1. Fungsi dan Tugas BPKN dan LPKSM
Dalam Undang–Undang Nomor. 8 Tahun 1999
tentang Hukum Perlindungan Konsumen (UUPK) disebutkan adanya Badan Perlindungan
Konsumen Nasional (BPKN). Badan ini terdiri atas 15 orang sampai dengan 25
orang anggotanya yang mewakili unsur :
1. Pemerintah,
2. Pelaku usaha,
3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat,
4. Akademis, dan
5. Tenaga ahli.
Masa jabatan mereka adalah tiga tahun,
dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Keanggotaan
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) ini dapat diangkat oleh Presiden
atas usul menteri (bidang perdagangan) setelah dikonsultasikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Untuk melaksanakan tugas–tugasnya, Badan Perlindungan
Konsumen Nasional (BPKN) dibantu oleh suatu sekretariat yang dipimpin oleh
seorang sekretariat yang diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen
Nasional (BPKN). Skreatriat ini paling tidak terdiri atas lima bidang, yaitu:
1. Administrasi dan keungan,
2. Penelitian, pengkaji dan
pengembangan,
3. Pengaduan,
4. Pelayanan informasi, dan
5. Kerja sama internasional.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional
(BPKN) dibentuk sebagai upaya merespon dinamika dan kebutuhan perlindungan
konsumen yang berkembang dengan cepat di masyarakat. Pembentukan BPKN
berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) yang ditindaklanjuti dengan PP No. 57 Tahun 2001 tentang Tugas,
Fungsi serta Keanggotaan BPKN. Keanggotaan BPKN Periode I masa jabatan 2004 -
2007 berjumlah 17 orang, yang terbentuk berdasarkan Keppres RI No. 150/M tahun
2004 tentang Pengangkatan Anggota BPKN. Dengan semangat baru, terbentuk 20
Anggota BPKN Periode II masa jabatan 2009-2012 Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 80/P Tahun 2009 tanggal 11 Oktober 2009, Periode III masa
jabatan 2013 – 2016 dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80/P
Tahun 2013 terbentuk 23 Orang Anggota BPKN yang mewakili pemerintah, akademisi,
tenaga ahli dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Badan Perlindungan Konsumen Nasional
(BPKN) berkedudukan di Jakarta dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Jika diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dapat membentuk
perwakilan di Ibu kota Provinsi. Lembaganya perkembangan perlindungan konsumen
dinegara berkembang yang perkembangan industrinya baru pada tahap permulaan
karena sikap pemerintah pada umumnya masih menlindungi kepentingan industri
yang merupakan faktor yang ensensial dalam pembangunan Negara.[1]
Fungsi Badan Perlindungan Konsumen
(BPKN) ini hanya memberikan saran dan
pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen
di Indonesia. Untuk menjalankan fungsi tersebut, badan ini mempunyai tugas
( Pasal 34 UUPK):
1. Memberikan
saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan
dibidang perlindungan konsumen;
2. Melakukan
penelitian dan pengkaji terhadap peraturan perundang–undangan yang berlaku di
bidang perlindungan konsumen;
3. Melakukan
penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
4. Mendorong
berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
5. Menyebarluaskan
informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakat sikap
keberpihakan kepada konsumen;
6. Menerima
pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat;
7. Melakukan
survey yang menyangkut kebutuhan konsumen.[2]
LPKSM adalah lembaga swadaya masyarakat
yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen. Dalam Undang-undang
perlindungan konsumen LPKSM memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam
mewujudkan perlindungan konsumen.
Tugas
LPKSM adalah sebagai berikut :
a. Menyebarkan
informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan
kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Memberikan
nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. Bekerja
sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
d. Membantu
konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan
konsumen;
e. Melakukan
pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan
konsumen.
