Sistem penuntutan terdiri dari dua prinsip (asas) besar yang
kemudian menjadi dua sistem utama dalam sistem
penuntutan di dunia.
Prinsip tersebut adalah
prinsip legalitas dan
oportunitas, yang kemudian
berubah menjadi sistem penuntutan
dengan prinsip legalitas dan sistem
penuntutan dengan prinsip oportunitas.
1. Prinsip Legalitas
Prinsip legalitas
yang dimaksud di dalam hukum acara pidana sebagai prinsip dasar dalam sistem penuntutan memiliki pengertian yang jauh berbeda
dengan prinisip legalitas dalam hukum pidana
sebagai dasar berlakunya hukum pidana. Di dalam hukum pidana, prinsip legalitas
dirumuskan, nullum delictum noella poena
sine praevia lege poenale (Dipradja, 1982: 58). Prinsip legalitas dalam
hukum pidana diartikan sebagai tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa
undang-undang hukum pidana terlebih dahulu (Prodjodikoro, 2008: 42).
Prinsip legalitas (legaliteitsbeginel) dalam hukum acara
pidana diartikan sebagai prinsip yang mewajibkan kepada penuntut umum untuk
melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana.
Prinsip ini merupakan implementasi terhadap prinsip
equality before the law (kesetaraan
di hadapan hukum) (Sasangka, 1996: 26).
2. Prinsip Oportunitas
Bertolak belakang dengan prinsip legalitas adalah prinsip
oportunitas yang berarti bahwa sekalipun seorang tersangka telah terang cukup
bersalah menurut pemeriksaan penyidikan, dan kemungkinan besar akan dapat
dijatuhi hukuman, namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke sidang
pengadilan oleh penuntut umum. Kejaksaan berpendapat, akan lebih bermanfaat
bagi kepentingan umum jika perkara tersebut tidak diperiksa di muka sidang
pengadilan (Makarao dan Suhasril, 2004: 3).
Pada
mulanya prinsip ini tercipta karena
praktik dan baru diatur dalam
undang-undang tahun 1926 di Belanda,
dimuat dalam Wetboek
van Strafvordering. Oportunitas berasal dari bahasa
Latin, yang berarti kesempatan yang baik (Prakoso, 1985: 88). Kesempatan baik untuk memilih,
apakah perkara tersebut dituntut ke persidangan atau dikesampingkan demi
kepentingan umum. Oleh beberapa ahli hukum
dinyatakan bahwa asas
oportunitas merupakan suatu tindakan
mengesampingkan perkara, akan tetapi belum dijelaskan apakah tidak menuntut perkara berdasarkan pertimbangan hukum pada elemen subsociale termasuk juga
tindakan mengesampingkan perkara.
Elemen subsociale diajarkan
oleh Vrij. Perluasan tindakan tidak menuntut perkara pidana karena elemen yang
berupa sifat berbahayanya perbuatan atau sifat merugikan itu apabila tidak
terdapat dalam suatu perbuatan pidana, maka elemen subsociale yang tidak terpenuhi dalam menentukan elemen
pokok setiap delik
itu dapat menjadi
alasan untuk mengesampingkan perkara pidana berdasarkan kemanfaatan sosial (utilitas) atau kepentingan masyarakat umum. Alasan tidak menuntut demikian ini termasuk penyampingan
perkara yang dinamakan seponering (Poernomo,
1993: 26).
Vrij berpendapat bahwa
prinsip oportunitas dapat juga dipakai dalam hal, jika tindak pidana yang
dilakukan orang ternyata sama sekali tidak menimbulkan suatu bahaya bagi
masyarakat, karena menurut pendapatnya untuk adanya tindak
pidana selain harus adanya Onrecht dan
Schuld sebagai bentuk dasar (grundvorm) dari tindak pidana, juga
mensyaratkan adanya Gevaar (bahaya)
bagi masyarakat yang merupakan syarat untuk adanya pidana (de straf) dalam rangka melawan bahaya, sebagai hal yang mendahului
dan sebagai reaksi terhadapnya (Soema, 1981: 32).
Jika dibandingkan antara kedua prinsip tersebut, prinsip
legalitas merupakan kewajiban yang dimiliki oleh penuntut umum untuk menuntut
setiap perkara yang diajukan kepadanya dengan berlandaskan prinsip equality before the law, sedangkan
prinsip oportunitas, adalah hak penuntut umum untuk melanjutkan atau
menghentikan perkara yang sedang diajukan kepadanya.
