Hukum Jaminan merupakan bidang hukum yang semula termasuk ke dalam lingkup hukum perdata, namun dalam perkembangannya hukum jaminan berkembang sedemikian pesat, sehingga tidak dapat lagi secara tegas dikatakan merupakan bagian dari hukum perdata. Keterlibatan bidang hukum lain yang bersifat publik seperti hukum administrasi negara, serta pengaruh dari konvensi-konvensi internasional, menjadikan hukum jaminan lebih tepat dikatakan sebagai bagian dari hukum ekonomi, yang bersifat interdisipliner dan transnasional (Sunaryati Hartono, 1982).
Dengan demikian, persoalan hukum yang timbul dari jaminan tidak lagi dapat didekati hanya dari aspek keperdataan saja. Sifat transnasional hukum jaminan Indonesia dapat dilihat dari perkembangan regulasi yang berkaitan dengan jaminan pesawat udara. Peraturan Presiden No : 8 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Convention on International Interest in Mobile Equipment (Konvensi Tentang Kepentingan Internasional Dalam Peralatan Bergerak) Beserta Protocol To The Convention on International Interest in Mobile Equipment on Matter Spesific To Aircraft Equipment (Protokol Pada Konvensi Tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak Mengenai Masalah-Masalah khusus Pada Peralatan Pesawat Udara) mengatur tentang jaminan untuk pesawat udara yang diakui secara internasional.
Mieke Komar (2014) menyebutkan bahwa konvensi ini bertujuan untuk :
1) to facilitate the acquisition and financing of mobile equipment;
2) to provide remedies for creditor where there is evidence of default;
3) to establish an international registration, to register international interest;
4) to support aircraft and airline industry;
5) to give creditors greater confidence in the decisions to grant credit.
Ratifikasi konvensi tersebut, selain memfasilitasi kepemilikan dan pembiayaan peralatan bergerak, juga bermaksud memberikan landasan hukum bagi kreditor untuk memperoleh haknya dalam hal debitor wanprestasi, menetapkan tentang pendaftaran jaminan yang diakui secara internasional, mendorong insustri pesawat udara dan maskapai penerbangan, serta memberikan kepercayaan yang lebih besar bagi kreditor dalam memberikan kredit.
Dalam sistem hukum jaminan Indonesia, aturan umum yang mengatur tentang jaminan di Indonesia dapat ditemukan dalam Buku II dan Buku III KUHPerdata. Selain mengatur tentang jaminan umum dalam Pasal 1131 dan 1132, Buku III mengatur tentang jaminan perorangan, yaitu penanggungan (borgtocht) sebagai salah satu jenis perjanjian bernama (benoemde overeenskomst). Penanggungan ini dalam perkembangannya menjadi aturan umum bagi terbitnya jenis jaminan perorangan dalam perkembangan seperti jaminan korporasi dan garansi bank. Perkembangan jaminan perorangan lebih fleksibel karena cukup diperjanjikan oleh para pihak, kecuali Garansi Bank yang harus memperhatikan ketentuan dan syarat yang dikeluarkan oleh Otoritas Perbankan. Hal ini dimungkinkan karena Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka (Pasal 1319) dan asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 Ayat 1), yang memberikan keleluasan bagi para pihak untuk membuat atau mengembangkan jenis perjanjian baru sepanjang memenuhi syarat sah suatu perjanjian. Kebebasan membuat perjanjian disini dapat dimaknai untuk membuat perjanjian dengan nama baru, kebebesan mencantumkan klausul yang akan disepakati dan kebebasan menggunakan bentuk perjanjian, apakah akan dibuat secara tertulis, tidak tertulis atau elektronis, sepanjang memenuhi syarat sah perjanjian berdasarkan Pasal 1320.
Selanjutnya Buku II mengatur tentang Gadai (Pasal 1150-1160) dan Hipotik (Pasal 1162-1232) sebagai jenis hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan. Di dalam jaminan kebendaan terdapat benda yang sengaja disendirikan untuk dijadikan jaminan bagi pelunasan utang. Berbeda dengan Buku III, Buku II menganut sistem tertutup, yang tidak memungkinkan para pihak membuat hak kebendaan baru selain yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Oleh karena itu, pengembangan jaminan kebendaan harus selalu dilakukan dengan mengaturnya dalam Undangundang. Beberapa peraturan perundangundangan yang mengatur jaminan kebendaan di luar KUHPerdata :
a. Undang-undang No : 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Dan Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. UU ini mencabut hipotik atas tanah, oleh karena itu ketentuan Hipotik hanya berlaku untuk objek berupa benda tidak bergerak selain tanah, baik karena sifatnya maupun karena undang-undang.
b. Undang-undang No : 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia. Lahirnya undang-undang ini mengakhiri keraguan dan perdebatan bahwa Fidusia adalah jaminan kebendaan, mengingat Fidusia lahir karena kebutuhan dalam praktik yang diperkuat dengan putusan pengadilan (yurisprudensi) dan doktrin.
c. Undang-undang No : 9 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No : 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang, yang juga menimbulkan pendapat berbeda di antara para pakar, apakah Jaminan Resi Gudang ini merupakan jaminan kebendaan baru, melengkapi jaminan kebendaan yang sudah ada, atau hanya mengembangkan instrumen surat berharga yang dapat menggunakan jaminan yang telah ada yaitu gadai atau fidusia.
Sumber :
TELAAH YURIDIS PERKEMBANGAN LEMBAGA DAN OBJEK JAMINAN (GAGASAN PEMBARUAN HUKUM JAMINAN NASIONAL) Disusun oleh: Lastuti Abubakar Departemen Hukum Ekonomi-Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran