HUKUM ACARA SENGKETA KEWENANGAN KONSTITUSIONAL LEMBAGA NEGARA

 

1.      Kewenangan Memutus SKLN di Beberapa Negara

Kewenangan memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara telah diadopsi dalam praktik sistem ketatanegaraan di berbagai negara. Kewenangan memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara ini ada yang diberikan kepada lembaga Mahkamah Agung (Supreme Court) sebagaimana berlaku di Amerika Serikat. Ada juga yang memberikannya pada lembaga Mahkamah Konstitusi sebagaimana berlaku di Jerman. Dengan demikian, ada dua model pemilik kewenangan memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, yaitu model Amerika Serikat dan model Jerman.[1]

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Jerman mengatur bahwa yang berhak untuk menjadi tergugat dan penggugat dalam perkara sengketa kewenangan adalah Presiden, Bundestag, Bundesrat, pemerintah federal, serta bagian-bagian lembaga yang memiliki kewenangan tersendiri sesuai dengan ketentuan Konstitusi, atau Peraturan Tata Tertib Bundestag atau Bundesrat. Di Korea Selatan, lembaga negara yang memiliki kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yaitu Mahkamah Konstitusi Korea Selatan. Di Federasi Rusia, kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia. Di Thailand, ketentuan mengenai kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara diatur dalam Konstitusi Thailand bagian 226. Kewenangan ini dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Thailand.[2]

2.      Wewenang MK Memutus SKLN

Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, di samping melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, pada dasarnya merupakan kewenangan konstitusional yang dibentuk dengan tujuan untuk menegakkan ketentuan yang terdapat dalam UUD. Ini disebabkan karena dari dua hal inilah persoalan konstitusionalitas dapat timbul. Fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi tercermin dalam (2) dua kewenangan tersebut, yaitu: (1) kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD; dan (2) kewenangan untuk memutus SKLN yang kewenangannya bersumber dari UUD.[3]

3.      Pengertian Lembaga Negara

Dalam konsep hukum tata negara positif (positieve staatsrecht), lembaga negara merupakan organ negara atau alat-alat perlengkapan negara yang biasanya diatur atau menjadi materi muatan dalam konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara.

4.      Hukum Acara Memutus SKLN

Hukum Acara Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara (SKLN) adalah hukum acara yang mengatur tentang bagaimana perkara SKLN di Mahkamah Konstitusi itu diselesaikan.

Berdasarkan praktik, sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara ini dapat terjadi karena beberapa hal:

(1) adanya tumpang tindih (overlapping) kewenangan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya yang diatur dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar;

(2) adanya kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diperoleh dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang diabaikan oleh lembaga negara lainnya;

(3) adanya kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diperoleh dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang dijalankan oleh lembaga negara lainnya, dan sebagainya.

Hukum Acara Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara paling tidak secara formal bersumber pada ketentuan-ketentuan:[4]

a.       Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

b.      Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; dan

c.       Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006.

Ada 2 (dua) ketentuan yang relevan dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 (tentang Kekuasaan Kehakiman) sebagai sumber hukum formal Hukum Acara SKLN ini, yaitu:

a. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, yang menyatakan:

‘Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila’. Ini artinya, sistem penyelenggaraan peradilan Mahkamah Konstitusi harus berdasar pada Pancasila. Hukum Acara SKLN harus bertumpu pada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu nilai religius, nilai humanisme, nilai kebangsaan atau nasionalisme, nilai demokrasi, dan nilai keadilan sosial. Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Moh. Mahfud MD merupakan kaidah penuntun dalam menentukan politik hukum Indonesia.

b. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan:

‘Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.’

Ketentuan ini mengingatkan pada pandangan yang mengemukakan, agar hakim jangan hanya berfungsi sebagai spreakbuis (corong) undang-undang saja, atau kata Montesquieu – la bouche de la loi. Ijtihad dalam rangka rechtsvinding para hakim Mahkamah Konstitusi hingga sampai pada putusannya itu merupakan bagian dari amanat Undang-Undang Kekuasaan[5] Kehakiman, bahwa sebagai peradilan negara, Mahkamah Konstitusi harus menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, di samping juga wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

5.      Pihak-Pihak yang Bersengketa (Subjectum Litis)

Dalam perkara SKLN, pihak-pihak yang berperkara di depan Mahkamah Konstitusi dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu (1) Pihak Pemohon; dan (2) Pihak Termohon. Mengenai siapa yang dimaksud dengan Pihak Pemohon dan Pihak Termohon, Hukum Acara SKLN telah mengaturnya.

a)      Pemohon

Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain.434 Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga negara adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan lembaga negara yang sumbernya diperoleh dari UUD 1945 inilah yang disebut dengan kewenangan konstitusional. Kewenangan konstitusional lembaga negara ini dapat berupa wewenang/hak dan tugas/ kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945.

Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara diatur, bahwa lembaga negara yang dapat menjadi pemohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah:

a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

d. Presiden;

e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);

f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau[6]

g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.437

Adanya rumusan hukum tentang pengertian ‘lembaga negara lain’ menunjukkan, bahwa kemungkinan pemohon lain di luar yang telah disebutkan di atas masih terbuka atau ada, tergantung pada hakim. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat misalnya, dapat saja menjadi pemohon dalam perkara SKLN, tergantung pada bagaimana hakim menafsirkannya.

Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.438 Yang dimaksud dengan kewenangan yang dipersengketakan ini adalah kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.

b)     Termohon

Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon. Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara diatur, bahwa lembaga negara yang dapat menjadi termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah:

a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

d. Presiden;

e. Badan Pemeri Pemeriksa Keuangan (BPK);

f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau

g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Adanya rumusan hukum tentang pengertian ‘lembaga negara lain’ menunjukkan, bahwa kemungkinan termohon lain di luar yang telah disebutkan di atas masih terbuka atau ada, tergantung pada hakim. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat misalnya, dapat saja menjadi termohon dalam perkara SKLN, tergantung pada bagaimana hakim menafsirkannya.

Dalam pemeriksaan perkara, pemohon dan termohon memiliki kedudukan yang sama (equal). Keduanya memiliki kesempatan dan kebebasan yang sama untuk mengajukan hal-hal yang dianggapnya benar menurut[7] hukum. Keduanya juga memiliki hak dan kebebasan yang sama untuk mengajukan pembelaan dan bukti-bukti yang dianggap perlu. Dengan demikian kedudukan pemohon dan termohon berkaitan dengan pemeriksaan perkaranya bersifat accusatoir.

Pemohon dan/atau termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasa hukumnya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu. Dalam hal pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya, pemohon dan/atau termohon harus membuat surat keterangan yang khusus untuk itu. Surat kuasa khusus dan surat keterangan khusus tersebut harus ditunjukkan dan diserahkan kepada majelis Hakim dalam persidangan.

c)      Kemungkinan MA Sebagai Pihak Dalam Perkara SKLN

Pasal 65 UU MK secara tegas menyatakan, bahwa Mahkamah Agung tidak dapat ditarik menjadi termohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara semacam ini.444 Selanjutnya, Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 juga mengatur, bahwa Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial). Akan tetapi, di luar sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial), Mahkamah Agung dapat menjadi pihak dalam perkara SKLN.

Apabila ketentuan dalam UU MK dan PMK di atas dicermati, secara yuridis-formal, memang MA tidak dapat menjadi pihak sepanjang kewenangan yang dipersengketakan itu terkait dengan fungsi dan teknis peradilan (yudisial), baik sebagai pemohon ataupun termohon dalam perkara SKLN, akan tetapi ini tidak berarti, bahwa Mahkamah Agung tidak akan mungkin bersengketa dengan lembaga negara lainnya. Misalnya:

1. Sengketa Kewenangan antara KY dengan MA tentang pengangkatan hakim;

2. Sengketa Kewenangan antara KY dengan MA tentang pengawasan dan penjatuhan sanksi terhadap hakim;

3. Sengketa Kewenangan antara DPR dengan MA tentang pengangkatan hakim.[8]

6.      Permohonan Dan Tata Cara Pengajuan

Dalam jenis perkara SKLN ini, harus disebutkan dalam permohonan pemohon, lembaga mana yang menjadi termohon yang merugikan kewenangannya yang diperoleh dari UUD 1945. Hal ini jelas diatur dalam Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU MK, yang menggariskan:

(1) Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (subjectum litis) yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan (objectum litis).

(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon. Jadi alasan permohonan (fundamentum petendi) harus jelas untuk dapat diajukan di depan Mahkamah Konstitusi.

Kedua hal ini merupakan syarat terpenuhinya kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Jika kedua hal itu tidak terpenuhi, maka Pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan perkara SKLN ini di depan Mahkamah Konstitusi.

Dalam Hukum Acara SKLN, apabila dalam permohonan Pemohon tidak terpenuhi syarat subjectum litis (subjek perkara) dan objectum litis (objek perkara), maka permohonannya tidak termasuk dalam ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutusnya. Terhadap permohonan yang demikian ini, lazimnya Mahkamah Konstitusi memutus: permohonan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

7.      Objectum Litis (Objek Sengketa)

Jimly Asshiddiqie terkait dengan objek sengketa (objectum litis) mengemukakan, bahwa yang menjadi objek sengketa antarlembaga negara adalah persengketaan (dispute) mengenai kewenangan konstitusional antarlembaga negara. Isu pokoknya bukan terletak pada kelembagaan lembaga negaranya, melainkan terletak pada soal kewenangan konstitusional, yang dalam pelaksanaannya, apabila timbul sengketa penafsiran antara satu sama lain, maka yang berwenang memutuskan lembaga mana yang sebenarnya memiliki kewenangan yang dipersengketakan tersebut adalah Mahkamah Konstitusi.445 Jadi, sengketa kewenangan adalah perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara.[9]

Dalam pengertian sengketa kewenangan konstitusional itu terdapat dua unsur yang harus dipenuhi, yaitu (i) adanya kewenangan konstitusional yang ditentukan dalam UUD; dan (ii) timbulnya sengketa dalam pelaksananaan kewenangan konstitusional tersebut sebagai akibat perbedaan penafsiran di antara dua atau lebih lembaga negara yang terkait.

Dalam PMK tersebut diatur, bahwa permohonan harus ditulis dalam bahasa Indonesia, dan materi permohonan harus memuat beberapa hal sebagai berikut:

a. Identitas lembaga negara yang menjadi pemohon, seperti nama lembaga negara, nama ketua lembaga, dan alamat lengkap lembaga negara;

b. Nama dan alamat lembaga negara yang menjadi termohon;

c. Uraian yang jelas tentang:

1. kewenangan yang dipersengketakan;

2. kepentingan langsung pemohon atas kewenangan tersebut;

3. hal-hal yang diminta untuk diputuskan.

Permohonan yang diajukan tersebut, dibuat dalam 12 (dua belas) rangkap dan ditandatangani oleh Presiden atau Pimpinan lembaga negara yang mengajukan permohonan atau kuasanya.

Selain dibuat dalam bentuk tertulis, dalam Hukum Acara SKLN juga terdapat ketentuan yang mengatur, bahwa permohonan dapat pula dibuat dalam format digital yang tersimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram padat (compact disk), atau yang sejenisnya.

Permohonan tertulis dan/atau format digitalnya (soft copy) diajukan kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan. Permohonan tersebut harus disertai alat-alat bukti pendukung, misalnya dasar hukum keberadaan lembaga negara atau surat/dokumen pendukung. Alat-alat bukti tertulis yang diajukan, seluruhnya dibuat dalam 12 (dua belas) rangkap dengan bukti yang asli diberi materai secukupnya.

8.      Pemeriksaan Administrasi dan Registrasi

Kelengkapan permohonan yang diajukan oleh pemohon pada prinsipnya merupakan prasyarat bagi pendaftaran atau registrasi permohonan. Untuk mengetahui apakah berkas permohonan yang diajukan oleh pemohon itu sudah lengkap, maka petugas kepaniteraan melakukan pemeriksaan kelengkapan berkas permohonan beserta lampirannya.