Prinsip legalitas dengan tegas disebut dalam konsideran KUHAP
seperti dapat dibaca pada huruf a yang berbunyi:
Bahwa negara Republik Indonesia adalah
negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Berdasarkan bunyi konsideran KUHAP tersebut, dapat disimpulkan
bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 negara
menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan setiap warga negara tanpa kecuali wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan.
Di sisi lain,
perkara yang diajukan
kepada penuntut umum
dapat diterapkan prinsip
oportunitas dengan cara mengesampingkan perkara tersebut oleh kejaksaan.
Hal ini dapat terjadi karena prinsip oportunitas memiliki pengertian bahwa
sekalipun seorang tersangka cukup bersalah menurut pemeriksaan penyidikan, dan
kemungkinan besar akan dapat dijatuhi pemidanaan, Namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum. Perkara tersebut dikesampingkan
oleh kejaksaan atas dasar pertimbangan “demi kepentingan umum”. Kejaksaan dapat
berpendapat bahwa lebih bermanfaat bagi kepentingan umum jika perkara itu tidak diperiksa di muka sidang
pengadilan. Dengan demikian perkara tersebut dikesam- pingkan saja. Pengesampingan
perkara inilah yang disebut dengan prinsip oportunitas.
Perbedaan
mendasar antara prinsip legalistas dengan prinsip oportunitas dalam system
penuntutan adalah kewajiban penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap
setiap perkara yang diajukan kepadanya. Prinsip legalitas mewajibkan penuntut umum untuk menuntut setiap perkara yang diajukan
kepadanya, sedangkan prinsip
oportunitas memberikan hak kepada
penuntut umum untuk menentukan apakah perkara tersebut perlu dituntut atau
tidak. Prinsip tersebut merupakan dasar
kewenangan penuntut umum
dalam menentukan perkara
yang diajukan kepadanya.
a. Negara-negara yang
tidak menganut secara resmi system oportunitas atau legalitas
Pada umumnya negara-negara modern dapat dikelompokan
ke dalam yang menganut system Anglo Sexon dan Eropa Kontinental. Mungkin
negara-negara sosialis atau eks sosialis ke dalam kelompok tersendiri. Kedua
kelompok negara tersebut pernah menjajah sebagian besar negara Asia dan Afrika,
dan dengan sendiri sistemnya diperkenalkan pada wilayah jajahannya itu.
Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serupa, tetapi dipisahkan dalam
sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris.
Akibatnya , meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia
sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental
(Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu pada sistem Anglo
Saxon.
Memang kelihatannya ada usaha-usaha
untuk memperkenalkan sistem Anglo Saxon ke dalam bagian tertentu KUHAP,
misalnya jaksa tidak menyidik sama halnya dengan Inggris, Malaysia, dan
lain-lain. Inggris ( England dan Wales) sendiri Khususnya dalam sistem
penuntutannya sedang bergerak ke arah sistem Kontinental. Sejak tahun 1986, Inggris
(Engaland dan Wales) telah menciptakan Lembaga baru yaitu lembaga penuntut umum
(jaksa), yang disebut Crown Prosecutor Service (CPS).
Sebelum tahun 1986, di Inggris tidak
ada jaksa atau lembaga penuntut umum. Yang menuntut pidana ke pengadilan ialah
polisi. Karena penuntutan pidana memerlukan keahlian khusus yang menjadi bidang
serjana hukum secara professional maka polisi di Inggris (sebelumtahun 1986)
hanya menuntut perkara-perkara kecil atau sederhana pembuktiannya, sedangkan
perkara-perkara besar (serius) “terpaksa mereka menyewa barrister (advokat)
atau soliciter (pengacara). Karena sekian lama praktik itu berlangsung, rupanya
agak berat juga negara yang selalu membayar pengacara yang tentu mahal.
Pemikiran untuk menciptakan lembaga penuntut umum mulai muncul.
Negara-negara bekas jejahan atau
dominios Inggris seperti New Zealand dan beberapa bagian Yurisdiksi Australia,
menganut sistem Inggris. Begitu pula Bangledesh, Brunei, India, Srilangka,
Malaysia, Singapura, Pakistan, dan lain-lain.
