Eksekusi adalah pelaksanaan
secara resmi suatu putusan pengadilan di bawah pimpinan ketua pengadilan (Abdul
Kadir Muhammad, 1986: 217). Putusan pengadilan dipaksakan kepada pihak yang
dikalahkan, karena ia tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela. Eksekusi
memuat aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Eksekusi
merupakan bagian yang sangat penting dalam hukum acara, karena penggugat bukan
hanya mengharapkan putusan pengadilan yang memenangkan / menguntungkannya,
tetapi ia juga mengharapkan putusan tersebut dapat dilaksanakan. Apabila
putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan, maka kemenangan penggugat dirasakan
sia-sia. Bahkan dapat dikatakan ia telah mengalami kerugian, karena ia tidak
memperoleh hak yang sepatutnya ia terima setelah melewati proses persidangan
yang membutuhkan pengorbanan berupa tenaga, waktu maupun biaya.
Menurut Indroharto (1993:243),
yang dimaksud dengan eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan oleh atau
dengan bantuan pihak luar dari para pihak. Mengenai hakekat dari pelaksanaan
putusan, Sudikno Mertokusumo mengemukakan (1982: 205) : Pemeriksaan perkara
memang diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan dijatuhkan putusan saja
belumlah selesai persoalannya. Putusan itu harus dapat dilaksanakan atau
dijalankan. Suatu putusan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan.
Oleh karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan
untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat
negara. Sehingga, pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada jakekatnya tidak
lain ialah realisasi daripada kewajiban dari pihak yang bersangkutan untuk
memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut. Dalam hubungan ini,
Subekti (1978: 52) mengemukakan bahwa, perkataan eksekusi atau pelaksanaan
sudah mengandung paksaan.
Putusan pengadilan dipaksakan
kepada pihak yang dikalahkan tadi karena ia enggan mematuhi secara sukarela.
Tujuan pelaksanaan putusan atau eksekusi tidak lain untuk merealisasikan suatu
putusan menjadi suatu prestasi. Sejalan dengan ini,Djazuli Bachar (1987: 9)
bahwa isi putusan pengadilan/ amar putusan adalah hukum sebagai pencerminan
norma hukum yang berlaku dalam masyarakat yang pernah dilanggar dan karena itu
keseimbangan berlakunya norma itu menjadi terganggu dan menuntut pemulihan.
Suatu rangkaian usaha untukmelaksanakan hukum perlu dilakukan dalam kegiatan
ini merupakan penegakan hukum setelah diminta oleh yang berkepentingan.
39
Oleh karena tujuan hukum acara
atau hukum formil adalah untuk mempertahankan dan memelihara hukum materiil,
maka hukum eksekusi mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat
negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim,
apabila pihak yang kalah tidak bersedia memenuhi bunyinya putusan dalam waktu
yang ditentukan (Supomo: 119).
A. Dasar
Hukum Eksekusi
Dalam hukum acara perdata, dasar hukum eksekusi
atau pelaksanaan putusan pengadilan diatur dalam:
a. Pasal 206
sampai dengan pasal 258 RBg ; Pasal 195 sampai dengan pasal 224 HIR;
b. Pasal
1033 Rv ;
c. Pasal 36
ayat (3) dan (4) UU No. 4 tahun 2oo4 tentang kekuasaan kehakiman;
d.
Berbagai peraturan
perundang-undangan yang substansinya lebih bersifat khusus, seperti eksekusi
hak tanggugan (UU No. 4/1996), eksekusi fidusia ( UU No.
42/1999).
Baik HIR maupun RBg secara rinci
memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan
(eksekusi), dari awal mulainya proses eksekusi sampai berakhirnya eksekusi,
yaitu sampai terpenuhinya isi putusan pengadilan. Dalam Pasal-Pasal 195 sampai
Pasal 224 HIR / Pasal 206 sampai Pasal 258 RBg telah diatur ketentuan tentang:
a. Peringatan
/ tegoran (aanmaning) ;
b. Sita
eksekusi ;
c.
Pemenuhan prestasi : pengosongan
obyek sengketa, penyerahan obyek sengketa, pelelangan, pembayaran;
d. penyanderaan
(gijzeling) .
Oleh
karena eksekusi dalam dirinya sudah mengandungpengertia “paksaan dari
pejabat umum”, hukum acara perdata telah secara
rinci mengatur siapa yang memerintahkan dan memimpin paksaan itu, dan bagaimana
caranya paksaan itu dilakukan, sehingga isi putusan itu dapat direlisir. Pasal
36 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 menentukan bahwa eksekusi dilakukan atas
perintah dan dibawah pengawasan Ketua Pengadilan Negeri.
40
Ada empat
asas penting dalam hukum acara perdata, yaitu:
1. Menjalankan
putusan yang telah bekekuatan hukum tetap;
2. Putusan
tidak dijalankan secara sukarela;
3. Putusan
yang dapat dieksekusi bersifat condemnatoir;
4. Eksekusi
atas perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan.
1.
Menjalankan Putusan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap
Pada prinsipnya, putusan yang
dapat dieksekusi adalah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atau pasti (in kracht van gewijsde), kecuali putusan
serta merta (uitvoerbaar bij voorraad).
Suatu putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila terhadap
putusan tersebut sudah tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Dalam hukum acara
sebagai telah diuraikan, dikenal tiga jenis upaya hukum biasa terhadap putusan
pengadilan yaitu, verzet, banding dan kasasi., kecuali putusan serta merta.
Putusan-putusan tersebut adalah:
a. Putusan
verstek yang tidak dimohonkan verzet;
b. Putusan
pengadilan negeri yang tidak dimohonkan banding;
c. Putusan
pengadilan tinggi yang tidak dimohonkan kasasi;
d. Putusan
kasasi;
e. Putusan
perdamaian.
Putusan yang berkekuatan hukum
tetap berarti putusan itu sudah mempunyai kekuatan mengikat yang positif
sebagai yang sudah benar dan tidak boleh diubah lagi (Djazuli Bachar: 1987:
20). Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu pada dasarnya tidak dapat
diganggu gugat lagi dengan cara-cara atau upaya-upaya hukum bias. Isi atau amar
dari putusan tersebut sudah dapat diterapkan dan sudah menimbulkan
akibat-akibat hukum. Oleh karenanya, isi putusan pengadilan itu harus ditaati
oleh para pihak.
M. Yahya Harahap mengemukakan
bahwa, pada asasnya putusan yang dapat dieksekusi adalah:
− Putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap ;
− Karena
dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah
terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang
berperkara.
41
− Disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan
pasti:
• Hubungan
hukum tersebut mesti ditaati; dan
• Mesti
dipenuhi oleh pihak yang dihukum (pihak tergugat).
−
Cara menaati dan memenuhi
hubungan hukum yang ditetapkan dalam amar putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap :
• Dapat dilakukan atau dijalankan secara sukarela oleh pihak tergugat ;
dan
• