A.
1. Perlindungan Ham
Setelah 15 tahun dari Reformasi
1998, jaminan hak asasi manusia (HAM) di indonesia dalam tataran normatif
semakin maju. Amandemen kedua UUD 1945, telah memperkuat perlindungan HAM di
Indonesia yang memastikan bahwa sejumlah hak-hak asasi yang diatur merupakan
hak konstitusional.[1] Sebelumnya,
indonesia telah menyusun kebijakan HAM yang dituangkan dalam ketetapan MPR No.
XVII tahun 1998 tentang hak asasi manusia. Pada tahun 1999, terbentuk UU No.39
tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yang juga menjamin berbagai hak-hak asasi
warga negara. Setelah reformasi, berbagai Undang-undang terbentuk dan semakin
memperkuat jaminan perlindungan HAM di indonesia, termasuk melakukan ratifikasi
atau aksesi sejumlah instrumen HAM internasional, diantaranya “The
International Covenant on Civil and political Right” (ICCPR) dan “the
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights” (ICESCR).
UUD 1945menjamin perlindungan HAM,
misalnya pengakuan dan jaminan hak atas persamaan hukun, jaminan hak untuk
bebas dari tindakan diskriminasi dalam berbagai bentuknya, hak untuk bebas dari
penyiksaan, dan lain sebgainya. UU No. 39 tahun 1999, selain mengatur tentang
berbagai hak yang dijamin, juga menjelaskan tentang tanggung jawab pemerintah
dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM serta mengatur tentang
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Sejak tahun1998 hingga kini,
dalam kebijaka yang lebih operasional, pemerintah telah menyusun rencana aksi
nasional hak asasi manusi (RANHAM). Adanya RANHAM ini juga sebagai bentuk
komitmen pemerintah .
Jaminan perlindungan HAM dalam
berbagai peraturan tersebut memberikan kewajiban kepada negara dan utamanya
pemerintah terhadap hak hak yang dijamin. Terlebih, setelah indonesia
meratifikasi 2(dua) instrumen internasional pokok HAM , menambah komitmen
indonesia dalam perlindungan HAM. Sebagai negara pihak dari kovenan, indonesia
mempunyai kewajiban untuk melakukan segala upaya (hukum, legislatif, dan
administratif, dan lainnya) untuk melindungi hak hak yang dijamin dalam kovenan[2].
Komitmen negara dalam menghormati,
melindungi, dan memenuhi HAM tersebut yang kemudian dilakukan dengan terus
menerus mengupayakan adanya pembentukan, perubahan, dan pencabutan regulasi
regulasi yang dimaksudkan untuk memperkuat perlindungan HAM.
Dalam bidang peradilan misalnya,
adanya reformasi regulasi untuk mewujudkan adanya kemandirian peradilan (independence
of the judiciory), dengan melakukan pemisahan kekuasaan eksekutif dan yudikatif,
memberikan kewenganangan kepada badan badan peradilan untuk melaksanakan
peradilan secara adil (fair) dan tidak memihak (importial), membentuk badan
badan khusus untuk melaksanakan pengawasan, dan menciptakan berbagai program
pelatihan untuk membentuk aparat penegak hukum yang dan semakin profesional.
Upaya upaya perubahan untuk menjamin kesetaraa dan non diskrinminasi juga terus
diupayakan, misalnya, penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan
diskriminasi rasial. Tahun 1999 indonesia meratifikasi “the international
convention on the Elimination of All Form of Racial Discrimination”(CERD),
yang kemudian tahun 2008 membentuk UU No. 40 tahun 2008 tentang penghapusan
diskriminasi ras dan etnis.
Dalam bidang politik, reformasi
regulasi terkait dengan pemilu dan partisipasi publik dalam politik juga terus
diperbaik, bertujuan untuk memastikan berjalannya demokrasi. Pelembagaan
prosedur prosedur demokrasi telah berlangsung, misalnya pergantian pejabat
publik melalui pemilihan umum yang bebas. Di paelemen, memungkinkan adanya
lebih dari satu partai politik, DPD sebagai perwakilan daerah tingkat nasional
dan kepala pemerintahan di tingkat lokal (pilkada). Pelembagaan lain dari
demokrasi adalah mahkamah konstitusi yang memungkinkan menguji kesesuaian UU
dengan konstitusi yang merupakan hukum dasar negara RI.
Dalam bidang hak hak ekonomi,
sosial dan budaya, negara dan pemerintah terus mengupayakan perbaikan
pemenuhannya, misalnya dengan program akses pendidikan (anggaran 20% APBN),
kesehatan (program kesehatan masyarakat, kartu sehat, dll), program perumahan
untuk penduduk berpenghasilan rendah, dan sejumlah program kesejahteraan
lainnya. Dalam konteks pemenuhan hak hak ekonomi, sosial dan budya, terdapat
berbagai rencana jangka pendek maupun panjang untuk memperbaiki kondisi
pemenuhan hak hak tersebut.
Melihat perkembangan tersebut,
upaya upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM di indonesia merupakan
kerja jangka panjang yang tidak boleh berhenti. Hak ini untuk memastikan
pelaksanaan kewajiban negara dalam bidang HAM dan juga memastikan penikmatan (enjoyment)
HAM oleh warga negara.
