PLURALISME HUKUM


Pluralisme hukum muncul disaat berkembangnya pemikiran para ahli antropolog bahwa sentralisme hukum (hukum negara) bukan satu-satu nya hukum yang mengatur kehidupan masyarakat. Karena pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan (Griffiths). Menurut Griffiths kemajemukan hukum itu ada dalam masyarakat. Dimana ia mengatakan bahwa “adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam arena sosial (By ‘legal pluralism’ I mean the presence in a social field more than one legal order”) (dalam Irianto, 2005:56). 

Pluralisme hukum juga muncul di Indonesia karena adanya kemajemukan budaya. Itu dibuktikan dengan adanya semboyan “Bhineka Tunggal Ika, yaitu berbeda-beda tapi tetap satu”. Hal “berbeda-beda” dalam cakupan ini meliputi, ras, etnik, suku, agama, budaya, dan sebagainya adalah yang menjadi bukti dari kemajemukan budaya. Keragaman ini lah yang menghimpun menjadi kesatuan bangsa Indonesia dan dilindungi dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Dalam keberagaman ini, pasti memunculkan potensi konflik, atas pemikiran atau pandangan yang berbeda-beda dari masyarakat Indonesia, maka di munculkan lah suatu istilah bernama hukum untuk memberikan arahan perilaku masyarakat (Fusanti, 2014:15). Secara umum pluralisme hukum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama , atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial (Griffiths dalam Nurjaya, 2011:10), atau menerangkan suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker dalam Nurjaya, 2011:10), atau suatu kondisi di mana lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (F.von Benda-Beckmann dalan Nurjaya, 2011:10). 

Ajaran mengenai pluralisme hukum (legal pluralism) menurut Griffiths dipertentangkan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai satu - satunya hukum bagi semua warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem – sistem hukum yang lain, seperti hukum agama, hukum kebiasaan, dan juga semua bentuk mekanisme - mekanisme pengaturan lokal yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat. 

Dalam konteks ini, Griffiths, menegaskan sentralisme hukum cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan budaya dalam masyarakat, termasuk di dalamnya norma – norma hukum lokal yang secara nyata dianut dan dipatuhi warga dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan sering lebih ditaati dari pada hukum yang diciptakan dan diberlakukan oleh negara (state law). Karena itu, seperti yang disampaikan di atas tadi bahwa pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan. Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an ilusion. “Pluralisme hukum adalah fakta. Sentralisme hukum adalah mitos,ideal, klaim, ilusi” (dalam Nurjaya, 2011:11)



2.1 PENGERTIAN DAN PERMASALAHAN PLURALISME HUKUM


Bila pada pertengahan Abad ke – 19 keanekaragaman sistem hukum yang dianut oleh masyarakat di berbagai belahan dunia ini ditanggapi sebagai gejala evolusi hukum, maka pada abad ke 20 keanekaragaman tersebut ditanggapi sebagai gejala pluralisme hukum. Kebutuhan untuk menjelaskan gejala ini muncul terutama ketika banyak negara memerdekakan diri dari penjajahan , dan meninggalkan sistem hukum Eropa di negara-negara tersebut. Sampai dengan saat ini sudah banyak konsep dan atribut mengenai pluralisme Hukum yang diajukan oleh para ahli. Para legal pluralist pada masa permulaan (1970 an) mengajukan konsep pluralisme hukum yang meskipun agak bervariasi , namun pada dasarnya mengacu pada adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara  bersama-sama dalam lapangan sosial yang sama, seperti yang dikemukakan oleh Sally Engle Merry , pluralisme hukum “....is generally defined as a situation in which two or more legal systems coexist in the same social field”. (Merry 1988:870). Pada kesempatan ini juga akan diajukan konsep klasik Griffiths, yang mengacu pada adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial. “By ‘legal pluralism’ I mean the presence in a social field of more than one legal order”.  (Griffiths 1986 : 1 ).

Selanjutnya Griffiths membedakan adanya dua macam pluralisme hukum, yaitu weak pluralism and Strong legal pluralism. Menurut Griffiths pluralisme hukum yang lemah itu adalah bentuk lain dari sentralisme hukum karena meskipun mengakui adanya pluralisme hukum , tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior , sementara hukum-hukum yang lain disatukan dalam hierarki dibawah hukum negara. Contoh dari pluralisme hukum yang lemah adalah konsep yang diajukan oleh Hooker: The term legal pluralism refers to the situation in which two or more laws interact”  (Hooker 1975 : 3 ). Meskipun mengakui adanya keanekaragaman dalam sistem hukum , tetapi sebagai municipal law sebagai sistem yang dominan (hukum negara) , dengan serviant law  yang menurutnya inferior seperti kebiasaan dan hukum agama.

