Mazhab Penalaran Hukum | Logika dan Penalaran Hukum

 

A.    Mazhab Penalaran Hukum

Penalaran tentang hukum yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara mengargumentasikan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum.

Pengertian lainnya yang sering diberikan kepada Penalaran Hukum adalah: suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dan lain-lain) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada.

Mazhab berasal dari bahasa Arabمذهب adalah penggolongan suatu hukum atau aturan setingkat dibawah firkah, yang dimana firkah merupakan istilah yang sering dipakai untuk mengganti kata "denominasi" pada Islam. Kata "mazhab" berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkret maupun abstrak.

Kata mazhab yang berasal dari bahasa Arab itu ditransformasikan ke dalam lingkup hukum (Islam) secara majaz yang kemudian berarti aliran-aliran dalam hukum Islam. Namun kata ini selanjutnya mengalami transformasi juga ke dalam ilmu hukum secara umum

Adanya Mazhab hukum adalah ditentukan oleh masa dan waktu yang sehingga oleh para ahli hukum membuat penafsiran hukum berdasarkan waktu dan tempat. Sehingga pada saat ini para ahli hukum selalu mengkaji hukum itu berdasarkan dengan adanya atau timbulnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukan pergulatan pemikiran yang tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum.

 

1.      Mazhab Sejarah

Mazhab sejarah berawal dari konsep Volkgeist atau jiwa bangsa yang menjadi landasan pemikiran Von Savigny. Menurut Savigny hukum adalah bagian atau manifestasi jiwa bangsa hukum lahir dan berasal dari kehendak dan kesadaran suatu bangsa yang berbentuk tradisi, kebiasaan, praktik-praktik kemasyarakatan dan keyakinan bangsa tersebut.

Prinsip-prinsip yang melatari mazhab sejarah menurut Von Savigny antara lain:

1.      Hukum itu lahir dari hukum kebiasaan

2.      Hukum itu ditemukan bukan dibuat

3.      Hukum itu berasal dari perasaan rakyat

4.      Hukum merupakan produk dari bangsa yang jenius

5.      Hukum merupakan eskpresi dari jiwa bangsa

6.      Hukum itu tidak berlaku umum dan tidak statis

7.      Ahli hukum sebagai medium perkembangan hukum lebih baik dari pembuat undang-undang

 

Dalam perkembangan hukum apabila kita lihat dari kacamata mazhab sejarah maka terdapat dua pandangan yang berbeda yang dikemukakan oleh Von Savigny dan Henry Maine.

 

Savigny berpendapat bahwa dalam perkembangannya hukum terbagi menjadi 3 masa :

1.      Masa permulaan, pada masa ini hukum tidak mengembang dan hanya dijadikan simbol

2.      Masa berkembang, pada masa ini hukum telah masak karena menjadi pengertian yang jelas.

3.      Masa usia lanjut, pada masa ini hukum menjadi bentuk yang tidak ada karena orang tidak memperhatikan isi Undang-undang sebagai sesuatu yang mujarab.

 

Henry Maine berpendapat bahwa perkembangan hukum terbagi menjadi 5 tahapan:

1.      Pertama, hukum dianggap sebagai budaya

2.      Kedua, hukum dimonopoli oleh aristokrat

3.      Ketiga, hukum adat di kodifikasi

4.      Keempat, hukum adat yang dikodifikasi tersebut dimodernisasi

5.      Kelima, ilmu hukum mengemas hukum yang telah dimodernisasi dan menjadi metedologi pembentukan hukum

.

 

2.      Aliran Hukum Sosiologis (Sociological Jurisprudence)

Menurut aliran sociological jurisprudence, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (The positive law) dengan hukum yang hidup di masyarakat (the living law). Timbulnya aliran ini adalah dari hasil dialektika antara positivism hukum (tesis) dan mazhab sejarah (anti tesis). Positivism hukum memandang hukum hanyalah perintah penguasa, sedang mazhab sejarah memandang hukum timbul dan berkembang bersama masyarakat. Para Tokoh dalam aliran ini antara lain: Roscoe Pound dan Eugen Ehrilch.

1.      Roscoe Pound (1870-1964)

Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada ”Kenyataan Hukum” daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books. Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum.

Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.

