menurut bentuknya, kaidah
hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.
Kaidah hukum tidak tertulis biasanya
tumbuh dalam masyarakatdan bergerak sesuai perkembangan masyarakat;
2.
Kaidah hukum tertulis, biasanya dituangkan dalam
bentuk tulisan pada undang- undang dan sebagainya.
Teori Keberlakuan kaidah hukum sebagai berikut:
1. Kaidah hukum berlaku
secara yuridis apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi
tingkatannya, atau berbebntuk menurut cara yang telah ditetapkan, atau apabila
menunjukkan hubungan keharusan antara kondisi dan akibat;
2. Kaidah hkum berlaku
secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah tersebut
dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga
masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah tadi berlaku karena diterima dan
diakui oleh masyarakat (teori pengakuan);
3. Kaidah hukum berlaku
secara filosofis, ayitu sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif
tertinggi.
Dalam menfungsikan kaidah
hukum maka ketiga macam unsur tersebut harus dipenuhi. Jika salah satu unsurnya
tidak terpenuhi, tidak akan seperti yang dikehendaki oleh hukum itu sendiri.
Perumusan kaidah hukum ada dua macam,
yaitu:
1. Hipotesis/bersyarat:
menunjukkan adanya hubungan antara kondisi (sebab) dan konsekuensi (akibat)
tertentu;
2. Kategori; suatu
keadaan yang menurut hukum tidak menunjukkan adanya hubungan antara kondisi
(sebab) dan konsekuensi (akibat)
Secara mendasar , kaidah hukum berkaitan dengan esensinya yang disebut
hukum esensial. Hukum esensial adalah hukum yang bersidfat mematokkan dan bukan
memaksa karena hukum tidak dapat emmaksa, tetapi dapat dilanggar.
Kaidah hukum berlaku
disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut:
1. Penegak hukum
Penegak hukum
adalah orang yang bertugas menerapkan hukum secara hirarkis, mulai tingkat
terbawah hingga teratas.
2.
Sarana dan prasarana
Sarana dan
prasarana untuk terlaksananya hukum sangat penting, misalnya kantor kepolisian,
lembaga permasyarakatan
3. Warga masyarakat
Masyarakat termasuk
faktor penentu berlakunya kaidah hukum karena pada dasarnya hukum dibuat untuk
memperoleh keamanan, ketenteraman, dan keadilan.
Hukum ada disana jika masyarakat ada juga ada disana. (ubu societes ibi ius). Atas hal tersebut
bisa kita simpulkan bahwa hukum merupakan produk otentik masyarakat yang merupakan kristalisasi naluri, perasaaan, kesadaran, sikap, perilaku,
kebiasaan, adat, nilai, dan budaya yang hidup dalam masyarakat.
Menurut Ralp Linton, masyarakat merupakan kelompok manusia yang hidup
dan bekerja sama dalam waktu yang cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur
dan menganggap diri mereka sebagai kesatuan sosial dengan batas-batas yang
dirumuskan dengan jelas. Menurut Seko Soemarjan, masyarakat adalah orang yang
hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.11
Dengan ini unsur-unsur masyarakat terdiri atas:
a. Manusia yang hidup bersama;
b. Berkumpul dan bekerja sama untuk waktu yang lama;
c. Merupakan satu kesatuan;
d. Merupakan hidup bersama.
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan aman, tenteram,
dan damai, manusia memerlukan tata (orde/ordnung). Tata itu berwujud
aturan yang
menjadi pedoman
tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup sehingga, kepentingan masing-masing
dapat terpelihara dan terjamin.
Tata tersebut merupakan kaidah atau norma sosial. Kaidah atau norma
sosial adlah patokap atau pedoman tingkah laku yang berisi perintah, dan
merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu karen akibatnya
dipandang baik. Larangan merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat
sesuatu karena akibatnya tidak baik.