Pada negara-negara ini jaksa tidak
menyidik Bersama polisi, berbeda dengan negara-negara Eropa Kontinental seperti
Belanda, Jerman, Belgia, Prancis, negara-negara Skandinavia, dan juga dengan
Skotlandia sendiri. Yang penting sekali diketahui dalam dalam sistem penuntutan
pidana ini, ialah tentang kebijakan penuntutan atau keputusan untuk menuntut
atau tidak menuntut oleh penuntut umum (policy of prosecution)
Karena dalam sistem Anglo Saxon tidak
dikenal sistem oprotunitas dan legalitas secara resmi maka kebijakan penuntutan
ini bervariasi dari satu negara ke negara lain. Inggris sendiri memperaktikan
penyimpangan perkara demi kepentingan umum. Kepentingan umum diartikan luas,
termasuk kepentingan anak di bawah umur dan orang yang sudah terlalu tua.
Berlainan sekali dengan di Indonesia, yang secara historis dan yuridis menganut
asas oprotunitas, tetapi mengartikannya terlalu sempit. Hanya Jakasa Agung yang
berwenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Lalu kepentingan
diartikan terlalu sempit, yaitu kepentingan negara dan masyarakat.
Sebelum terbentuknya CPS pada tahun
1986, di Inggris ada tiga pilihan dalam penuntutan pidana yaitu sebagai
berikut.
1. Terdakwa
harus dituntut karena ada cukup bukti
2. Terdakwa
tidak dituntut karena tidak cukup bukti
3. Dengan
perhatian saja walaupun cukup bukti
Setelah Undang-undang Penuntutan
Pidana (The Prosecution of Offences Act) tahun 1985 diundangkan, maka CPS dalam
memutuskan untuk menuntut atau tidak menuntut, ia harus perhatikan pasan 10
undang-undang tersebut yang mengatakan bahwa untuk melanjutkan suatu perkara,
harus cukup bukti yang menunjukan ada harapan yang realistic bahwa terdakwa akan
dipidana dan untuk kepentingan umum untuk menuntut.
Di Inggris, sekali penuntut umum
mengajukan perkara ke pengadilan, ia tida dapat lagi menyampingkan perkara itu.
Jika ia hendak menarik penuntutan, ia tidak dapat mengajukan bukti-bukti dan memohon
persetujuan pengadilan untuk menghentikan penuntutan. Pengadilan dapat
melimpahkan perkara Director of Public Prosecution (Direktur Penuntut Umum),
yang bisa disingkat dengan DPP. DPP ini mengambil alih atau meminta kepada
Attorney General (Jaksa Agung) untuk menarik penuntutan.
Prancis yang diikuti oleh Belgia,
termasuk juga negara-negara yang tidak mengenal asas oprotunitas dan legalitas
secara resmi, tetapi sejak Revolusi Prancis, penuntut umum boleh menyampingkan
perkara yang disebut Classer sans suite.
b. Negara-negara
yang menganut asas oportunitas
Yang pertama-tama disebut ialah Belanda. Kerena
menurut sejahnya Belandalah yang membawa asas itu Ke Indonesia. Praktik
peerapan asas oportunitas di Belanda semakin luas. Mereka mengartikan asas
oportunitas sebagai “penuntut umum boleh memutuskan untuk menuntut atau tidak
menuntut dengan syarat atau tanpa syarat” (the public prosecutor may decide
conditionally or unconditionally to take a prosecution to court or not).
Kedudukan penuntut umum (Officier van Justitie) di sana sangat kuat, sehingga
sering disebut sebagai semi judge (setengah hakim), karena kebebasannya secara
individual untuk menuntut atau tidak menuntut.
Peranan yang sangat penting jaksa
Belanda dalam seluruh proses tuntutan pidana, ialah sama halnya dengan jepang
dan korea Selatan, begitu pula dengan Indonesia, yaitu pada akhir pemeriksaan
siding, sebelum putusan hakim dijatuhkan, penuntut umum membacakan tuntutan
yang disebut requisitor. Di ujung requisitoir penuntut umum menguraikan
terdakwa, kemudian meminta pidana tertentu yang akan dijatuhkan hakim.
Permintaan pidana ini harus dengan alasan-alasan yang cukup.
Peranan penuntut umum di sini merupakan
filter terhadap putusan hakim. Hakim tidak dapat mengabaikan permintaan pidana
penuntut umum, karena penuntut umum akan naik banding jika tuntutannya tidak
dihiraukan oleh hakim. Di sinilah letak peranan jaksa yang sangat mentukan
dalam seluruh proses peradilan pidana lebih dari polisi.
Inilah yang disebut di Belanda pengawasan
negatif dari penuntut umum (negatieve controle van het Openbaar Ministerie).
Dapat juga kita sebut sebagai pengawasan pasif penuntut umum. Penuntutu umum
tidak dapat mendesak hakim untuk mengikuti tuntutannya, tetapi hakim juga tidak
dapat begitu saja menyampingkan tuntutan penuntut umum, karena jika tuntutannya
sangat beralasan disingkirkan hakim, atau putusannya terlalu ringan atau
terlalu berat, maka putusan itu akan disbanding.
Apa yang diterapkan di Belanda mirip
sekali dengan apa yang diterapkan di Jepang. Jepang juga melaksakan asas
oportunitas sangat luas. Sudah sejak lama jepang memonopoli penuntutan pidana
sama dengan rekannya di Belanda dan negara-negara Skandinavia. Ia dapat pula
menyidik sendiri, dapat memerintah polisi untuk memulai atau menghentikan
penyidikan. Ia dapat mengambil alih penyidikan atau memberi petunjuk kepada
polisi. Mirip sekali dengan Indonesia zaman HIR.
Jaksa jepang mempraktikkan yang disebut
penundaan penuntutan jika dipandang penuntutan tidak perlu karena sifat delik,
umur, dan lingkungan tersangka, berat keadaan delik serta keadaan sesudah delik
dilakukan.
Norwegia secara resmi menganut asas
oportunitas dengan undang-undang tahun 1887. Ketentuan tentang pelaksanaan asas
oportunitas yang sudah di atur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut
lebih dari seratus tahun yang lalu itu, tambah luas dilaksanakan dengan
keluarnya Undang-Undang Hukum Acara Pidana baru tahun 1981 (sama waktunya
dengan KUHP kita), tetapi baru mulai berlaku 1 januari 1986, jadi sangat baru.
Jakasa Norwegia dapat menjatuhkan sanksi
tanpa persetujua hakim yang disebut patale unnlatesa. Saksi itu dapat berupa
denda atau ganti kerugian kepada korban, atau kedua-duanya. Akan tetapi, harus
disetujui oleh terdakwa. Jika terdakwa setuju maka perkara dikesampingkan ,
tetapi jika tidak, perkara akan lanjut kepengadilan.
Di Indonesia sendiri wewenang penuntutan
dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang
boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau
jaksa. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim
hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum.
Dalam pasal 35c Undang-undang Nomor 16
Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Negara Republik Indonesia dengan tegas menyatakan
asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal itu berbunyi sebagai berikut,
“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum.
Negara
lain yang menganut asas oportunitas selain tersebut di muka, juga korea selatan
dan Israel.
c. Sistem
penuntutan di negara-negara yang menganut asas legalitas
Pertama-tama dapat disebut jerman. Jaksa jerman pada
prinsipnya tidak boleh menyampaingkan perkara tetapi harus diteruskan ke
pengadilan. Sistem penuntutan jerman diatur di dalam Strafprozessordnung (Undang-Undang Hukum Acara Pidana), terutama
pasal 152, 153 – 153e, 154 – 154e.
Setelah menerapkan asas legalitas
dengan ketat, mulai ada pengecualian-pengecualian. Misalnya jaksa Jerman dapat
menyempingkan perkara termasuk pencurian dengan jalan membongkar kejahatan
kelas atas (white collar), serangan seksual kepada anak di bawah umur tanpa
kekerasan. Jika jaksa piker tingkat kesalahan rendah dan kepentingan umum tidak
memerlukan penuntutan. Karena jerman menganut asas legalitas, maka penyampingan
perara tersebut memerlukan persetujuan hakim.
Australia dan Italia menerapkan asas
legalitas dengan konsisten. Di negara ini tidak ada jalan bagi jaksa untuk
menyampingkan perkara sebelum persidangan pengadilan. Jika ada hal-hal istimewa
yang memerlukan perhatian khusus jaksa dapat meminta hakim untuk menghentikan
proses.
Sepanyol juga menganut asas legalitas dan jaksa
tidak memihak (impartial), dalam menegakan hukum. Sebagaimana diketahui, dalam
hal kebebasan penuntutan pidana ada dua jenis sistem yaitu pertama, jaksa
tergantung kepada eksekutif. Yang kedua, jaksa tidak tergantung kepada
eksekutif. Sebenarnya ada bentuk ketiga, yaitu jaksa bebas dari eksekutif,
tetapi bertanggung jawap pada parlemen. Ini dipandang lebih baik dalam hal
jaksa tidak memihak dalam penuntutan. Jaksa Sepayol dapat juga menuntut perdata
ganti kerugian Bersamaan dengan penuntutan pidana, kecuali jika korban
memaafkan terdakwa.
a)
Amerika
Amerika Serikat dibicarakan tersendiri karena
meskipun ia menganut common law yang mengikuti Inggris, namun sistem
penuntutannya menyimpang dari sumbernya itu. Sejak dahulu Amerika Serikat sudah
mempunyai penuntut umum, berbeda dengan Inggris yang baru pada tahun 1986
menciptakan penuntut umum.
Sistem penuntutan di Amerika Serikat
sangat berbeda dengan sistem Inggris atau Prancis `atau Eropa yang lain. Dalam
hal privilege penuntut umum dapat disejajarkan dengan rekannya di Inggris atau
Prancis, tetapi pekerjaanya sehari-hari sangat berbeda.
Jaksa Amerika (US Attorney, Countury
Atterney, District Attorney, dan State Attorney) hampir otonom dalam melaksanakan
wewenang diskresi (discretionary power)
sejak awal penyidik sampai pada pasca persidangan. Keputusan untuk menuntut
ataukah tidak hampir berbeda sepenuhnya dari orang-orang dan badan lain. Ia
dapat menghentikan penuntutan atau berkompromi yang disebut plea berganing.
Terdakwa dapat mengaku bersalah sebelum persidangan dimulai. Jika jaksa setuju,
maka ia dapat mengurangi dakwaan atau memberi rekomendasi kepada pengadilan
yang lebih riangan. Supaya diskresi penuntutan tidak disalahgunakan, maka
American Bar Association (Persatuan Serjana/Profesi Hukum Amerika) membuat
standar untuk menerapkan diskresi penuntutan sebagai berikut.
1. Untuk
menuntut, maka penuntut umum harus menentukan apakah cukup bukti-bukti untuk
memidana terdakwa. Adalah tidak professional jika penuntut umum menuntut
sedangkan tidak cukup bukti.
2. Penuntut
umum tidak wajib menuntut semua dakwaan
yang tersedia bukti-bukti. Penuntut umum harus dalam keadaan tertentu dalan
alasan yang baik konsisten pada kepentingan umum walaupun cukup bukti untuk
memidana. Factor-faktor ilustratif yang sebaiknya dipertimbangkan oleh penuntut
umum untuk melaksanakan hukum:
a. Penuntut
umum ragu-ragu apakah terdakwa sungguh-sungguh bersalah
b. Keadaan
kerugian yang disebabkan oleh delik
c. Tidak
proporsional untuk memidana berkaitan dangan delik secara khusus atau terdakwa
d. Kemungkinan
tidak benarnya motif pengaduan
e. Korban
enggan menjadi saksi
f. Kerjasama
terdakwa dalam menangkap atau memidana terdakwa yang lain
g. Adanya
penuntutan yang sama oleh yurisdiksi lain
3. Dalam
mengambil keputusan untuk menuntut tidak boleh dikaitkan dengan kepentingan
pribadi atau keuntungan politis penuntut umum, tidak boleh mencari popularitas
tentang keberhasilannya dalam menuntut
4. Dalam
hal menyangkut ancaman serius terhadap kepentingan masyarakat
5. Dalam
hal perkara serius terhadap masyarakat, penuntut umum tidak boleh tidak
menuntut dengan alasan juri (di Indonesia: hakim) di dalam yuridiksinya selalu
membebaskan perkara demikian
6. Penuntut
umum tidak boleh mencari dakwaan yang lebih banyak selain berdasarkan
bukti-bukti di persidangan.
Variasi system Amerika muncul di
Singapura yang penuntut polisi (police prosecutor) pada pengadilan rendah dapat
melakukan negosiasi untuk menarik atau mengurangi dakwaan di depan deputi
penuntut umum karena yang tersebut terakhir ini harus menyetujuinya, karena
penuntut polisi itu tidak dapat menarik dakwaan. Sama halnya dengan Inggris,
Singapura tidak mengenal asas oportunitas atau legalitas secara murni, namau
dalam praktik mereka menyampingkan seperti perkara seprti di uraikan di muka.