Dalam bukunya As Introduction to the philosophy of law,Pound menegaskan bahwa hukum itu bertugas untuk memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan keamanan yang menurut pengertian paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum. Dalam kaitannya dengan penerapan hukum Pound menjelaskan tiga langkah yang harus dilakukan.

1.      Menemukan hukum

2.      Menafsirkan hukum

3.      Menerapkan hukum

Dari sini dapat kita lihat Pound hendak mengedepankan aspek-aspek yang ada ditengah-ditengah masyarakat untuk diangkat dan diterapkan kedalam hukum. Bagi aliran Sociological Jurisprudence titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang,putusan hakim,atau ilmu hukum, tetapi terletak pada masyarakat itu sendiri. Dalam proses mengembangkan hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan. Lebih lanjut Roscoe Pound berpendapat hukum adalah alat untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat (Law as a tool of social engineering). Untuk dapat memenuhi peranan nya tersebut Pound mengedepankan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Pandangan aliran sociological Jurisprudence, dapat dirumuskan sebagai berikut “... Hukum itu dianggap sebagai satu lembaga sosial untuk memuaskan kebutuhan masyarakat, tuntutan, permintaan dan pengharapan yang terlibat dalam kehidupan masyarakat...”

Roscoe Pound memperhatikan hukum sebagai proses. Pound terutama memperhatikan cara bagaimana hukum berkembang. Ia tidak menaruh perhatian pada analisis dan penafsiran terhadap rumusan dalam peraturan dan putusan pengadilan, melainkan pada hubungan antara hukum dan masyarakat, dan bagaimana hubungan ini mengarahkan (atau gagal mengarahkan) pada pembaruan hukum.

Pembaruan hukum itu terjadi melalui adanya konflik-konflik antara kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai dalam masyarakat. Untuk itu Pound mengemukakan adanya tiga kelompok kepentingan dalam masyarakat, yaitu individual,publik dan masyarakat.

·         Kepentingan Individual (Individual interest) adalah tuntutan,kebutuhan,atau keinginan yang segera muncul dalam kehidupan individual dan berkenaan dengan kehidupan individual.

·         Kepentingan Publik (public interest) adalah tuntutan, kebutuhan atau keinginan dari suatu masyarakat yang terorganisasi secara politik dan berkenaan dengan kehidupan dan organisasi tersebut. Kepentingan-kepentingan publik ini umumnya dilihat sebagai tuntutan-tuntutan dari suatu masyarakat yang terorganisasi secara politik dipandang sebagai suatu badan hukum. Banyak dari kepentingan ini secara konvensional diklasifikasi sebagai berkenaan dengan hukum pidana.

·         Kepentingan Masyarakat (society interest) adalah tuntutan, kebutuhan, atau keinginan dalam kehidupan sosial dari masyarakat sipil tersebut. Ini biasanya dipandang sebagai tuntutan-tuntutan dari kelompok sosial sebagai suatu kelompok sosial. Kepentingan ini dapat berupa anatara lain kepentingan untuk lingkungan hidup yang lebih baik.

Dengan demikian, Pound mengkaji masalah-masalah hukum dari sudut pandang konflik, yaitu adanya konflik kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai dalam masyarakat. Hukum merupakan suatu proses untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai yang slaing bertentangan. 

 

2.      Eugen Ehrlich

Eugen Ehrlich adalah seorang ahli hukum yang lahir di Czernowitz sekarang dikenal dengan Chernivtsi Ukraina pada 1862. Daerah Czernowitz dahulu dikenal sebagai bagian dari provinsi Bukovina, kerajaan Austo-Hungarian. Oleh sebab itu dia dapat dikatakan sebagai seorang berkebangsaan Austria. Masa kecilnya turut memberikan pengalaman yang khas dalam pemikiran hukumnya. Budaya hukum Bukovina diwarnai oleh hukum Austria dan kebiasaan setempat, telah meninggalkan sebuah gugatan pemikiran terhadap Hans Kelsen yang mengenalkan adanya hirarki norma hukum pada 1922.

Studi Eugen Ehrlich tentang sosiologi hukum mempunyai ciri yang berbeda. Tidak seperti studi Max Weber, ia bermaksud untuk membuktikan teori bahwa : titik berat perkembangan hukum tidak terletak dalam perundang-undangan juga tidak dalam keputusan pengadilan maupun dalam ilmu pengetahuan di bidang hukum, tetapi dalam masyarakat itu sendiri.