Sementara itu konsep pluralisme hukum yang kuat , yang menurut Griffiths merupakan produk dari para ilmuwan sosial adalah pengamatan ilmiah mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di semua (kelompok) masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang sama kedudukannya dalam masyarakat. Tidak terdapat hierarki yang menunjukan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari pada yang lain. Griffiths sendiri memasukan pandangan beberapa ahli kedalam pluralisme hukum yang kuat antara lain adalah Teori living law dari Eugene Ehrlich, yaitu aturan-aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif (berpegang teguh pada norma) , yang dikontraskan dengan hukum negara.

Only we must  bear in mind that what has been said about the rule of conduct must not be applied to the norm for decision: for courts may at any time draw forth a legal proposition which has been slumbering for centuries and make it the basis of their decisions ... The norms operate through the social force which recognition by a social association imparts to them, not through recognition by the individual members of the association. (Ehrlich dalam Tamanaha 1993 : 31)

Dalam hal ini sebenarnya Ehrlich tidak hanya menunjukkan bahwa ada jurang di antara  law on the books dan aturan-aturan dalam kehidupan sosial, tetapi juga bahwa keduanya merupakan kategori yang berbeda secara hakiki (Tamanahan, 1993:31).

Pandangan lain yang dikategorikan sebagai pluralisme hukum yang kuat menurut Griftishs adalah teori dari sally F Moore mengenai pembentukan aturan dengan disertai kekuatan memaksa di dalam kelompok-kelompok sosial yang diberi label the semi-autonomous social field. Dalam hal ini Grifiths mengadopsi pengertian pluralisme hukum dari moree: ”legal plurarisme refresh to the normative heterogenetiyattendant upon the fact that social action always takes olace in context of multipipel, overlapping ‘semi-autonomos social field “ Sementara itu pengertian hukum dari moore yang juga dikutipnya adalah: “law is the safe –regulation of a semi autonomous social field “ (Tamanaha 1993,24-25)

Meskipun masih sering menjadi acuan, pandangan legal pluralist permulaan itu kemudian mendapat kritik terutama dari sarjana hukum konvensional, Menurut Tamanaha sebenarnya konsep pluralisme hukum bukanlah hal yang baru, karena telah membicarakan hal yang sama lebih dari 50 tahun yang lalu, ketika iya berbicara berbicara mengenai konsep living law itu, dalam salah satu kritiknya  terhadap pandangan pluralisme hukum, Tamanaha yang lebih suka menggunakan istilah rule system untuk  menggantikan istilah “legal” dalam “legal plurarisme”.  Mengatakan bahwa pandangan kaum legal plurarist cenderung menonjolkan adanya kontras antara hukum negara dan hukum rakyat( 1993:31) Sebaliknya menurut kaum legal pluralis, Justru (berberapa)  kalangan sarjana hukum sendiri yang mengatakan bahwa karakteristik yang paling utama dari folk law adalah ia tidak diturunkan dari negara (woodman 1993:2)

Kemudian berkembang konsep pluralisme hukum yang tidak lagi menunjukkan dikotomi antara sistem hukum negara di satu sisi dan sistem hukum rakyat di sisi lain. Pada tahap ini konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada “ a variety of interacting.competing normative order-each mutually influencing the emergence and the operation of each other’rules, processes and institutions” (Kleinhans dan MacDonald 1997:31).Franz von Benda-Beckhman adalah salah satu ahli yang dapat digolongkan ke dalam tahap perkembangan ini, Ia mengatakan bahwa tidak cukup untuk sekedar menunjukkan bahwa dilapangan sosial tertentu terdapat keanekaragaman hukum, namun yang lebih penting adalah apakah yang terkandung dalam keanekaragaman hukum tersebut, bagaimanakah sistem-sistem hukum tersebut saling berinteraksi ( mempengaruhi) satu sama lain, dan bagaimanakah keberadaan dari sistem sistem hukum yang beragam itu secara bersama-sama dalam suatu lapangan kajian tertentu (Benda-Beckhman 1990:2)

Pada tahap perkembangan ini (akhir 1990-an) terdapat variasi pandangan, yang ditunjukkan oleh adanya konsep pluralisme hukum yang tidak didasarkan pada pemetaan yang kita buat sendiri tetapi melihat pada tataran individu yang menjadi subjek dari pluralisme hukum tersebut. Lihatlah bagaimana Gordon Woodman mengajukan komsepnya :