Manfaat kaidah sosial adalah memberi petunjuk kepada manusia mengenai
tata cara bertindak dalam masyarakat serta perbuatan yang harus dijalankan dan
harus dihindari. Dalam kehidupan masyarakat terdapat kaidah hukum dan kaidah
agama. Perbedaan dari kedua kaidah seperti berikut:
1. Dilihat dari
tujuannya, kaidah hukum bertujuan menciptakan tata tertib masyarakat dan melindungi manusia
beserta kepentingannya. Adapun
kaidah agama bertujuan memperbaiki pribadi agar menjadi manusia ideal di
mata Tuhan.
2. Dilihat dari
sasarannya, kaidah hukum mengatur tingkah laku manusia dan memberi sanksi bagi
setiap pelanggarnya dalam kehidupan dunia, sedangkan kaidah agama mengatur
sikap batin manusia sebagai pribadi. Kaidah hukum menghendaki tingkah laku
manusia sesuai dengan aturan, sedangkan kaidah agama menghendaki sikap batin setiap
pribadi itu baik. Kaidah agama membicarakan dampak yang akan diterima di dunia
dan di akhirat.
3. Ditinjau dari sumber sanksinua, sumber sanksi kaidah
hukum berasal dari luar
dan dipaksakan oleh kekuasaan dari luar diri manusia (heteronom), sedangkan
sumber sanksi kaidah agama berasal dari ajaran agama, yaitu dari Tuhan.
4. Ditinjau dari
kekuatan mengikatnya, pelaksanaan kaidah hukum dipaksakan secara nyata oleh
kekuasaan dari luar, sedangkan pelaksanaan kaidah agama pada asasnya bergantung
pada yang bersangkutan.
5. Ditinjau dari
isinya, kaidah hukum memberikan hak dan kewajiban (atribut dan normatif),
sedangkan kaidah agama hanya memberikan kewajiban (normatif). Hak-haknya diatur
sepenuhnya oleh Tuhan.
Perbedaan antara kaidah
hukum dan kaidah
kesopanan:
1. Kaidah hukum memberi
hak dan kewajiban, kaidah kesopanan hanya memberikan kewajiban;
2. Sanksi kaidah hukum
dipaksakan dari masyarakat secara resmi (negara), sedangkan sanksi kaidah
kesopanan dipaksakan oleh masyarakat secara tidak resmi
Perbedaan antara
kaidah kesopanan dan kaidah agama,
dan kaidah kesusilaan:
1. Asal kaidah
kesopanan dari luar diri manusia, sedangkan kaidah agama dan kaidah kesusilaan
berasal dari pribadi manusia;
2. Kaidah kesopanan
berisi aturan yang ditunjukan pada sikap lahir manusia, sedangkan kaidah agama
dan kaidah kesusilaan berisi aturan yang ditunjukan
pada sikap batin manusia;
3. Tujuan kaidah
kesopanan menertibkan masyarakat agar tidak ada korban, sedangkan tujuan kaidah
agama dan kaidah kesusilaan adalah menyempurnakan manusia agar tidak menjadi
manusia jahat.
Ciri-ciri
kaidah hukum yang membedakan dengan kaidah lainnya
adalah:
1.
Hukum bertujuan menciptakan keseimbangan antara kepentingan;
2. Hukum mengatur
perbuatan manusia yang bersifat lahiriah;
3. Hukum dijalankan oleh badan-badang yang diakui masyarakat;
4. Hukum mempunyai berbagai jenis sanksi
yang tegas dan bertingkat;
5. Hukum bertujuan
mencapai kedamaian (ketertiban dan ketenteraman).