Titik pokok dalam pendekatan Ehrlich adalah bahwa ia meremehkan perbedaan-perbedaan antara hukum dan norma-norma sosial lainnya yang bersifat memaksa. Menurutnya perbedaan itu adalah nisbi dan lebih kecil dari apa yang biasanya dinyatakan, karena sifat memaksa yang pokok di dalam hukum tidak berbeda dengan norma-norma sosial lainnya, adalah paksaan sosial bukan kekuasaan negara. Kepatuhan suku dan keluarga pada agama memberikan alasan-alasan untuk mentaati norma-norma sosial, termasuk sebagian besar norma-norma hukum.

Banyak norma-norma hukum yang tidak pernah diungkapkan dalam ketentuan-ketentuan hukum, bahkan juga dalam sistem-sistem yang berkembang. Dengan kata lain hukum jauh lebih luas daripada peraturan-peraturan hukum. Negara hanya satu dari banyak asosiasi-asosiasi hukum, asosiasi lain seperti keluarga, gereja, atau badan korporasi dengan atau tanpa kepribadian hukum.

Dilain pihak ada norma-norma hukum tertentu yang khas, yang bersifat memaksa seperti hukuman atau pelaksanaan keputusan-keputusan perdata. Cara-cara paksaan yang khas ini dikembangkan oleh negara pertama untuk menjamin tujuan-tujuan pokok sejak semula, untuk menyusun organisasi militer, perpajakan dan administrasi kepolisian. Negara sebagai sumber hukum yang pokok, bagi Ehrlich secara historis adalah perkembangan jauh kebelakang, dan negara bagi dia selamanya adalah alat masyarakat.

Pada dasarnya norma hukum selalu diambil dari fakta-fakta sosial yang ada dalam keyakinan asosiasi rakyat. Perlindungan oleh negara dengan alat-alat paksaan yang khusus adalah tidak perlu, juga kalau perlindungan itu diberikan. Badan yang sebenarnya dari ketentuan –ketentuan hukum selalu didasarkan atas “fakta-fakta hukum” sosial (Tatsachen des Rechts).

Fakta-fakta hukum yang mendasari semua hukum adalah kebiasaan, dominasi, pemilikan, dan pernyataan kemauan. Keempat faktor dari masing-masing melaksanakan hubungan-hubungan hukum, atau melakukan pengawasan, menghalanginya atau tidak memberlakukannya, atau melekat pada akibat-akibat hukum baginya daripada yang langsung mengikutinya. Dalam seluruh badan norma-norma hukum, hanya suatu kelompok tertentu yang disebut norma-norma keputusan (Entscheindungsnormen), yang dibuat dan tergantung pada negara.

Norma-norma keputusan ini merupakan bagian yang penting dari hukum resmi. Tetapi apakah norma-norma itu berkembang menjadi norma hukum fundamental (Rechtssatz) tergantung dari luasnya yang dibentuk oleh yurisprudensi pengadilan, administrasi, legislatif atau ilmiah, dan berhasil menjadikannya sebagai bagian hukum yang hidup. Sedangkan para realis Amerika menempatkan keputusan pengadilan pada pusat hukum seperti fungsinya dalam kehidupan, Ehrlich menguranginya menjadi fungsi dengan banyak batasan-batasan dalam hubungannya dengan keseluruhan hukum yang hidup dalam masyarakat. Karena proses pengadilan menunjukkan bahwa hukum adalah sebagai keadaan perang, bukan keadaan damai, dan hanya sebagian kecil dari hukum menemukan jalannya ke pengadilan. Ehrlich melihat bahwa sukar untuk menarik garis batas yang tegas antara norma-norma hukum yang berbeda. Peraturan untuk menafsirkan merupakan hak para ahli hukum, hak-hak istimewa yang diberikan oleh undang-undang adalah suatu hukum resmi. Tiap hukum dapat, tetapi tidak perlu menjadi hukum yang hidup.