Salah satu ciri
dari negara hukum atau the rule of law adalah adanya jaminan perlindungan HAM
oleh negara kepada warga negara. Makna jaminan perlindungan di sini adalah
bahwa negara memiliki kewajiban (state obligation) untuk mempromosikan (to
promote), melindungi (to protect), menjamin (to guarentee), memenuhi (to
fulfill), memastikan (to ensure) HAM.
a. Mempromosikan
artinya bahwa negara melalui alat-alat perlengkapannya baik di tingkat pusat
maupun daerah memiliki kewajiban untuk senantiasa mensosialisasikan pentingnya
perlindungan HAM serta berbagai peraturan PerUUan di bidang HAM sehingga
tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya HAM semakin meningkat.
b. Melindungi
artinya, negara memiliki kewajiban untuk melindungi HAM setiap warga negara
tanpa didasarkan atas diskriminasi agama, ras, suku, etnik, dsb. Negara tidak
hanya memiliki kewajiban untuk proaktif memberikan perlindungan HAM setiap
warga negaranya, namun juga negara tidak dobenarkan melakukan pembiaraan (act
by ommission) terhadap adanya pelanggaran HAM yang terjadi dimasyarakat.
c. menjamin
perlindungan HAM artinya bahwa perlindungan HAM tidak hanya cukup dimaktubkan
dalam tujuan negara (staat ide) atau tidak cukup hanya dituangkan dalam
berbagai pasal dalam konstitusi, namun yang lebih penting adalah bagaimana
negara menjamin pengakuan dan perlindungan HAM tersebut dituangkan dalam
peraturan setingkat UU atau bahkan setingkat peraturan pelaksana seperti PP,
Perda, Kepres, dan kebijakan lain baik di tingkat pusat maupun daerah.
d. memenuhi artinya
terhadap adanya pelanggaran HAM yang terjadi dan menimbulkan korban, negara
memiliki kewajiban untuk segera memenuhi hak-hak korban dengan segera dan proporsional
dengan tanpa disyaratkan dalam kondisi tertentu.
e. memastikan
artinya bahwa negara dapat memastikan bahwa pelaku pelanggaran HAM akan
dimintai pertanggungjawaban sesuai ketentuan peraturan perUUan.
2. Penegakan HAM
Penegakkan HAM itu penting di lakukan di indonesia agar negara indonesia
tidak termasuk negara “unwillingness state” yaitu negara yang tidak mempunyai
kemauan menegakkan HAM. Agar tercipta keamanan, ketemtraman, kedamaian
kebahagiaan dan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat senantiasa menjungjung
tinggi penghargaan terhadap hak hak dan kebebasan kebebasan melalui tindakan progresif
baik secara nasional maupun internasional. Namun manakala manusia telah memproklamasikan
diri menjadi suatu kaum atau bangsa dalam suatu negara, status manusia
individual akan menjadi status warga negara. Pemberian hak sebagai warga negara
diatur dalam mekanisme kenegaraan. Berikut ini langkah langkah upaya penegakkan
HAM di indonesia :
a. Mengadalkan
langkah konkret dan sistematik dalam pengaturan hukum posistif
b. Membuat peraturan
perundang undangan tentang HAM
c. Peningkatan penghayatan
dan pembudayaan HAM pada segenap elemen masyarakat
d. Mengatur
mekanisme perlindungan HAM secara terpadu
e. Memicu keberanian
warga untuk melaporkan bila ada pelanggaran HAM
f. Meningkatkan
hubungan dengan lembaga yang menangani HAM
g. Meningkatkan peran
aktif media massa
Dalam penegakkan Ham di indonesia perangkat ideologi pancasila dan UUD
1945 harus dijadikan acuan pokok, karena secara terpadu nilai nilai dasar yang
ada di dalamnya merupakan the indonesia bill of human right.
Ada sejumlah kemajuan positif yang telah dilakukan oleh pemerintah
indonesia dalam kerangka penegakkan HAM, khususnya terkait dengan upaya perbaikan
pada kerangka hukum dan institusi untuk mempromosikan HAM. Telah nampak dalam
kerangka hukum, pemerintah indonesia telah melahirkan beberapa kebijakan
menyangkut HAM yang cukup positif. Pembuatan undang undang (UU) HAM serta UU perlindungan
saksi mata, adalah beberapa kebijakan yang dilihatnya dapat memberi sentimen positif
pada persoalan perlindungan HAM di indonesia. Dibentuknya beberapa institusi penegakkan
HAM di indonesia, seperti pengadilan HAM ad hoc, komisi nasional HAM, komnas perempuan
serta sejumlah organisasi HAM lainnya, juga merupakan usaha yang telah
dilakukan pemerintah dalam upaya penegakkan HAM.
v Upaya pemerintah
dalam Menegakkan HAM
a.