LPKSM posisinya amat strategis dalam
ikut mewujudkan perlindungan konsumen. LPKSM dapat melakukan advokasi atau
pemberdayaan konsumen agar mampu memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara
perorangan maupun kelompok. Selain menyuarakan kepentingan konsumen, lembaga
ini juga memiliki hak gugat (legal standing) dalam konteks ligitas kepentingan konsumen
di Indonesia. Hak gugat tersebut dapat dilakukan oleh
lembaga konsumen (LPKSM) yang telah memenuhi syarat, yaitu bahwa LPKSM yang dimaksud
telah berbentuk Badan Hukum atau Yayasan yang dalam anggaran dasarnya memuat
tujuan perlindungan konsumen. Gugatan oleh lembaga konsumen hanya dapat
diajukan ke Badan Peradilan Umum (Pasal 46 Undang-undang Perlindungan
Konsumen).
2.
Peran BPSK dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen
BPSK adalah merupakan suatu Badan/Lembaga independent, badan publik yang mempunyai
tugas dan wewenang antara lain melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa
konsumen secara Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase, memberikan konsultasi
perlindungan konsumen, melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku,
melaporkan kepada penyidik umum, menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak
tertulis, memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran,
memanggil dan menghadirkan saksi serta menjatuhkan sanksi administrative
terhadap pelaku usaha yang melanggar. (UU No. 8/1999).
“Setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dan atau melalui
peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum” Demikian bunyi pasal 45 ayat
1 UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan dimaksud adalah Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen yangg selanjutnya disebut BPSK. Maka tidaklah
berlebihan apabila dikatakan BPSK adalah badan publik yang menjalankan
kekuasaan kehakiman yang ekslusif dibidang perlindungan konsumen.
a. Peran BPSK
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan
yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen. BPSK ini dibentuk untuk
menyelesaikan sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana. Keberadaan
BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan, terutama bagi konsumen yang
merasa dirugikan oleh pelaku usaha, karena sengketa diantara konsumen dan
pelaku usaha biasanya nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan
sengketanya ke pengadilan karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan
besarnya kerugian yang akan dituntut.
Pembentukan BPSK sendiri didasarkan pada adanya
kecendrungan masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan karena posisi
konsumen yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha.
Dengan terbentuknya BPSK, maka penyelesaian konsumen dapat dilakukan secara
cepat, mudah dan murah. Cepat karena penyelesaian sengketa melalui BPSK harus
sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja dan tidak dimungkinkan banding
yang dapat memperlama proses penyelesaian sengketa. Mudah karena prosedur
administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana dan dapat
dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena
biaya persidangan yang dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh
konsumen. Jika putusan BPSK dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka putusan
BPSK bersifat final, mengikat sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan.
Terkait
peranan sebagai lembaga yang memiliki fungsi untuk melindungi konsumen dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam ketentuan Pasal 52 tugas dan wewenang
BPSK adalah:
1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan
cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
2. Memberikan
konsultasi perlindungan konsumen;
3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
4. Melaporkan
kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang
ini;
5. Menerima
pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
6. Melakukan
penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
7. Memanggil
pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
8. Memanggil
dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap
undang-undang ini;
9. Meminta
bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku dimaksud pada huruf g dan huruf h,
yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
10. Mendapatkan,
meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemerikasaan;
11. Memutuskan
dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
12. Memberitahukan
putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
13. Memberitahukan
putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
14. Menjatuhkan
sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
(Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen).
Dalam
menyelesaikan perkara konsumen, BPSK harus memegang tiga prinsip utama, yaitu :
·
Prinsip aksebilitas. Prinsip aksesibilitas merupakan upaya untuk menyebarluaskan
lembaga yang berfungsi menuntaskan perkara sengketa konsumen. Prinsip ini
memastikan lembaga tersebut dapat diakses masyarakat umum. Adapun cakupan
prinsip aksebilitas, yaitu prosedur mudah dan sederhana, biaya terjangkau,
pembuktian fleksibel, komprehensif, dapat diakses langsung, serta tersedia di
tempat mana pun.
·
Prinsip fairness. Maksud prinsip ini, yakni mengupayakan penyelesaian
sengketa bersifat mandiri dengan keadilan yang lebih diutamakan. Dalam
menerapkan prinsip fairness, kepastian hukum diabaikan. Meski begitu,
penyelesaian perkara konsumen harus memenuhi syarat public accountability.