Apabila hasil penelitian atau pemeriksaan petugas terhadap berkas permohonan itu menunjukkan, bahwa berkas permohonan belum lengkap, maka pemohon wajib melengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima oleh pemohon. Kewajiban untuk melengkapi berkas permohonan ini memiliki konsekuensi yuridis, apabila tidak dipenuhi oleh Pemohon, maka Panitera menerbitkan akta yang menyatakan bahwa permohonan tidak diregistrasi dan mengembalikan berkas permohonan itu kepada pemohon.[10]

Dalam hal permohonan yang diajukan Pemohon sudah lengkap atau sudah memenuhi persyaratan, maka Panitera mencatat permohonan tersebut ke dalam Buku Register Perkara Konstitusi (BRPK). Terhadap permohonan yang sudah memenuhi persyaratan ini Panitera memberikan Akta Registrasi Perkara kepada pemohon. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah diregistrasi kepada termohon dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK. Penyampaian permohonan kepada termohon tersebut dilakukan oleh Juru Panggil yang dibuktikan dengan berita acara.

Apabila pemohon menarik kembali permohonan yang telah diregistrasi sebelum diterbitkannya ketetapan tentang Panel Hakim, Panitera menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi yang harus diberitahukan kepada termohon. Dalam hal permohonan telah dicatat dalam BRPK dan dilakukan penarikan kembali oleh Pemohon, maka Panitera menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi permohonan yang telah diajukan Pemohon dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan Penjadwalan dan Panggilan Sidang.

Berkas permohonan yang sudah diregistrasi selanjutnya disampaikan oleh Panitera kepada Ketua Mahkamah Konstitusi untuk ditetapkan susunan Panel Hakimnya. Selanjutnya, Ketua Panel Hakim menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diregistrasi. Penetapan hari sidang pertama tersebut diberitahukan kepada pemohon dan termohon, serta diumumkan kepada masyarakat. Pengumuman dapat dilakukan melalui papan pengumuman Mahkamah Konstitusi yang khusus dibuat untuk itu dan situs Mahkamah (www.mahkamahkonstitusi.go.id), serta media lainnya.[11]

Panggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon dan termohon dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum hari persidangan. Panggilan sidang tersebut ditandatangani oleh Panitera dan disampaikan secara resmi oleh Juru Panggil yang dibuktikan dengan berita acara panggilan serta dapat dibantu media komunikasi lainnya, seperti telepon, faksimili, dan surat elektronik (e-mail). Dalam rangka panggilan sidang, Panitera dapat meminta bantuan pemanggilan kepada pejabat negara di daerah.[12]

9.      Pembuktian

Pembuktian merupakan kegiatan yustisial yang amat penting sekali dalam rangkaian kegiatan memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu[13] perkara hukum. Oleh karena itu hampir di setiap Hukum Acara apapun, ketentuan tentang pembuktian ini selalu diatur. Di dalam Hukum Acara SKLN, ketentuan tentang pembuktian diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006.

Pasal 16 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 menyatakan, beban pembuktian berada pada pihak pemohon. Apabila terdapat alasan yang cukup kuat, Majelis Hakim dapat membebankan pembuktian kepada pihak termohon. Dalam rangka pembuktian ini, Majelis Hakim juga dapat meminta pihak terkait untuk memberikan keterangan dan/atau mengajukan alat bukti lainnya.

Dalam Hukum Acara SKLN, alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh pemohon, termohon, dan pihak terkait langsung dapat berupa:

a. surat atau tulisan,

b. keterangan saksi,

c. keterangan ahli,

d. keterangan para pihak, dan

e. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Alat-alat bukti sebagaimana tersebut di atas, harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara sah menurut hukum. Penentuan sah tidaknya alat bukti dan perolehannya dilakukan oleh Majelis Hakim dalam persidangan Pleno atau Panel.467 Apabila dipandang perlu Majelis Hakim dapat melakukan pemeriksaan setempat, dengan dihadiri oleh para pihak.[14]