Indonesia
menyambut baik kerja sama internasional dalam upaya menegakkan HAM di
seluruh dunia atau disetiap negara dan indonesia sangat merespos terhadap pelanggaran
HAM internasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan kencaman presiden atas
beberapa agresi militer dibeberapa daerah akhir akhir ini . contoh : irak,
Afganistan, dan baru baru ini indonesia juga memaksa pbb untuk bertindak tegas
kepada israel yang telah menginvensi palestina dan menimbulkan banyak korban sipil,
wanita dan anak anak.
b.
Komitmen pemerintah
indonesia dalam mewujudkan penegakkan HAM, antara lain telah ditunjukkan dalam prioritas
pembangunan nasional tahun 2000 sampai 2004 (propenas) dengan pembentukkan
kelembagaan yan berkaitan dengan HAM. Dalam hal kelembagaan telah dibentuk
komisi nasional hak asasi manusia dengan kapres nomor 50 tahun 1993, serta pembentukkan
komisi anti kekerasan terhadap perempuan.
c. Pengeluaran
undang undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, undang undang
nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, serta masih banyak UU yang lain
yang belum tersebutkan menyangkut penegakkan hak asasi manusi.
d. Pembentukkan
komisi nasional hak asasi manusia. Komnas HAM dibentuk pada tanggal 7 juni 1993
melalui kapres nomor 50 tahun 1993. Keberadaan komnas HAM selanjutnya diatur
dalam undang undang RI nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia pasal 75
sampai dengan pasal 99. Komnas HAM meruvakan lembaga negara mandiri setingkat
lembaga negara lainnya yang berfungsi sebagai lembaga pengkaji, peneliti, penyuluhan,
pemantauan, dan mediasi HAM. Komnas HAM beranggotakan 35 orang yang dipilih
oleh Dpr berdasarkan usulan komnas HAM selama lima tahun dan dapat di angkat
lagi hanya untuk satu kali masa jabatan.
e. Melalui upaya pengadilan
HAM. Pengadilan HAM di bentuk berdasarkan undang undang RI Nomor 26 tahun 2000.
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM berat yang di
harapkan dapat melindungi HAM baik perseorangan maupun masyarakat dan menjadi
dasar dalam penegakkan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman, baik perseorangan
maupu masyarakat. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat. Disamping itu berwenang
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang dilakukan oleh warga negara
indonesia dan terjadi diluar batas teritorial wilayah indonesia.
B. Lembaga-Lembaga Perlindungan Hak
Asasi Manusia
1) Mahkamah Konstitusi
Perkembangan pengaturan hak asasi
manusia di indonesia telah dipengaruhi oleh perubahan politik setelah kejatuhan
Presiden Soeharto tahun 1998. Sidang Istimewa MPR bulan November 1998,
misalnya, menghasilkan Ketetapan No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
dan disusul dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Ketentuan lebih ekstensif tentang hak asasi manusia dicantumkan
pula dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (tahun 2000) meskipun
terdapat kemiripan rumusan antara hasil amandemen konstitusi dengan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Ketetapan No. XVI
MPR/1998. Menurut Pasal 281 ayat
(4) Undang-Undang Dasar 1945, negara berkewajiban untuk melindungi, memajukan,
menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia (rumusan yang dalam instrumen
interasional dirumuskan sebagai kewajiban to protect, to promote, to implement
or enforce and to fullfll human rights). Bagaimana hak asasi manusia ditegakkan
di hadapan ancaman-ancaman kekuasaan yang tak perlu dan berlebihan. apa lagi
yang bersalah guna (corrupt). Dalam kaitan ini penting pula untuk
memeriksa mekanisme penyampaian keluhan public (public complaints
procedure),peradilan administrasi/tata-usaha negara, Peradilan di bawah
Makamah Agung (MA), peradilan hak asasi manusia, Komisi Kebenaran dan
Rekonsilliasi (KKR), maupun pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada dasarnya, secara strict wewenang
Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap konstitusi merupakan uji
konstitusionalitas sehingga dikenal sebagai constitutional review. Dalam
pelaksanaannya di Indonesia dan berbagai negara, uji konstitusionalitas itu
disandarkan kepada suatu alas hak (legal standing) bahwa undang-undang yang
diuji telah merugikan hak dan/atau wewenang konstitusional pemohon constitutional
review.Rumusan ini perlu sedikit dijelaskan. Pertama, dirumuskan
sebagai “hak dan atau wewenang”. Wewenang konstitusional lebih terkait dengan
kewenangan lembaga negara yang berhak pula untuk memohon constitutional
review terhadap undang-undang dalam hal suatu undang-undang dinila bertentangan
dengan konstitusi (dalam hal ini menyangkut kewenangan lembaga negara pemohon
pengujian). Kedua, hak konstitusional lebih dekat dengan jaminan perlindungan
hak asasi manusia bagi warga negara. Sudut pandang kedua ini akan dibahas lebih
lanjut.
secara kategoris, jaminan hak asasi
manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 mencakup hak-hak sosial politik, hak-hak
kutural dan ekonomi, hak-hak kolektif, hak atas pembangunan dan lain-lain.