Legal plurarisme in general may be defined as the state of affairs in which a category of social relationis whitin the fieldsof operation of two or more bodies of legal norms.Alternatively, if it viewed not from above in the process of mapping the legal universe but rather from the perspective of the individual subject of law, legal plurarism may be said to exist whenever person is subject to more than one body of law (Woodman dalam Kleinhans dan MacDonald, 1997:31)

Menurut hemat saya, dalam rangka mengkaji pluralisme hukum saat ini memang sudah saatnya untuk tidak mendasarkan diri pada maping of the legal universe, karena semakin tidak menyederhanakan gejala hukum dalam masyrakat yang rumit. Lihatlah bahwa pluralisme hukum juga terdapat dalam sistem hukum rakyat (folk law), seperti hukum agama, adat, dan kebiasaan-kebiaan lain yang saling “bersaing”, kemudian juga masih harus berhadapan dengan sistem hukum negara yang juga plural sifatnya. Pluralisme dalam hukum negara tidak saja berasal dari pembagian secara formal jurisdiksi normatif seperti pengaturan pada badan-badan korporasi, lembaga-lembaga politik, badan-badan ekonomi, dan badan-badan administrasi yang berada dalam satu sistem, tetapi juga dalam banyak situasi dapat dijumpai adanya choice of law dalam situasi conflict of law. Pada prinsipnya state law itself typically comprises multiple bodies of law, with multiple institutional reflections and multiple sources of legitimacy (Kleinhans dan MacDonald, 1997:32).

Mengarahkan perhatian pada tataran individu, seperti yang disarankan oleh Woodman, barangkali merupakan suatu solusi. Eksistensi dari pluralisme hukum akan nampak jika kita melihatnya dari perspektif individual yang menjadi subyek hukum, atau pluralisme hukum baru dikatakan ada bila terdapat seseorang yang menjadi subyek lebih dari satu sistem hukum. Contoh yang paling nyata dalam hal ini adalah ketika seseorang meghadapi suatu sengketa. Pendekatan prosesual yang akan dikemukakan di bawah ini, barangkali akan kebih menjelaskan bagaimanakah pengkajian pluralisme hukum dalam tataran individu dapat dilakukan.

Secara substantif pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama , atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial (Griffiths, 1986:1), atau menerangkan suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker, 1975:3), atau suatu kondisi di mana lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (F.von Benda-Beckmann, 1999:6).


2.2 KONSEP PLURALISME HUKUM

Pada dasarnya konsep pluralisme hukum dibedakan menjadi dua macam (John Griffiths), yaitu pluralisme yang kuat (strong legal pluralism) dan pluralisme yang lemah (weak legal pluralism).

a) Pluralisme yang lemah merupakan bentuk lain dari sentralisme hukum (legal centralism), karena walaupun dalam kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, dan sementara itu sistem-sistem hukum yang lain bersifat inferior dalam hierarkhi sistem hukum negara.

Contoh yang memperlihatkan pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism) adalah konsep pluralisme hukum dalam konteks interaksi sistem hukum pemerintah kolonial dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) yang berlangsung di negara-negara jajahan seperti dideskripsikan oleh Hooker (1975).

b) Sedangkan, pluralisme hukum yang kuat mengacu pada fakta adanya kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok masyarakat yang dipandang sama kedudukannya, sehingga tidak terdapat hirarkhi yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih dominan dari sistem hukum yang lain. Untuk ini, teori Living Law dari Eugene Ehrlich yang menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum yang hidup (living law) dari tatanan normatif (Sinha, 1993:227; Cotterrell, 1995:306), yang biasanya dikontraskan atau dipertentangkan dengan sistem hukum negara termasuk dalam kategori pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism).

c) Selain itu, yang dimasukkan kategori pluralisme hukum yang kuat adalah teori Semi-Autonomous Social Field yang diintroduksi Moore (1978) mengenai kapasitas kelompok-kelompok sosial (social field) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa pentaatannya. Karena itu, Griffiths kemudian mengadopsi pengertian pluralisme hukum dari Moore (1978) :

“Legal pluralism refers to the normative heterogenity attendant upon the fact that social action always take place in a context of multiple, overlapping “semi-autonomous social field”.