Selain itu Ehrlich juga ingin menunjukkan bahwa jurisprudensi yang diselenggarakan oleh para ahli hukum adalah semata-mata suatu teknik yang bersifat relatif untuk mencapai tujuan praktis. Sementara itu jurisprudensi tidak mampu memahami apa-apa kecuali kulit yang paling luar dari kenyataan hukum yang efektif. Ehrlich membedakan antara hukum yang digunakan untuk menentukan keputusan-keputusan dan hukum sebagai peraturan tingkah laku yang dipakai oleh anggota masyarakat dalam hubungannya satu sama lain. Dalam hubungan ini Ehrlich mengajukan konsep hukum yang hidup yang masih sering dipakai sampai sekarang. Hukum yang demikian itu tidak dapat ditemukan di dalam bahan-bahan hukum formal, melainkan diluarnya, di dalam masyarakat sendiri.

Untuk melihat hukum yang hidup, yang dipakai untuk menyelenggarakan proses-proses dalam masyarakat, orang tidak dapat hanya memandang kepada bahan-bahan dan dokumen-dokumen formal saja, melaikan perlu terjun sendiri ke dalam bidang kehidupan yang senyatannya. Untuk mempelajari hukum perkawinan, orang perlu terjun dalam kenyataan kehidupan perkawinan dan melihat bagaimana hukum perkawinan formal diterima di situ, dalam arti seberapa jauh diikuti, dibentuk, kembali, diabaikan dan ditambah-tambah. Kekuatan pengaruh Ehrlich terletak pada kemampuannya untuk mendorong para ahli hukum mengabaikan cengkraman pemahaman hukum secara betul-betul abstrak, dan menarik perhatian mereka kepada problem-problem kehidupan sosial yang nyata.

Eugen Ehrlich terkenal dengan kalimatnya: “the center of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society itself”.

Bagi ehrlich, perkembangan hukum itu tidak terdapat dalam undang-undang, tidak juga dalam ilmu hukum, dan juga tidak dalam putusan pengadilan, melainkan di dalam masyarakat sendiri. Ada sebuah hukum yang hidup dalam masyarakat yang mendasari aturan formal dari sistem hukum yang ada dan menjadi tugas hakim serta para yuris untuk mengintegrasikan dua macam hukum tersebut. Contohnya, hukum di bidang perdagangan, walaupun tertulis dalam peraturan perundang-undangan, tetapi ia selalu berusaha diaktualkan dengan praktek perdagangan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, ia melihat bahwa pusat dari keberadaan hukum adalah masyarakat itu sendiri.

Ehrlich terkenal juga dengan konsep “living law” nya. Menurut Ehrlich, ada dua sumber hukum:

a.       Legal history and jurisprudence, yaitu penggunaan preseden dan komentar tertulis.

b.      Living law yang tumbuh dari kebiasaan mutakhir dalam masyarakat.

Ehrlich juga membedakan kaidah-kaidah yang terdapat dalam masyarakat ke dalam dua jenis:

a.       Norms of decision yaitu kaidah hukum.

b.      Norms of conduct yaitu kaidah-kaidah sosial selain kaidah hukum, yang muncul akibat pergaulan hidup sesama warga masyarakat.

Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law). Menurutnya hukum positif baru memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Menurut Ehrlich, titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi pada masayarakat itu sendiri. Dengan demikian maka sumber dan bentuk hukum yang utama adalah kebiasaan. Tapi dalam perkembangannya, menurut Friedman, ia meragukan posisi kebiasaan ini sebagai sumber hukum pada masyarakat modern. Selanjutnya ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan sosial tertentu. Hukum tidak mungkin akan efektif, oleh karena ketertiban dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan sosial terhadap hukum, dan bukan karena penerapannya secara resmi oleh negara.

3.      Contoh pengaplikasian Sosiologial Jurisprudence.

1.      Contoh kasus terjadi pada masyarakat Desa Bejijong Kabupaten Mojokerto yang melakukan integrasi nilai lokal ke dalam hukum nasional dalam bentuk peraturan desa. Masyarakat Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur yang merupakan komunitas perajin tradisional cor kuningan yang telah menjalankan aktivitas karya sejak puluhan lalu. Selama ini mereka hanya menggunakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self regulation) untuk menjaga keteraturan sosial dalam praktek berkerajinan sehari-hari.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, perajin Desa Bejijong kemudian merasa khawatir atas hasil karya-karyanya yang dijual ke pasaran tanpa perlindungan hokum kekhawatiran tersebut kemudian mendorong masyarakat Desa Bejijong melakukan proses sosial berupa integrasi antara nilai-nilai lokal yang telah mereka praktikkan dengan formalisme hukum nasional yang sedang berjalan. Dengan inisiatif beberapa elemen pemerintah desa, mereka menerbitkan ‘Undang-Undang Perlindungan Hak Cipta Pengrajin Patung Desa Bejijong Nomor 6 Tahun 2004’ yang substansinya berasal dari konsensus bersama komunitas perajin Desa Bejijong. Peraturan tersebut dibuat antara lain untuk menjamin dan menumbuhkan kreativitas para perajin di Desa Bejijong. Perajin yang kedapatan menjiplak karya perajin lain akan didenda sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