Jaminan hak asasi manusia dalam UUD RI tersebar dalam sejumlah pasal antara
lain 26,27-28J (Bab XA), 29 (Bab Agama),31-32 (Bab Pendidikan dan kebudayaan),
33-34 (Bab Ekonomi dan Kesejahteraan sosial), 30 (Bab Pertahanan dan Keamanan).
Jadi, pengaturan konstitusional mengenai hak asasi manusia tidak terbatas pada
Bab XA tentang HAM.
Di sini perlu diberikan catatan tentang
perumusan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pertama,
pada umumnya hak tersebut dirumuskan sebagai hak setiap orang atau individual
rights. Hanya beberapa hak saja yang dirumuskan sebagai hak warga negara,
misalnya tentang kesempatan yang sama dalam pemerintahan, hak dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara, dan hak memperoleh pendidikan (berturut-turut
lihat Pasal 28D ayat (3), Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945).
Kedua, perbedaan perumusan ini
membawa implikasi Perumusan hak asasi manusia sebagai hak perseorangan
(individual) berarti memberi peluang untuk dijamin dalam sistem hukum manapun
(berdasarkan prinsip universalitas hak asasi manusia), meskipun peluang ini
dapat terhalang oleh ketentuan prosedural hukum acara yang hanya memberi akses
peradilan nasional kepada warga negara. Di sisi lain, perumusan hak-hak
konstitusional sebagai hak warga negara hanya terbatas bagi warga negara yang
bersangkutan (bukan sebagai hak semua orang).
Ketiga, meskipun dirumuskan sebagai hak asasi
manusia tetapi pelaksanaan hak konstitusional tertentu memang terkait dengan
hubungan konstitusional (constitutional and political relations)
pemegang hak yang bersangkutan dengan konstitusi dan negara. Ini mencakup,
misalnya, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama (equal opportunity and
treatment) di muka pemerintahan. Sebagai hak asasi manusia, hak seperti ini
hanya dapat dipenuhi kepada warga negara Begitu pula, “hak konstitusional” untuk
menikmati kewajiban negara dalam menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20
persen dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) maupun APBD
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), merupakan hak warga negara
(perhatikan bahwa besaran anggaran merupakan pilihan politik dan hanya beberapa
negara yang menentukan besaran tersebut).
Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh
Perubahan Ketiga UUD 1945 (tahun 2001) dan baru bekerja sejak akhir cahun 2003,
mekanisme nasional penegakan hak asasi manusia oleh Mahkamah Konstitusi masih
harus ditunggu kecenderungannya. Selain itu pengujian undang-undang pun belum
merupakan tradisi yang mapan dan kehidupan konstitusional yang baru, pasca
amandemen konstitusi, masih dalam tahap pembentukan.[3]
2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Lembaga
nasional hak asasi manusia merupakan sebuah badan yang menangani
persoalan-persoalan hak asasi manusia, terutama dalam kerangka memajukan dan
melindungi hak asasi manusia, Secara internasional institusi ini dimaksudkan
sebagai rekan kerja Komisi HAM PBB di tingkat nasional. Maka, sebagaimana
Komisi HAM PBB- lembaga nasional hak asasi manusia merupakan salah satu
mekanisme pemajuan/perlindungan hak asasi manusia. Di Indonesia, lembaga
nasional tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang
pada awal berdirinya dibentuk berdasar Keppres No. 50 tahun 1993 dan dalam
perkembangannya diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Keberadaan
lembaga ini secara internasional dipandu oleh Prinsip-Prinsip Paris 1991,
mengenai Status dan Fungsi Institusi Nasional untuk Melindungi dan Memajukan
Hak Asasi Manusia. Di dalamnya mencakup yurisdiksi
lembaga, kemandirian dan pluralitas yang harus tercermin dalam komposisi maupun
cara beroperasinya.
v Sejarah,Tujuan dan Fungsi Komnas
HAM
Komnas
HAM dibentuk melalui Keppres No.50 Tahun 1993. Ia dibentuk dalam konteks
politik dalam negri dan internasional yang memberi perhatian serius terhadap
persoalan hak asasi manusia. Tekanan internasional (Konferensi Dunia Hak Asasi
Manusia di Jeneva) maupun nasional (oleh berbagai organisasi non pemerintah,
fragmentasi di kalangan elit) dan peristiwa Santa Cruz di Timor Leste adalah
beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan tersebut. Pembentukan Komnas
HAM dapat dilhat sehagai upaya untuk mengatasi tekanan politik tersebut serta
memberi citra positif pada rezim maupun pribadi Soeharto. Tidak heran jika
kemudian pembentukan itu menuai berbagai keraguan khususnya dari lingkungan
aktivis LSM/ornop akan kapasitas Komnas HAM mempromosikan hak asasi manusia. Dalam
kenyataan juga tingkat pelangaran hak asasi manusia saat itu masih sangat tinggi,
meskipun demikian Komnas HAM selama 9 tahun telah menunjukkan upaya menjaga
kemandirian dari intervensi pemerintah.