Sementara itu, hukum yang dimaksud dalam konsep pluralisme hukum Griffiths kemudian menjadi tidak terbatas pada sistem hukum negara, hukum kebiasaan, atau hukum agama saja, tetapi kemudian diperluas termasuk juga sistem normatif yang berupa mekanisme-makanisme pengaturan sendiri seperti yang diintroduksi Moore (1978), yaitu: Law is the self-regulation of a ‘semi-autonomous social field’ (Tamanaha, 1992:25).

Dalam perkembangan selanjutnya, konsep pluralisme hukum tidak lagi mengedepankan dikotomi antara sistem hukum negara (state law) di satu sisi dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi yang lain. Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada interaksi dan ko-eksistensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat : A variety of interacting, competing normative orders-each mutually influencing the emergence and operation of each other’s rules, processes and institutions (Kleinhans & MacDonald, 1997:31)

2.3 PLURALISME HUKUM DALAM KONTEKS INDONESIA

Kerumitan persoalan dalam bidang hukum yang berkaitan dengan masyarakat, seperti yang kita rasakan sekarang, dapat dijelaskan melalui adanya gejala pluralisme hukum dalam masyarakat. Berdasarkan pembahasan mengenai masalah pliralisme hukum di atas, maka dalam konteks Indonesia menurut hemat saya, masalah pluralisme hukum mengacu kepada empat hal, yaitu: (1) kompleksitas pluralisme hukum dalam sistem hukum negara maupun sistem hukum rakyat; (2) warga masyarakat dapat menanggapi suatu aturan hukum dengan cara berbeda tergantung pengetahuan, kepentingan dan terutama budaya hukumnya; (3) masalah penegakan hukum yang dalam prakteknya seringkali berbeda dengan yang dikehendaki oleh peraturan hukum secara normatif; (4) peranan hukum adat dalam hukum nasional yang tidak dapat diabaikan. Keempat hal tersebut masing-masing akan diuraikan dibawah ini.

Pertama, dalam kehidupan sehari-hari selalu saja dapat dijumpai adanya bermacam-macam sistem hukum lain di samping hukum negara, yaitu hukum adat, agama, kebiasaan-kebiasan, kesepakatan-kesepakatan, atau konvensi-konvensi sosial lain yang sudah dihayati sebagai "hukum" oleh masyarakat. Dalam hal ini perlu disadari bahwa hukum negara bukanlah satu-satuya hukum yang memonopoli (satu-satunyanya acuan yang mengatur) hubungan-hubungan sosial warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Semua sistem hukum tersebut secara bersama-sama mempengaruhi atau menjadi acuan kelakuan orang dalam berinteraksi dengan orang lain. Ketika masing-masing sistem hukum yang berbeda itu bertemu dalam suatu kasus, biasanya yang terjadi adalah konflik, meskipun bisa juga terjadi sebaliknya, yaitu harmoni (bila diupayakan). Contoh yang sangat jelas dapat kita amati dalam kasus-kasus kerusuhan yang terjadi di berbagai tempat di tanah air beberapa waktu yang lalu, meskipun terdapat variasi dalam berbagai peristiwa tersebut.

Kedua, masalah pluralime tidak hanya terletak pada adanya keanekaragaman hukum, tetapi juga pada individu-individu yang menjadi subyek lebih dari satu sistem hukum. Dalam hal ini secara analitis setiap orang menanggapi (memberi makna dan interpretasi) aturan hukum tertentu dengan cara yang berbeda-beda, karena mempunyai pengetahuan, harapan-harapan, dan kepentingan-kepentingan (sosial, politik. ekonomi), atau lebih tepatnya budaya hukum, yang juga berbeda. Oleh karena itu setiap peristiwa yang terjadi dalam masyarakat juga bisa mempunyai dampak yang berbeda bagi tiap orang atau kelompok. Hal tersebut dapat diamati misalnya dalam hal bagaimana masyarakat menanggapi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah yang banyak dibuat pada masa Orde Baru maupun masa transisi, dan bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut memberi dampak yang berbeda kepada setiap kelompok atau kategori sosial yang ada dalam masyarakat, dalam arti ada yang diuntungkan dan ada yang durugikan.