Masyarakat Desa Bejijong mendapat inspirasi dari asas dan norma hukum Hak Cipta yang ada pada Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta; Undang-Undang Nomor 31 tahun 2000 tentang Desain Industri atau Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Merek, yang merupakan rezim HKI yang dapat digunakan untuk melindungi karya-karya mereka. Aturan tersebut dibuat secara otodidak, bersama-sama seluruh elemen masyarakat desa dan kemudian hasilnya ditetapkan menjadi Peraturan Desa Bejijong. Sampai saat ini aturan tersebut masih ada dan berhasil difungsionalisasikan secara efektif oleh masyarakat setempat.

 

 

3.      Pragmatic Legal Realism

Gerakan realis mulai melihat apa sebenarnya yang dikehendaki hukum dengan menghubungkan kedua sisinya, seperti fakta-fakta dalam kehidupan sosial. Realisme yang berkembang di Amerika Serikat menjelaskan bagaimana pengadilan membuat putusan. Penemuan mereka mengembangkan formula dalam memprediksi tingkah laku hakim (peradilan) sebagai suatu fakta (kenyataan). Jadi, hal yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah “gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum”. Ciri-ciri dari gerakan ini, Liewellyn menyebut beberapa hal, yang terpenting diantaranya :

1)      Tidak ada mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.

2)      Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum.

3)      Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya ada untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan, gambaran harus tetap sebersih mungkin, karena keinginan-keinginan pengamatan atau tujuan-tujuan etis.

4)      Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsikonsepsi hukum, sepanjang ketentuan dan konsepsi itu menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orangorang. Realisme menerima peraturan-peraturan sebagai “ramalanramalan umum tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilanpengadilan.”

5)      Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat akibatnya.

Liewellyn sebagai salah satu tokoh pragmatic legal realism, mengalisa perkembangan hukum di dalam kerangka hubungan antara pengetahuan-pengetahuan hukum dengan perubahan-perubahan keadaan masyarakat. Hukum merupakan bagian dari kebudayaan yang antara lain mencakup kebiasaan, sikap-sikap maupun cita-cita yang ditransmisikan dari suatu generasi tertentu ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, hukum merupakan bagian kebudayaan yang telah melembaga. Lembaga-Lembaga tersebut telah terorganisir dan harapannya terwujud di dalam aturan-aturan eksplisit yang wajib ditaati serta didukung oleh para ahli.

Jadi yang namanya hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam undang-undang atau ketentuan dan peraturan tertulis, namun lebih besar ditentukan oleh hakim di pengadilan yang pada umumnya didasarkan pada kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan hukum ketika menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun putusannya itu dalam beberapa hal tidak selalu sama dengan apa yang tertulis dalam undang-undang atau aturan lainnya. Sehubungan dengan itu moralitas hakim sangat menentukan kualitas hukum yang merupakan hasil putusan pengadilan itu. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu kasus tidak dapat diadili karena belum ada hukum tertulis yang mengaturnya.

Realisme Amerika Serikat adalah merupakan pendekatan seara pragmatis dan behaviouristis terhadap lembaga-lembaga sosial. Para ahli hukum Amerika mengembangkan cara pendekatan tersebut dengan meletakkan tekanan pada putusan-putusan pengadilan dan tindakantindakan hukum.

Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim, hakim lebih sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan, apabila dibandingkan dengan cara berpikir aliran positivisme sangat bertentangan karena memang aliran relisme ini merupakan reaksi dari aliran positivisme yang lebih menekan hukum hanya sebagai segala sesuatu yang tertuang dalam undangundang dan aliran realisme ini berusaha untuk merubah cara pandang para ahli hukum di Amerika. Kaum realisme Amerika menganggap bahwa hukum itu sebagai praktek (law in action) hukum itu adalah suatu pengalaman dan menganggap hukum itu harus bebas dari nilai-nilai.