Enam
tahun kemudian, atau dua tahun setelah pemerintahan Soeharto jatuh, dasar hukum
dirubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih kuat, yaitu
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Undang Undang ini juga memberi wewenang yang
lebih kuat pada lembaga tersebut. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 75
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Komnas HAM memiliki mandat untuk:
a. Mengembangkan kondisi yang
kondusif begi pelaksanaan hak asasi manusia, baik yang ada dalam perangkat
hukum nasional maupun Deklarasi Universal Hak Asasi dan Piagam PBB (yang dalam
Pasal 55 dan 56 menunjuk pada DUHAM sebagai basis pemajuan hak asasi).
b. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak
asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan ;
Untuk
mencapai tujuan tersebut, Komnas HAM melakukan empat (4) fungsi pokok,yaitu:
a. Pemantauan
b. Penelitian/pengkajian
c. Mediasi
d. Pendidikan
Sejak itu pelaksanaan empat fungsi tersebut
dibagi dalam 4 sub komisi yaitu Sub komisi Pemantauan, Sub Komisi Penyuluhan,
Sub Komisi Pengkajian/penelitian dan Sub Komisi Mediasi. Dalam hubungan keluar
Komnas HAM bertindak sebagai satu kesatuan dan anggota sub komisi dapat
bertugas di sub komisi yang lain.
Seperti dikemukakan
di muka, fenomena Komnas HAM sebagai sebuah institusi lokal untuk pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia bukan khas Indonesia. Secara internasional
lembaga ini berangkat, dari gagasan bahwa focus utama untuk promosi dan
perlindungan hak asasi manusia adalah di tingkat lokal (negara). Variasi dari
gagasan pembentukan Komnas HAM berbagai macam, misalnya ombudsman. Ada
pula yang menganggap lebih penting pemajuan dan perlindungan itu ditegakan
melalui lembaga peradilan-administrasi. Di Indonesia sendiri banyak pihak
menilai bahwa fungsi Komnas HAM masih terbatas sebagai pemadam kebakaran.
Tampaknya
memang kewenangan Komnas HAM untuk menyelidiki dan memeriksa berbagai
peristiwa yang diduga mengandung pelanggaran hak asasi manusia terbatas
pada pemberian rekomendasi. Komnas HAM tidak dapat memaksa ketika
berbagai rekomendasi tidak diindahkan oleh pihak pihak yang berkaitan.
Sesungguhnya sikap-sikap tersebut mencerminkan masih bercokolnya kultur
atau kebijakan rezim lama yang menutup diri atas koreksi masyakarat.
Sikap-sikap yang bertolak belakang dengan dinamika masyarakat yang
ditandai oleh meningkatnya kesadaran warga akan hak-haknya dan yang menuntut
terwujudnya demokratisasi dan rasa keadilan.
Salah satu
langkah legal yang dapat dilakukan adalah memberi alat pemaksa bagi Komnas HAM
termasuk pemberian sanksi bagi instansi yang tidak melaksanakan rekomendasinya.
Hak menggugat di hadapan pengadilan kiranya dapat menjadi pilihan bagi komnas
HAM dalam menghadapi berbagai instansi bersangkutan yang tidak bersedia
melaksanakan rekomendasi komnas HAM dimaksud. Kemungkinan yang lain untuk
memperkuat kinerja anggota dan seluruh staf pendukungnya adalah dengan
pemberian imunitas pada saat mereka menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai
dengan prinsip “itikad baik”.
Baik dalam
Prinsip-Prinsip Paris maupun peraturan yang berlaku. kemandirian Komnas HAM
menjadi kunci bagi keberhasilan pelaksanaan mandatnya. Kemandirian terhadap
berbagai kekuatan terutama kekuasaan negara maupun dari kepentingan pribadi.
Secara empirik, kemandirian itu banyak ditentukan oleh integritas dari
anggota-anggotanya. Kemandirian itu pula secara konseptual maupun praktis akan
terganggu ketika unsur pendukung tidak bekerja secara profesional atau tidak
melalui sistem merit. Status pegawai negeri yang dimiliki oleh staf pendukung
tentunya akan terikat pada hirarki kepegawaian yang diatur pemerintah. Ketika
budaya birokrasi masih tidak berorientasi pada pelayanan publik dan cenderung
menutup informasi maka independensi Komnas HAM akan mendapat gangguan, apalagi
ketika pimpinan staf pendukung, Sekretaris lenderal.,harus dijabat oleh
seseorang berstatus pegawai negeri (Pasal 81 131). Prinsip prinsip Paris
sendiri menyatakan bahwa keterlibatan pegawai negeri/pejabat pemerintah dalam
instansi sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia paling jauh hanya sebagai
konsultan Jumlah anggota Komnas HAM berdasarkan undang-undang lebih besar dari
yang ditentukan oleh Keppres. Besarnya jumlah anggota tidak dengan sendirinya
meningkatkan efektifitas Komnas HAM dalam nenjalankan berbagai fungsi dan
kewenangannya. Jika dibanding dengan komisi sejenis di negara-negara lain
Komnas HAM Indonesia lebih 'gemuk’ Sebagai perbandingan. India yang jumlah
penducduknya jauh lebih besar dari Indonesia ternyata hanya memiliki 5 anggota
(komisioner). Begitu pula dengan Filipina, Komnas HAM-nya hanya mempunyai 6
komisioner. Praktik yang sama juga kita lihat pada komisi-komisi yang muncul
belakangan di Indonesia, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya
memiliki 5 orang anggota, Komisi Pemilihan Umum (KPU) jumlah anggotanya 11
orang, Komisi Perlindungan Anak indonesia (KPAI) hanya memiliki anggota 9
orang, dan Komisi Penyiaran indonesia (KPI) jumlah anggotanya juga 9 orang.