Penyelesaian
tindak pidana melalui mediasi di Amerika Serikat dikenal sejak tahun 1970,
yaitu sejak adanya lembaga yang mengintrodusir salah satu bentuk penyelesaian
tindak pidana melalui program rekonsiliasi yang dikenal dengan Victim
offender Reconciliation Program di wilayah Menonnite, Amerika Serikat.
Program tersebut didasari atas pandangan bahwa penyelesaian tindak pidana
melalui rekonsiliasi dapat dilakukan oleh rujukan dari lembaga Kepolisian,
Kejaksaan, dan Kehakiman yang ada di setiap negara bagian yang memiliki hak
diskresi yang diberikan oleh undang-undang kepada mereka.
Terdapat beberapa variasi
dalam proses mediasi seperti yang terjadi pada tahap diversi pra persidangan,
sebelum dilakukan proses pembuktian, pada tahap pasca adjudikasi tetapi sebelum
putusan akhir, dan pasca putusan akhir. Beberapa program mediasi juga
disediakan bagi penyelesaian tindak pidana-tindak pidana yamg lebih serius
seperti tindak pidana penganiayaan fisik berat, kekerasan dalam rumah tangga,
pembunuhan karena kelalaian dan penyerangan seksual, tindak pidana percobaan
pembunuhan atau bahkan tindak pidana pembunuhan berencana, yang diselesaikan
atas dasar adanya rujukan dari pejabat-pejabat pengawas hukuman percobaan,
hakim-hakim dan para penuntut umum.
Berdasarkan hasil
evaluasi yang dilakukan terhadap proses penyelesaian tindak pidana melalui
mediasi adalah sangat berdampak positif terhadap penanggulangan tindak pidana
maupun terhadap dampak pencegahannya, yakni :
- VOM
menghasilkan tingkat kepuasan yang sangat tinggi bagi para korban karena proses
mediasi tersebut berjalan sangat adil.
-
Pengalaman mediasi menaikkan harkat dan martabat manusia pada sistem peradilan
baik bagi para korban maupun bagi para pelaku tindak pidana.
- Proses VOM mempunyai dampak
positif yang lebih signifikan terhadap para
korban tindak pidana maupun para pelaku tindak pidana karena proses
tersebut tidak berat sebelah.
-
Memberikan suatu kontribusi untuk mengurangi ketakutan dan kecemasan diantara
para korban tindak pidana.
- VOM
dapat efektif dalam menangani para remaja pelaku tindak pidana melalui proses
penyelesaian yang lebih awal.
- VOM
mendapat dukungan dari pejabat-pejabat pengadilan dan personalia badan-badan
lain.
- Para
korban merasa mediasi bersifat sukarela.
b) Kanada
Sistem hukum pidana di
Kanada dikenal dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian
tindak pidana melalui pendekatan restoratif seperti yang tercantum dalam section
717 KUHP Canada dan section 4 Young Offenders Act 1984 yang merupakan
bagian dari sistem peradilan pidana pada umumnya, namun pelaksanaannya berada
pada suatu komisi (community justice committees) atas rujukan dari pihak
kepolisian.
Bentuk penyelesaian
ini merupakan suatu alternatif penyelesaian yang dapat diterapkan pada
kasus-kasus yang berada pada tingkat sebelum dan sesudah dakwaan dibacakan
kepada pelaku tindak pidana. Dalam setiap proses penyelesaian tindak pidana
melalui pendekatan restoratif, pihak polisi Canada memiliki peran yang sangat
besar karena dalam proses, seperti keterlibatan dalam pertemuan-pertemuan
keluarga (family group conferencing), pertemuan forum-forum tertentu (community
justice forums) yang dirancang untuk dapat menyelesaikan setiap tindak
pidana. Berbagai model penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restoratif
dan biasanya pilihan model tersebut disesuaikan dengan kondisi wilayah negara
bagian di Kanada, adalah sebagai berikut:
- Proses Resolusi bagi Para Urban di Wilayah Einnipeg-Manitoba
Bagi para urban di wilayah
Winnipeg Manitoba, baik bagi pelaku yang masih remaja atau sudah dewasa
dilakukan dengan model resolusi restoratif yaitu suatu proses mediasi yang
diawali oleh suatu usulan dari para ketua adat masyarakat setempat untuk
mencari jalan keluar penyelesaian suatu tindak pidana melalui jalan alternatif
diluar sistem peradilan pidan ternasuk pemilihan jenis sanksi yang dapat
menghindari penjatuhan sanksi pidana penjara dan kepada para pihak baik korban
maupun pelaku atau masing-masing keluarganya diberi kesempatan untuk melakukan
pertemuan yang dapat mendorong tercapainya suatu kesepakatan yang adil dan
seimbang.
Dalam hal kesepakatan akan dilanjutkan
dengan proses pemulihan bagi pelaku maupun korban tindak pidana mealalui suatu
perundingan. Finalisasi penyelesaian proses ini diikuti dengan pertemuam khusus
untuk meminta pelaku bersedia mempublikasikan permohonan maaf kepada seluruh
masyarakat setempat atas perbuatan yang dilakukannya sebagai bentuk penyeesalan
dan kemudiam pelaku bersedia menanda tangani suatu perjanjian yang berisi
syart-syarat yang harus dilaksanakannya pada waktu yang ditentukan.
-
Forum Kerja Sama
Di negara bagian Edmonton
Alberta, Canada, terdapat sebuah model penyelesaian tindak pidana ( pelaku
remaja ), yang diawali dengan pertemuan antar tokoh masyarakat yang memang
sengaja dirancang untuk dapat mengalihkan proses penyelesaian tindak pidana
dari sistem peradilan pidana ke dalam sebuah forumyang terdiri dari suatu
gabungan kerja sama antara jasa kepolisian dan sejumlah lembaga-lembaga
kemasyarakatan, yang dibentuk oleh penduduk asli.
Para remaja yang melakukan tindak
pidana akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan yang dilakukannya, dan
kepada para korban dibrikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan. Adapun penentuan sanksi pemidanaan dilakukan melalui
suatu pertemuan tentang penentuan sanksi yang akan ditentukan melalui suatu pertemuan
yang terdiri dari hakim,jaksa, polisi, pembela, keluarga pelaku, keluarga
korban, perwakilan dari penduduk asli, untuk mendiskusikan tentang cara yang
terbaik dalam menyelesaikan kasus dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat untuk melakukan rehabilitasi bagi pelaku tindak
pidana. Dalam prakteknya konsep penyelesaian ini telah berkembang luas dalam
masyarakat termasuk bagi pelaku yang sudah dewasa. Model penyelesaian ini dapat
diterima oleh para pihak khususnya pelaku, untuk menghindari sanksi pidana
penjara, dan karena itu pelaku harus terlebih dahulu membuat suatu pernyataan
yang menyatakan dirinya bersalah. Penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan
restoratif sangat memuaskan bagi para pihak yang terlibat dan sangat efektif
mengurangi terjadinya pengulangan tindak pidana.
c) Australia
Penyelesaian tindak
pidana melalui mediasi di Australia telah lama dikenal yang dilakukan melalui
pertemuan oleh para penduduk sipil dan polisi di kota Wagga di negara bagian
New South Wales. Bentuk penyelesaian seperti itu telah mengilhami lembaga
kepolisian selaku bagian dari sistem peradilan pidana untuk menangani tindak
pidana yang dilakukan oleh kaum remaja melalui kesepakatan yang diperjanjikan
di antara para pihak yang terlibat tindak pidana dan sekaligus mengilhami
dikeluarkannya undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan
oleh para remaja yaitu Young Offender Act 1997 Act. Apabila di
negara bagian New South Wales konsep tersebut baru diakui pada tahun 1997 maka
di negara bagian Australia lainnya seperti Queensland, telah diintrodusir
berbagai bentuk penyelesaian tindak pidana melalui konsep conferencing bagi
remaja pelaku tindak pidana pada tahun 1992 dan di negara bagian Australia
Capital Territory diakui pada tahun 1986 yang dikenal dengan Children
Ordinance 1986 Act yang kemudian pada tahun 1993 ketentuan tersebut
mulai diberlakukan bagi para remaja. Sedangkan di negara bagian South Australia
telah dibentuk ketentuan tentang yang mengatur tindak pidana bagi remaja yang
dikenal dengan Young Offender Act 1993 SA yang dioperasionalkan mulai tahun
1994, di negara bagian Western Australia tahun 1994 dan di negara bagian
Tasmania tahun 1997. Conferencing Wagga adalah adalah sebuah bentuk
penyelesaian tindak pidana yang pada awalnya, proses operasionalisasinya berada
di bawah koordinasi kepolisian.10 Polisi yang bertindak selaku penjaga pintu
tunggal dalam menentukan atau menyeleksi para pelaku tindak pidana yang dapat
diproses melalui proses penyelesaian conferencing ini, namun sejak tahun
1997 pertanggungjawabannya telah berada di bawah departemen Kejaksaan Agung,
sedangkan pengelolaannya terletak pada Youth Justice Conferencing
Directorate yang berkedudukan di dalam Department of Juvenile Justice (Departemen
Keadilan Remaja). Ketentuan tersebut mengaturtentang proses penyelesaian tindak
pidana bagi pelaku yang masih remaja dengan memberi tempat bagi kel;uarga untuk
melakukan suatu pertemuan di bawah pengendalian hakim senior dari Pengadilan
Remaja.