·
Prinsip efektif. Prinsip efektif
mengharuskan sebuah lembaga penyelesaian sengketa dibatasi cakupan
masalahnya—termasuk kompleksitas dan nilai klaim. Jadi, semua berkas perkara
yang masuk ke BPSK wajib dituntaskan dengan cepat—tanpa mengabaikan kualitas
penyelesaian.
b.
Proses Penyelesaian Sengketa melalui BPSK
Berdasarkan ketentuan Pasal 52 huruf a Undang –
Undang Nomor 8 Tahun 1999 ditegaskan bahwa tugas dan wewenang badan
penyelesaian sengketa konsumen melaksanakan penanganan dan penyelesaian
sengketa dengan cara melalui mediasi atau arbitrasi atau konsiliasi. Tata cara
penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK diatur dalam Surat Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen. Menurut pasal 4 ayat (1) Kepmen Perindag
350/Mpp/Kep/12/2001, penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara
konsiliasi atau mediasi atau arbitrase dilakukan atas dasar pilihan dan
persetujuan para pihak yang bersangkutan.
Proses penyelesaian
sengketa yang diselesaikan melalui BPSK tersebut secara lebih khusus didapatkan
tahapan demi tahapan yang dilakukan BPSK ketika menjalankan proses penyelesaian
sengketa konsumen adalah sebagai berikut:[3]
1. Tahapan permohonan dari pemohon, yaitu
konsumen sebagai penggugat;
2. Tahapan Pra sidang, yaitu pemilihan metode
penyelesaian;
3. Penyelesaian sengketa berdasarkan keputusan
para pihak terutama mediasi, konsiliasi, arbitrase dan Putusan Majelis.
Alur penyelesaian sengketa konsumen dengan
pelaku usaha—baik publik maupun privat—diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa, penuntasan masalah konsumen
memiliki kekhasan. Pasalnya, pihak yang bersengketa bisa memilih beberapa
lingkungan peradilan. Lingkungan peradilan tersebut meliputi, penyelesaian di
pengadilan dan luar pengadilan. Hal itu sesuai dengan Pasal 45 Ayat 2
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara
bisa dilakukan melalui cara-cara berikut ini :
·
Cara damai. Jalan damai untuk menyelesaikan sengketa konsumen
tidak melibatkan BPSK ataupun pengadilan. Antara konsumen dan pelaku usaha
menuntaskannya secara kekeluargaan. Pun penyelesaiannya terlepas dari aturan
Pasal 1851-1864 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Di dalam pasal tersebut
terdapat aturan syarat-syarat, kekuatan hukum, serta perdamaian yang mengikat
(dading).
·
Cara menyelesaikan sengketa lewat pengadilan. Konsumen juga
bisa memilih penyelesaian lewat pengadilan. Upaya ini wajib mengikuti
aturan-aturan di peradilan umum. Pun segala keputusannya berada di tangan
majelis yang menangani sengketa konsumen dan pelaku usaha.
·
Penyelesaian perkara lewat BPSK. Cara ketiga adalah lewat
BPSK.
Berikut alur
penyelesaian sengketa melalui BPSK.
Tahap Pengajuan Gugatan
Mengajukan gugatan ke
BPSK, dapat dilakukan sendiri atau kuasanya atau ahli warsinya, secara tertulis
ke sekretarian BPSK, sekretariat akan memberikan tanda terima, bila permohonan
diajukan secara lisan maka sekretariat akan mencatat permohonan tersebut dalam
sebuah formulis yang disediakan secara khusus dan dibubuhi tanggal dan nomot
registrasi. Catatan yang penting,
permohonan harus lengkap, karena kalau tidak ketua BPSK akan menolak permohonan
tersebut.
Pemanggilan
pelaku usaha, dibuat surat panggilan yang memuat hari, tanggal, jam dan tempat
persidangan serta kewajibannya untuk memberikan jawaban terhadap penyelesaian
sengketa konsumen untuk diajukan pada persidangan pertama. Jika pada hari
pertama pelaku usaha tidak hadir tidak memnuhi panggilan, pelaku usaha dapat
dipanggil sekali lagi, jika tetap tidak hadir maka BPSK dapat meminta bantuan
penyiidik untuk menghadirkan pelaku usaha tersebut.
Jika
pelaku usaha hadir, maka konsumen memilih cara penyelesaian sengketeanya yang
harus disetujui oleh pelaku usaha, yakni yang bisa dipilih adalah konsiliasi,
mediasi dan arbitrasi. Jika yang dipilih para pihak adalah konsiliasi atau
mediasi, maka ketua BPSK segera menunjuk majelis sesuai ketentuan untuk
ditetapkan sebagai konsiliator atau mediator. Jika yang dilipilih adalah
arbitrasi, maka prosedurnya adalah para pihak memilih atbiter ketiga dari
anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis.
Persidangan dilaksanakan selambat-lambatnya hari kerja ke-7 terhitung sejak
diterimanya permohonan.
Tahap Persidangan
Tahap
persidangan ini meliputi tiga hal, yakni persidangan secara konsiliasi, mediasi
atau arbitrasi tergantung dari cara yang dipilih oleh yang bersengketa.
- persidangan
dengan cara konsiliasi
konsiliasi
adalah proses penyelesaian sengketa diantara para pihak dengan melibatkan pihak
ketiga yang netral dan tidak memihak, pihak ini disebut konsiliator.
Konsiliator hanya melakukan tindakan seperti mengatur waktu dan tempat
pertemuan para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu
pihak ke pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung oleh
para pihak. Penyelesaian sengketa model
ini mengacu pada konsensus antara pihak, dimana pihak netral dapat berperan
secara aktif maupun tidak aktif.
Konsiliator
dapat mengusulkan pendapatnya, namun tidak berwenang memutus perkaranya.
Penyelesaian sengketa konsumen melalui
konsiliator ini dilakukan sendiri oleh pihak yang bersengketa dengan didampingi
majelis BPSK yang bertidak pasif sebagai konsiliator. Majelis menyerahkan
sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk
maupun jumlah kerugian.
Hasil
musyawarah yang merupakan kesepakatan anta konsumen dan pelaku usaha yang
bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan diserahkan kepada majelis
untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian
tersebut.
- persidangan
dengan cara mediasi
mediasi
ialah proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah dimana
pihak-pihak ketiga yang tidak memihak bekerjasama dengan para pihak yang
bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan, pihak
ini disebut mediator.
Mediator
tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa, melainkan hanya membantu
para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang diserahkan kepadanya.
Kesepakatan dapat terjadi dengan mediasi, jika para pihak yang bersengketa
berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian
sengketa dengan arahan konkret dari mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya
proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun
besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya
kembali kerugian konsumen.
Hasil
musyawarah merupakan kesepakatan antara konsumen dengan pelaku usaha.
Selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian, ditandatangani oleh para pihak dan
diserahkan kepada majelis BPSK untuk dikukuhkan dalam keputusan majelis BPSK
untuk menguatkan perjanjian tersebut. Putusan tersebut mengikat kedua belah pihak
dan mediasi tidak memuat sanksi administratif.
- Persidangan
dengan cara arbitrase
Arbitrase
menurut UU no.30 tahun 1999 tentang arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase ini
adalah bentuk alternatif paling formal untuk menyelesaikan sengketa sebelum
bertlitigasi.
Pada
proses ini pihak yang bersengketa mengemukakan masalah mereka kepada pihak
ketiga yang netral dan memberinya wewenang untuk memberi keputusan.
Tahap Putusan
Putusan
majelis BPSK dapat dibedakan atas dua jenis putusan, yaitu;
- Putusan
BPSK dengan cara konsiliasi atau mediasi, putusan ini pada dasarnya hanya
mengkukuhkan isi perjanjian perdamaian yang telah disetujui dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
- Putusan
BPSK dengan cara arbitrasi, seperti halnya putusan perkara perdata, memuat
duduknya perkara dan pertimbangan hukumunya.