Jadi jumlah 35 orang komisioner untak Komnas HAM sangat besar. Yang lebih
dibutuhkan bukan kuantitasya tetapi kualitas anggota-anggotanya. Melihat
perbandingan berbagai komisi sejenis, maka syarat keterwakilan bukan alasan
yang valid untuk memiliki banyak
komisioner. Disamping itu, dengan jumlah anggota yang sedikit maka dua hal
sekaligus dapat digapai, yaitu penghematan anggaran dan peningkatan pelayanan.
Berkaitan dengan hal ini gagasan untuk membatasi jumlah anggota menjadi 11
orang patut didukung. Disamping itu perlu pula ditekankan agar 2/3 dari anggota
Komnas HAM terdiri atas satu gender.
Berkaitan
dengan isu aksebilitas, aksbilitas masyarakat yang berkepentingan atas
pelayanan Komnas HAM sangat penting. Salah satu upaya untuk meningkatkan aksebilitas
adalah dengan mendesentralisasi aksebilitas.
3) Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan atau sering disingkat sebagai Komnas Perempuan adalah sebuah
institusi hak asasi manusia yang dibentuk oleh negara untuk merespon isu
hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia, khususnya isu kekerasan terhadap
perempuan. Karena mandatnya yang spesifik terhadap isu kekerasan terhadap
perempuan dan pelanggaran hak-hak perempuan maka ada yang mengkategorikan Komnas
Perempuan sebagai sebuah insitusi hak asasi manusia yang spesifik, berbeda
dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang bersifat lebih umum
mencakupi seluruh aspek dari hak asasi manusia.
Komnas Perempuan didirikan pada
tahun 1998 berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998, sebagai jawaban
pemerintah atas desakan kelompok perempuan terkait dengan peristiwa yang
dikenal sebagai tragedi Mei 1998, di mana terjadi perkosaan massal terhadap
perempuan etnis Tionghoa di beberapa daerah di Indonesia. Pada saat itu, negara
dianggap telah gagal memberi perlindungan kepada perempuan korban kekerasan.
Oleh karena itu, negara, dalam hal ini pemerintah yang diwakili oleh Presiden
RI, Habibie, menganggap bahwa negara harus bertanggungjawab kepada korban dan
kemudian melakukan upaya yang sistematis untuk mengatasi kekerasan terhadap
perempuan.
v Mandat Komnas Perempuan
Berdasarkan Keputusan Presiden No.
181 tahun 1998 yang diperbaharui dalam Peraturan Presiden (PerPres) No. 65
tahun 2005, maka keberadaan Komnas Perempuan bertujuan untuk:
1. Mengembangkan kondisi yang
kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan
penegakan hak-hak asasi perempuan di Indonesia;
2. Meningkatkan upaya pencegahan dan
penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Dalam mencapai tujuan tersebut,
Perpres No. 65 tahun 2005 meletakkan 5 tugas yang harus dijalankan oleh Komnas
Perempuan, yang meliputi penyebarluasan pemahaman, kajian dan penelitian,
pemantauan, rekomendasi dan kerjasama regional dan internasional dengan
penjabaran sebagai berikut
1. Menyebarluaskan pemahaman atas
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan (KTP) Indonesia dan upaya-upaya
pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk KTP.
2. Melakukan Kajian dan penelitian terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berbagai instrumen
internasional yang berlaku serta instrumen internasional yang relevan bagi
perlindungan hak asasi manusia perempuan.
3. Melaksanakan pemantauan termasuk pencarian
fakta dan pendokumentasian tetang segala bentuk KTP dan pelanggaran hak asasi
manusia perempuan serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan
pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan.
4. Memberikan saran dan pertimbangan
kepada pemerintah, lembaga legislatif dan yudikatif serta organisasi-organisasi
masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan
kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala
bentuk KTP Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi
manusia perempuan.
5. Mengembangkan kerjasama regional
dan internasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan
segala bentuk KTP Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak
asasi manusia perempuan.
4) Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) adalah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas
penyelenggaraan perlindungan anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(yang selanjutnya akan disebut dengan KPAI) dibentuk untuk merespon berbagai
laporan tentang adanya kekerasan, penelantaran dan belum terpenuhinya hak-hak
dasar anak di Indonesia. Keputusan politik untuk membentuk KPAI juga tidak
dapat dilepaskan dari dorongan dunia internasional. Komunistas internasional
menyampikan keprihatinan mendalam atas kondisi anak di Indonesia. Banyaknya
kasus pekerja anak, anak dalam area konflik, pelibatan anak dalam konflik
senjata (childs soldier) seperti yang terjadi di Aceh, tingginya angka putus
sekolah, busung lapar, perkawinan di bawah umur, trafficking, dan lain
sebagainya telah memantik perhatian komunitas internasional untuk menekan pemerintah
Indonesia agar membuat lembaga khusus yang bertugas memantau kondisi
perlindungan anak di Indonesia.