10.  Putusan

Hukum Acara SKLN mengenal beberapa jenis putusan apabila dilihat dari tujuan dan motivasinya, diantaranya adalah putusan (ketetapan) penarikan kembali permohonan, putusan sela, dan putusan akhir. Ketetapan penarikan kembali permohonan merupakan ketetapan Mahkamah Konstitusi yang diambil berkaitan dengan adanya permohonan penarikan kembali permohonan oleh Pemohon kepada Mahkamah Konstitusi pada saat sebelum atau selama persidangan. Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan objek yang dipersengketakan (objectum litis) yang hasilnya akan dipertimbangkan dalam putusan akhir. Hukum Acara SKLN mengatur ketentuan tentang putusan sela ini dalam Pasal 12-13 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006. Putusan sela dapat ditetapkan atas permintaan pemohon dan juga dapat ditetapkan[15] atas inisiatif Majelis Hakim demi kepentingan hukum. Putusan sela sebagaimana dimaksud diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dan dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.

Putusan sela yang memerintahkan kepada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi, dapat diambil atau dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi setelah pemeriksaan pendahuluan dilakukan. Pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan yang dimaksud di sini adalah berupa tindakan, baik tindakan nyata maupun tindakan hukum, yang merupakan pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan.

Putusan sela yang menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan dapat dijatuhkan apabila:

a. Terdapat kepentingan hukum yang mendesak yang, apabila pokok permohonan dikabulkan, dapat menimbulkan akibat hukum yang lebih serius;

b. Kewenangan yang dipersoalkan itu bukan merupakan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.[16]

Putusan akhir Mahkamah Konstitusi atas perkara SKLN memiliki sifat atau karakteristik yang sama dengan putusan pengadilan umumnya. Putusan diambil berdasarkan ketentuan UUD 1945 menurut keyakinan Hakim dengan didukung sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Putusan diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim. Putusan bersifat final dan mengikat.[17]

Hukum Acara SKLN menentukan, bahwa syarat putusan itu harus sekurang-kurangnya terdiri dari beberapa komponen sebagai berikut:

a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b. identitas pemohon dan termohon;

c. ringkasan permohonon;

d. ringkasan keterangan dan/atau tanggapan termohon;

e. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;

f. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;

g. amar putusan;

h. pendapat berbeda atau alasan berbeda dari hakim; dan[18]

i. hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan hakim, serta panitera.

Amar putusan dapat menyatakan: a. permohonan tidak dapat diterima; b. permohonan dikabulkan; atau c. permohonan ditolak. Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) apabila pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 5 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006. Permohonan dikabulkan dalam hal permohonan beralasan, sedangkan Permohonan ditolak dalam hal permohonan tidak beralasan. Dalam hal permohonan dikabulkan, amar putusan menyatakan dengan tegas bahwa pemohon berwenang untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan dan/atau termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.

Hakim yang turut serta dalam pengambilan putusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dicantumkan namanya di dalam putusan. Dalam hal terdapat pendapat berbeda dari Hakim yang dimuat di dalam putusan, sedangkan Hakim yang bersangkutan tidak hadir dalam sidang pleno pengucapan putusan, pendapat berbeda tersebut tidak dibacakan. Putusan ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Hakim Anggota yang hadir dalam sidang pleno pengucapan putusan serta panitera yang mendampingi.[19]

Dalam hal isi amar putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diterima oleh termohon. Apabila putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh termohon maka pelaksanaan kewenangan termohon batal demi hukum.

Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada pemohon, termohon, dan pihak-pihak terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan. Putusan Mahkamah disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden, serta lembaga negara lain apabila dipandang perlu. Putusan mempunyai kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum.[20]



[1] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010),  hal. 152

[2] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010),  hal. 153-154

[3] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010),  hal. 155

[4] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010),  hal. 172

[5] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 173

[6] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 174

[7] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,  HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 175

[8] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,  HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 176

[9] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 177

[10] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 179

[11] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 180

[12] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 181

[13] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 182

[14] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 183

[15] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 187

[16] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 188

[17] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 189

[18] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 190

[19] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 191

[20] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hal. 192