Putusan
majelis BPSK sedapat mungkin didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat,
namun jika telah diusahakan sungguh-sungguh ternyata hasilnya tidak berhasil
mencapai mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Keputusan mediasi
dan konsiliasi tidak memuat sanksi administratif sedangkan arbitrase dibuat
dengan putusan majelis dan ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis,
keputusan majelis dalam arbitrase dapat memuat sanksi administratif. Putusan
BPSK dapat memuat; perdamaian, gugatan ditolak atau gugatan dikabulkan.
Sedangkan berkaitan dengan aturan waktu
penyelesaian sengketa di BPSK sesuai UUPK Pasal 55 yang berisi: Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib
mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja
setelah gugatan diterima.
penyidikan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Terhadap perbuatan BPSK, dimintakan
penetapan eksekusi oleh BPSK kepada pengadilan negeri di tempat konsumen yang
dirugikan. Eksekusi atau pelaksanaan sudah mengandung arti bahwa pihak yang
dikalahkan tidak mau menaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan
harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan hukum. Penetapan eksekusi
diatur juga dalam Pasal 7 Perma Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan
Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Konsumen mengajukan permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang tidak diajukan
keberatan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum konsumen yang
bersangkutan atau dalam wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan putusan.
Permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang telah diperiksa melalui prosedur
keberatan, ditetapkan oleh pengadilan negeri yang memutus perkara keberatan
bersangkutan. Pengadilan negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan dalam
waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut, para pihak dalam waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan
materi pada makalah, dapat diambil kesimpulan bahwasannya sebagai upaya
sinergitas perlindungan konsumen maka dibentuklah lembaga-lembaga khusus yang
mengawasi dan menangani hak-hak konsumen dan sengketa konsumen. Fungsi Badan Perlindungan Konsumen (BPKN)
ini hanya memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya
mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Dan terdapat pula Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang merupakan lembaga non Pemerintah
yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani
perlindungan konsumen.
Sedangkan Badan Penyelesaian
sengketa konsumen (BPSK) tugas utamanya adalah memberikan perlindungan kepada
konsumen sekaligus menangani penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan
umum. Setiap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat mengadukan
masalahnya kepada BPSK.
B.
Saran
Kesadaran konsumen bahwa mereka
memiliki hak dan kewajiban serta perlindungan hukum atas mereka harus
diberdayakan dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang layak atas mereka,
mengingat faktor utama perlakuan yang semena-mena oleh produsen kepada konsumen
adalah kurangnya kesadaran serta pengetahuan konsumen akan hak-hak serta
kewajiban mereka.
Pemerintah sebagai perancang,
pelaksana serta pengawas atas jalannya
hukum dan UU tentang perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan
fenomena-fenomena yang terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi dewasa ini.
Melalui lembaga-lembaga independent yang menangani konsumen diharapkan
perlindungan terhadap konsumen dapat berjalan dengan baik, sehingga posis dan
keuntungan dapat di terima secara seimbang oleh pelaku usaha dan juga konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
BRA. Putri
Woelan Sari Dewi. 2009. Bandung. Peran
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999. Repositori Universitas
Diponegoro.
Hartianto,Dedi.
2007. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Periklanan yang Menyesatkan.
Bandung. Disertasi
Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung.
Miru,Ahmadi.
2013. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia. Jakarta.PT Raja Grafindo Persada.
Yodo,Sutarman.
2014. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta. Grafindo Persada.
[1] Ahmadi
Miru, 2013, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Cetakan ke-2,
PT Raja Grafindo Persada Jakarta, hlm.67.
[2] Sutarman
Yodo, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan ke-8, Grafindo Persada,
Jakarta, hlm.195.
[3] BRA. Putri Woelan Sari Dewi, Peran
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 (Studi Penyelesaian
Sengketa Konsumen Di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung), 2009,
Undip Semarang, hal. 101