Tekanan internasional ini didasari
oleh kondisi bahwa Konvensi tentang Hak Anak (Convention on the Righs of Child)
adalah salah satu instrumen hak asasi manusia internasional yang paling cepat
dan paling banyak diratifikasi oleh berbagai negara di dunia. Dalam waktu yang
sangat dingkat Konvensi tentang Hak Anak diratifikasi oleh seluruh negara
anggota PBB, kecuali Amerika Serikat dan Somalia. Oleh karenanya, banyak
kalangan yang mengatakan bahwa Konvensi tentang Hak Anak bersifat universal,
hampir menyamai universalitas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).[4]
Dorongan komunitas internasional
tersebut kemudian memaksa pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto
untuk mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yang mengamanatkan pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Secara teknis, amanat pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia ditindak
lanjuti dengan pembuatan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 dan terakhir
dengan Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003.
Tugas Komisi Perlindungan Anak
Indonesia adalah:
a.
melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data
dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan,
evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;
b.
memberikan
laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka
perlindungan anak.
KPAI terdiri dari 9 orang berupa 1
orang ketua, 2 wakil ketua, 1 sekretaris, dan 5 anggota yang terdiri dari unsur
pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi
kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan
kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
Salah satu keunikan KPAI adalah
lembaga ini diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan untuk membentuk
kelompok kerja di masyarakat dan juga membentuk perwakilan di daerah yang
keduanya ditetapkan oleh Ketua KPAI. KPAI bertanggungjawab langsung kepada
Presiden dan masa kenggotaannya adalah selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk satu kali masa jabatan. Mekanisme kerja Komisi Perlindungan Anak
Indonesia didasarkan pada prinsip pemberdayaan, kemitraan, akuntabilitas,
kredibilitas, efektifitas, dan efisiensi.
5) Komisi Ombudsman Nasional (KON)
Secara historis, dalam berbagai
literatur, Ombudsman pertama kali lahir di Swedia. Meskipun demikian pada
dasarnya Swedia bukanlah negara pertama yang membangun sistem pengawasan
Ombudsman. Pada zaman Kekaisaran Romawi terdapat isntitusi Tribunal Plebis yang
tugasnya hampir sama dengan Ombudsman yaitu melindungi hak-hak masyarakat lemah
dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan. Model lembaga pengawasan
juga telah dikenal pada masa kekaisaran Cina dan yang paling menonjol adalah
pada masa Dinasti Tsin. Pada masa tersebut didirikan lembaga pengawas yang
bernama Control Yuan yang bertugas melakukan pengawasan terhadap
pejabat-pejabat kekaisaran (pemerintah) dan bertindak sebagai ”perantara” bagi
masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi, laporan atau keluhan kepada
kaisar. Hinga saat ini Control Yuan masih dugunakan untuk menyebut Ombudsman di
Taiwan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dan penyelenggaraan
peradilan di Taiwan. Namun jauh hari adanya Tribunal Plebis dan Control Yuan,
sejarah tertua tentang pengawasan Ombudsman justru ditemukan pada masa
kekhalifahan Islam.
Sejarah ini diketemukan oleh Dean
M. Gottehrer, mantan Presiden Asosiasi Ombudsman Amerika Serikat. Dia
mengatakan bahwa Ombudsman berakar dari prinsip-prinsip keadilan yang menjadi
bagian dari mekanisme pengawasan dalam sistem ketatanegaraan Islam. Hal ini
dapat diketemukan dalam pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab (634-644 M) yang
saat itu mendirikan Muhtasib, yaitu orang yang menerima keluhan dan juga
menjadi mediator dalam mengupayakan proses penyelesaian perselisihan antara
masyarakat dengan Khalifah Umar Bin Khattab.
Di Swedia sendiri, sebagai negara
yang secara formal mendirikan dan menyebut lembaga pengawasan sebagai Ombudsman
sendiri sangat dipengaruhi oleh praktek di negara Turki yang saat itu
menjalankan hukum Islam. Pada tahun 1697-1718, Raja Swedia Charles XII
melarikan diri ke Turki karena situasi dalam negeri yang sangat kacau. Sebelum
tahun 1709, Swedia menganut sistem pemerintahan demokratik parlementer dan pada
tahun 1709 tersebut situasi politik tidak stabil karena adanya ancaman monarki
otokratik dan kekuasaan yang tidak terkendali. Raja Charles XII melarikan diri
ke Turki karena kalah perang dengan Rusia pada The Great Northern War
(1700-1721). Dari pengasingannya tersebut, Ia memerintahkan agar di Swedia
dibentuk lembaga pengawasan untuk meminimalisir kekacauan yang kemudian diberi
nama Office of The King’s Highest Ombudsman Ide mendirikan Ombudsman ini sangat
dipengaruhi oleh sistem Turkish Office of Chief Justice. Dalam sistem
ketatanegaraan Turki, Chief Justice bertugas untuk melakukan pengawasan
terhadap penyelenggara negara guna menjamin bahwa hukum Islam harus diikuti dan
diterapkan oleh seluruh penyelenggara negara, termasuk Sultan sebagai pemimpin
tertinggi.
Keberadaan Ombudsman di Swedia
menjadi saran untuk mengontrol kekuasaan saat itu. Setelah Raja Charles XII
meninggal, Office of The King’s Highest Ombudsman diubah menjadi the Office of
the Chancellor of Justice (Chancellor of Justice). Pada tahun 1718, sebagian
besar kekuasaan raja dilimpahkan kepada Parlemen Swedia (Riskdad), sehingga
Chancellor of Justice yang semula berada di bawah raja kemudian menjadi bagain
dari Parlemen. Pada akhirnya, secara formal Ombudsman Parlementer dicantumkan
di dalam Konstitusi Swedia pada tahun 1809.
Di Indonesia, Komisi Ombudsman
Nasional dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000 dengan Keputusan Presiden Nomor 44
Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Komisi Ombudsman Nasional
dibentuk dalam rangka meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara
serta untuk menjamin perlindungan hak-hak masyarakat. Sebagai Presiden,
Abdurrahman Wahid berinisiatif membuka keran partisipasi masyarakat untuk turut
serta mengawasi kinerja pemerintahan. Hal ini didasarkan pada kondisi
pemerintahan sebelumnya yang sangat otoriter dan anti kritik, sehingga banyak
hak masyarakat yang terabaikan bahka terlanggar oleh berbagai kebijaka negara.
Oleh karenanya, Abdurrahman Wahid kemudian menandtangani Kepres No. 44 tahun
200 tentang Komisi Ombudsman Nasional.
Menurut Kepres tersebut, Komisi
Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan
Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi,
monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan
negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga
peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
v Tujuan dan Tugas Ombudsman
Presiden Abdurrahman Wahid
mendirikan Komisi Ombudsman Nasional dengan dua tujuan, pertama, untuk membantu
menciptakan dan/atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan
pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kedua, untuk meningkatkan
perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan dan
kesejahteraan secara lebih baik. Tujuan tersebut diharapkan akan tercapai dengan
cara:
a) Melakukan sosialisasi dan
diseminasi pemahaman mengenai lembaga Ombudsman kepada masyarakat luas;
b) Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan
Instansi Pemerintah, Perguruan Tinggi, lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli,
Praktisi, Organisasi Profesi dan lain-lain;
c) Melakukan langkah untuk menindaklanjuti
laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggaraan
negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum;
d) Mempersiapkan konsep Rancangan
Undang-Undang tentang Ombudsman Nasional.[13]
Komisi Ombudsman Nasional dipimpin
oleh seorang Ketua dan dibantu oleh seorang Wakil Ketua, serta anggota
sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang. Anggota Ombudman dipilih dan ditetapkan
oleh Presiden dengan keputusan Presiden.
6) Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban
LPSK adalah lembaga nonstruktural
yang didirikan dan bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan
bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2006. LPSK dibentuk berdasarkan UU No 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lahirnya Undang-undang
Perlindungan Saksi dan Korban yang memakan waktu cukup panjang ini ditujukan
untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses
peradilan pidana. Berbeda dengan beberapa negara lain, inisiatif untuk
membentuk Undang-Undang perlindungan bagi saksi dan korban bukan datang dari
aparat hukum, polisi, jaksa, atau pun pengadilan yang selalu berinteraksi dengan
saksi dan korban tindak pidana, melainkan justru datang dari kelompok
masyarakat yang memiliki pandangan bahwa saksi dan korban sudah saatnya
diberikan perlindungan dalam sistem peradilan pidana.
Lembaga ini sebagaimana Pasal 1
ayat (3) UU No. 13 tahun 2006 merupakan lembaga yang bertugas dan berwenang
untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan atau Korban.
Hak-hak yang harus dilindungi dan dijamin LPSK antara lain ialah hak memperoleh
perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas
dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikan. hak ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan, hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan, hak
mendapat penerjemah; hak bebas dari pertanyaan yang menjerat, hak mendapat
informasi mengenai perkembangan kasus, hak mendapat informasi mengenai putusan
pengadilan, hak mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan, hak mendapat
identitas baru, hak mendapat tempat kediaman baru, hak untuk memperoleh
penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan, hak untuk mendapat
nasihat hukum, dan/atau, hak memperoleh bantuan biaya hidup.[5]
[1] BAB XA Tentang Hak
Asasi Manusia UUD 1945
[2]Pasal 2 IICPR
[3] Rhona K.M. Smith, Hukum
hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:PUSHAM UII,2008), hal.279
[4] Rhona K.M. Smith, Hukum
hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:PUSHAM UII,2008), hal.289
[5] Supriyadi Widodo Eddyono,
Perlindungan Saksi di Pengadilan HAM dan Beberapa Masalahnya, Makalah diskusi
ICW yang bertema “Menggagas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban”, hal.8