Pada umumnya di dalam yurisdiksi Australia, jumlah
para pelaku tindak pidana yang dirujuk ke conferencing tetap
memperlihatkan sejumlah presentasi yang relatif kecil dari total jumlah kasus
yang diproses oleh pengadilan atau yang ditangani oleh polisi namun dalam
proses conferencing memperlihatkan bahwa adanya kesadaran yang tinggi di
antara pelaku tindak pidana, para pendukungnya dan para korban dalam
menyelesaikan tindak pidana melalui conferencing.
d)
Indonesia
1. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
a.
Pasal 137, mengatur:
Penuntut
umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan
suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke
pengadilan yang berwenang mengadili.
b.
Pasal 140 ayat (1), mengatur:
Dalam
hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
c.
Pasal 143 ayat (1), mengatur:
Penuntut
umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara
tersebut disertai dengan surat dakwaan.
2. Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan RI :
a.
Pasal 30, ayat (1) huruf a mengatur:
Di
bidang pidana, kejaksaan membunyai tugas dan wewenang melakukan penuntutan.
b.
Pasal 35 huruf a, mengatur:
Jaksa
Agung mempunyai tugas dan wewenang menetapkan serta mengendalikan kebijakan
penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan
a.
Secara Yuridis
Penuntutan
secara yuridis adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkarapidana ke
Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menuntut carayang di atur dalam
undang-undang ini, dengan permintaan
supaya diperiksadan diputus oleh Hakim di dmini pengadilan (Pasal 1 butir 7 KUHAP). Berdasarkan definisi tersebut di
atas, maka secara teknis yuridis, penuntutandimulai dengan melimpahkan perkara
ke pengadilan oleh penuntut umum.
b.
Secara
Administratif
Penuntutan
sudah dimulai sejak diterimanya penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan
barang bukti (penyerahan tahap II) dimana berkas perkara, tersangka dan barang
bukti telah dimasukkan dalam buku register perkara (RP.9). Sejak saat itulah
perkara sudah berada dalam tahap penuntutan, meskipun penuntut umum belum
melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan. Dengan mengacu kepada pengertian
penuntutan secara dministrative di atas, maka pengertian penuntutan termasuk
penghentian penuntutan, karena suatu perkara pidana baru dapat dihentikan
penuntutannya, setelah perkara tersebut beralih tanggung jawab dari penyidik
kepada penuntut umum, dan dari situlah penuntut umum segera menentukan sikap
apakah berkas perkara tersebut memenuhi syarat untuk dapat atau tidak dapat
dilimpahkan ke pengadilan sebagaimana ditentukankan dalam Pasal 139 KUHAP.
Sesuai dengan pengertian Penuntutan yang dianut
secara administrative berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor :
KEP-518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001, maka Penuntutan terhitung sejak penerimaan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (Penyerahan Tahap II) dan
setelah dicatat dalam Register Perkara (RP-9), Register Barang Bukti (RB-1) dan
Register Tahanan (RT 17)
Oleh karena itu
ruang lingkup penuntutan yang dianut dalam pembelajaran ini, meliputi:
a. Pemeriksaan Tambahan
b. Praperadilan
c. Penerimaan
dan Penelitian Tersangka (tahap II), pasal 8 ayat (3) KUHAP
d. Penerimaan
dan Penelitian Barang Bukti (tahap II)
e. Penangguhan Penahanan
f. Pembantaran
Penahanan
g. Pelimpahan
perkara ke Pengadilan
h. Penghentian Penuntutan
i. Pemanggilan
saksi, ahli, terdakwa, terpidana tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti
j. Penyusunan
tuntutan pidana, Pasal 182 KUHAP
k. Pengesampingan
Perkara Demi Kepentingan Umum