Ketiga, banyak bidang kehidupan yang secara normatif sudah diatur secara baik dalam berbagai peraturan perundangan, namun karena berbenturan dengan alasan-alasan di luar hukum (terutama politik dan ekonomi), menyebabkan peraturan-peraturan tersebut tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan dalam praktek. Dalam hal ini praktek penegakan hukum (law enforcement) yang dibebani oleh factor-faktor politik dan ekonomi tersebut, turut memperburuk kondisi kehidupan hukum secara keseluruhan. Banyak contoh yang dapat diamati dalam hal ini, lihatlah peraturan hukum mana di Indonesia ini yang dapat ditegakkan sepenuhnya seperti yang diinginkan oleh “jiwa” yang mendasar pembuatannya. Sebut saja misalnya UU yang mengatur mengenai lalu lintas atau lingkungan hidup, yang sangat bagus di atas kertas, tetapi tidak demikian yang terjadi dalam kenyataan empiris. Di samping itu, adanya vonis-vonis Mahkamah Agung yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, namun dipatahkan oleh ”sepucuk surat sakti”, memperburuk masalah penegakan hukum di Indonesia pada umumnya.

Keempat, pengaruh hukum adat dalam perkembangan hukum nasional menurut sejarahnya tidaklah dapat diabaikan. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa dalam rangka cita-cita pembentukan hukum nasional sekali pun, harus diberi peluang untuk berkembang kepada unsur-unsur dalam sistem-sistem hukum lokal yang sangat terikat kepada konsep-konsep budaya masyarakat setempat, yang belum tentu dapat diberlakukan kepada masyarakat lain. Dalam sistem-sistem hukum lokal tersebut sering terkandung kearifan budaya dan pengetahuan-pengetahuan budaya, yang sangat diperlukan bagi masyarakat yang bersangkutan untuk tetap bisa melangsungkan kehidupannya.

2.4 PLURALISME DAN POLA PENGATURAN MASYARAKAT

Merupakan suatu kenyataan, bahwa masyarakat lndonesia bersifat sangat heterogen, sangat pluralistis, karena terdiri dan berbagai macam suku, dengan latar belakang budaya, agama, dan tatanan masyarakat yang berbeda antara suku yang satu dengan suku atau kelompok masyarakat lainnya. Merupakan kenyataan pula. Bahwa seharusnya hukum di Indonesia dibentuk, atau disusun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang sifatnya sangat pluralistis tersebut. Dikatakan sebagai upaya untuk memcnuhi kebutuhanmasyarakat diartikan bahwa kebutuhan masyarakatlah yang diutamakan, dan hukum melandasi kenyataan yang ada pada masyarakat untuk dapat melakukan interaksi sosial sehingga ciri pluralism atau kebhinekaan tetap ada, tetapi dalam rangka pengaturan yang mewujudkan satu kesatuan tatanan masyarakat. Merupakan kenyataan pula, bahwa sumber hukum terutama di Indonesia ialah undang-undang, (yang merupakan cerminan kehendak penguasa dalam mengatur masyarakat), yang dapat memberikan gambaran adanya perbedaan dengan hukum yang merupakan norma yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat (the living law), yang mencerminkan hukum yang tumbuh dan yang tepat dan adil bagi masyrakat yang bersangkutan.

Dalam rangka kenyataan kebhinekaan yang ada pada masyarakat Indonesia. maka apa yang merupakan undang-undang, kiranya akan kokoh, jika berpijak pada tatanan atau norma yang ada pada masyrakat itu. Pola pengaturan demikian, memberikan dasar atau fondasi yang kuat, dengan pilar-pilar hukum yang kokoh karena berpijak pada kenyataan yang ada pada masyarakat. Terutama dalam pengaturan nusyarakat, yang berkaitan erat dengan pandangan hidup. berkaitan dengan struktur dan budaya masyarakat yang bersangkutan, di mnana masyarakat Indonesia bersifat sangat heterogen. Hukum adalah bagian dari kebudayaan bangsa. Oleh karena itu pendekatan anropologi hukum, dan peran ahli antropologi hukum tidak dapat diabaikan, dan cukup dominan justru dalam bidang-bidang tertentu. Terutama pengaturan masyarakat yang berkaitan dengan budaya dan pandangan hidup masyarakat, yang menurut hemat kami selama ini banyak diabaikan.