Meskipun dalam kehidupan
masyarakat sudah ada kaidah yang mengatur
tingkah laku manusia, kaidah hukum masih diperlukan karena:
1. Masih banyak
kepentingan manusia dalam pergaulan hidup yang
memerlukan perlindungan karena belum mendapat perlindungan sepenuhnya
dari kaidah agama, kesusilaan, sopan santun, dan kebiasaan;
2. Kepentingan-kepentingan
manusia yang telah mendapat perlindungan dari kaidah-kaidah tersebut dipandang
belum cukup terlindungi karena apabila terjadi pelanggaran terhadap kaidah
tersebut, akibat atau ancamannya dipandang belum cukup kuat.
Kebudayaan masyarakat dengan pranatanya dapat menciptakan norma hukum.
norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga tertentu sehingga
dengan tegas dapat melarang seseorang serta memaksa orang agar berperilaku
sesuai keinginan pembuat peraturan. Pelanggaran terhadap noram ini berupa
sanksi denda atau hukuman fisik.
Ciri-ciri norma hukum adalah:
1. Aturannya pasti
(tertulis);
2. Mengikat semua orang;
3.
Memiliki alat penegak
aturan;
4. Dibuat oleh penguasa;
5. Bersifat memaksa;
6. Sanksinya berat.
Adapun norma sosial berbeda dengan norma
hukum. norma sosial memiliki ciri-ciri berikut:
1. Aturannya tidak pasti dan tidak tertulis;
2.
Ada atau tidak ada alat penegak tidak pasti
(terkadang ada, terkadang tidak ada);
3. Dibuat oleh masyarakat;
4. Bersifat tidak terlalu memaksa;
5. Sanksinya ringan.
Tujuan dari kaidah hukum adalah kedamaian, yaitu adanya keserasian
antara (nilai) ketertiban eksternal antarpribadi dan niali ketenteraman
internal pribadi. Adapun tugas kaidah hukum untuk mencapai keadilan, yaitu
keserasian antara (nilai) kepastian hukum dan (nilai) kesebandingan hukum.
hubungan antara tugas dan tujuan hukum adalah pemberian nilai kepastian hukum
mengarah pada ketertiban eksternal pribadi, sedangkan pemberian kesebandingan
hukum mengarah pada ketenteraman internal pribadi.
Kaidah
hukum mengandung nilai-nilai yuridis. Pada hakikatnyam, nilai adalah sifat atau
kualitas yang melekat pada objek, sesuatu yang ideal, bukan yang faktual, dan
tidak ada dalam pengalaman, tetapi ada pada akal atau pikiran manusia. Nilai
merupakan patokan tingkah laku, keindahan, efisiensi atau harga dari
masyarakat, dan mereka yang berusaha untuk menikmati hidup sepuas-puasnya atau
mempertahankan hidupnya.
Adapun lima hal yang
diperhatikan dengan pemaknaan
nilai secara aksiologis,
yaitu:
1. Nilai sebagai
panduan hidup manusia;
2. Nilai sebagai
tujuan hidup manusia;
3. Nilai sebagai
pilihan normatif tindqakan manusia;
4. Nilai sebagai
hakikat semua pengetahuan;
5. Nilai sebagai
kesadaran tertinggi dan seluruh kesadaran amnusia tentang motif dan bentuk
tindakan yang berakar pada nalar dan tolok ukur yang menjadi jaminan
tercapainya tujuan pelaku.
Lima
makna nilai tersebut mengungkap hakikat nilai secara filosofis. Dengan
demikian, alternatif “pertama” dapat diletakkan “terakhir” dalam seluruh
tindakan berpengetahuan atau tidak, sebagai pilihan nilai dalam kehidupan
rasional dan spiritual manusia sebagai individu ataupun kelompok. Prinsip
bernilai sepanjang makna tersebut menjadi perangsang dan pelengkap hakikat
semua tujuan diraihnya ilmu pengetahuan sekaligus pengalamannya.
Dalam kehidupan
manusia, hakikakt nilai bergantung pada tiga hal mendasar,
yaitu:
1.
Cara berpikit yang melandasi manusia
dalam berperilaku;
2.
Cara berbudaya yang menjadi sendi berlakunya norma sosial;
3. Cara merujuk
pada sumber-sumber nilai yang menjadi
tujuan pokok dalam bertindak.
Cara berpikir
akan berkaitan dengan
pemahaman tentang baik dan buruk.
Cara berbudaya pada
kebiasaan-kebiasaan normatif. Cara merujuk berhubungan dengan pendekatan yang
digunakan dalam menilai sumber nilai itu sendiri. Jika agama sebagai sumber
nilai, landasannya adalah keimanan. Nilai memiliki dua dimensi, yaitu dimensi
intelektual dan dimensi emosional. Adapun nilai-nilai yang menjadi acuan
penetapan tujuan kaidah hukum adalah:
1. Nilai materiil,
memelihara keberadaan manusia
dari segi materi;
2. Nilai sosial,
yang lahir dari kebutuhan manusia
untuk berinteraksi dengan sesamanya;
3. Nilai intelektual yang berkaitan dengan kebenaran pemikiran
manusia mengenai pentingnya kaidah hukum;
4. Nilai estetis
yang berhubungan dengan apresiasi terhadap
melaksanakan hukum;
5.
Nilai etis yang menjadi sumber kewajiba dan tanggung jawab;
6. Nilai religius dan spiritual yang menghubungkan manusia dengan
penciptanya.
Fungsi hukum dalam perkembangan masyarakat adalah sebagai
berikut:
1. Alat pengatur
tata tertib hubungan
masyarakat;
2. Saran untuk
mewujudkan keadilan sosial
lahir dan batin;
3.
Menentukan orang yang bersalah dan tidak bersalah, dan dapat memaksa agar peraturan ditaati dengan
ancaman sanksi bagi pelanggarnya;
4. Saran penggerak pembangunan;
5. Penentu alokaso
wewenang secara terperinci;
6. Alat penyelesaian sengketa;
7. Alat ketertiban dan keteraturan masyarakat;
8. Alat untuk
mewujudkan ketenteraman sosial;
9. Alat kritik;
10. Pemersatu bangsa dan
negara serta meningkatkan kewibawaan negara di mata dunia.
Adapun hakikat dari tujuan hukum yaitu menghendaki keseimbangan
kepentingan, ketertiban, keadilan, ketenteraman, kebahagiaan, kedamaian, dan
kesejahteraan bagi manusia.selain itu tujuan dari hukum adalah mengatur tata tertib
dalam masyarakat degan damai dan adil. Hukum menghendaki pelayanan kepentingan
setiap orang, baik individual maupun kelompok agar tidak diganggu oleh orang atau kelompok lain yang
menonjolkan kepentingan pribadinya atau kepentingan kelompoknya.
Konsep yang berhubungan dengan
hukum adalah sebagai
berikut:
1. Pada pembentukan
hidup bersama yang baik, dituntut pertimbangan asas atau dasar dalam membentuk
hukum supaya sesuai dengan cita-cita dan kebutuhan hidup bersama.
2. Semua peraturan hukum harus dapat dikembalikan pada asas hukumnya.
Menurut teori penegakan hukum, hukum dapat ditegakkan bergantung pada
tiga hal, yaitu:
1. Materi hukum;
2. Aparat penegak
hukum;
3. Kesadaran hukum masyarakat.
Menurut Soejono Soekanto,
dalam kesadaran hukum terdapat empat indikator,
yaitu:
1.
Pengetahuan hukum;
2. Pemahaman hukum;
3. Penilaiam dam sikap terhadap
hukum;
4. Dan ketaatan
hukum.
Kesadaran hukum menyangkut faktor-faktor pengetahuan hukum, ada
faktor-faktor yang berpengaruh dalam penegakkan hukum, yaitu:
1. Faktor hukum atau perundang-undangan;
2. Faktor penegakkan hukum;
3. Faktor masyarakat,
4.
Faktor kebudayaan, karya,cipta, dan rasa manusia
yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.