Pola pengaturan masyarakat sesudah kemerdekaan berbeda dengan tatanan yang diletakkan oleh pemerintah belanda. Ahli-ahli hukum Belanda (lepas dan pendekatan negara-penjajah terhadap negara jajahan di dalam meletakkan dasar atau sistem pengaturan tatanan masyarakat Hindia Belanda, dalam usaha menciptakan tertib hukum telah menunjukkan hasil pengaturan yang baik, dilihat dari aspek pengaturan masyarakat yang memperhatikan apa yang ada dan tumbuh dalam masyarakat. dengan memperhatikan Kepeningan Belanda sebagai penguasa pada waktu itu. Menurut hemat kami sistem pengaturan masyarakat pada waktu itu merupakan hasil pengaturan masyarakat yang cukupbaik, dan dapat dikatakan bersifat monumental, karena bangunan atau kerangka hukum yang diletakkan sebagai dasar pengaturan hingga sekarang konstruksinya masih melekat, bahkan dapat dikatakan sulit untuk dielakkan.Mengapa demikian? Karena di dalam meletakkan dasar pengaturan masyarakat, digunakan norma yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, untuk menciptakan tertib, dan tentunya dengan memperhatikan tujuan untuk melindungi kepentingan Belanda. Hal tersebut tercermin dalam dasar pengaturan yang tertuang di dalam Pasal 163 jo. 131 I.S. Dilihat dari sistem, dan pola atau politik hukum (pengaturan masyarakat) Belanda atas Hindia Belanda, menurut hemat kami cukup berhasil dan tidak dapat dikatakan tidak baik.

Apabila dibandingkan dengan pembentukan hukum nasional kita, maka dapat dikatakan berbeda, karena belum meletakkan dasar pengaturan yang merupakan politik hukum penguasa yang tertuang dalam undang-undang, yang bermaksud meletakkan dasar-dasar pengaturan masyarakat yang bersifat pluralistis, sehingga apa yang dicoba dituangkan dalam suatu kebijakan, terkesan bersifat tambal sulam (sebagaimana dikemukakan oleh banyak ahli hukum), dan kurang memperhatikan secara mendalam (ciri, sifat, struktur), tatanan yang ada pada masyarakat, yang menggambarkan adanya sifat pluralisme norma-norma. Oleh karena itu dalam pengaturan masyarakat dapat dikatakan terdapat bayang-bayang bangunan atau konstruksi pengaturan pengaturan masyarakat pada masa sebelumnya, namun tanpa upaya untuk meletakkan dasar pengaturan yang dapat mencirikan sifat pluralisme, dalam kesatuan tatanan (unity in diversity), yang dapat memenuhi tuntutan masyarakat dalam alam kemerdekaan.

Pluralisme hukum pada hakekatnya tidak dapat kita katakan selalu identik dengan adanya ketidakpastian hukum, kalau pengaturan masyarakat memperhatikan apa yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan penguasa berusah untuk meletakkan landasan politik hukumnya, atas dasar apa yang tumbuh dan berkembang sebagai kesadaran hukum dalam masyarakat. Apa yang merupakan norma dalam masyarakat (living law) harus diperhatikan, dan dijadikan landasan untuk meletakkan pola pengaturan masyarakat, dengan menciptakan kerangka hukum yang harus dipergunakan dalam hal terjadi hubungan interaksi antar masyarakat,yang mempunyai latar belakang budaya, pandangan hidup dan struktur yang berbeda, untuk menciptakan pola pengaturan masyarakat yang menggambarkan suatu kesatuan dalam keanekaragaman.

Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama , atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial (Griffiths, 1986:1), atau menerangkan suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker, 1975:3), atau suatu kondisi di mana lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (F.von Benda-Beckmann, 1999:6).

Pada dasarnya konsep pluralisme hukum dibedakan menjadi dua macam (John Griffiths), yaitu pluralisme yang kuat (strong legal pluralism) dan pluralisme yang lemah (weak legal pluralism). Di Indonesia pluralisme hukum mengacu kepada empat hal, yaitu: (1) kompleksitas pluralisme hukum dalam sistem hukum negara maupun sistem hukum rakyat; (2) warga masyarakat dapat menanggapi suatu aturan hukum dengan cara berbeda tergantung pengetahuan, kepentingan dan terutama budaya hukumnya; (3) masalah penegakan hukum yang dalam prakteknya seringkali berbeda dengan yang dikehendaki oleh peraturan hukum secara normatif; (4) peranan hukum adat dalam hukum nasional yang tidak dapat diabaikan. Keempat hal tersebut masing-masing akan diuraikan dibawah ini.







DAFTAR PUSTAKA


Masinambow, E.K.M. 2000. Hukum dan Kemajemukan Budaya : Sumbangan Karangan Untuk menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T. O. Ihroni. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Ehrlich, Eugene. 1993. Komunikasi Lisan Teknik Berbicara. Jawa Tengah : Perpustakaan IAIN Salatiga

Griffiths, John. 1986. What is Legal Pluralism. Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law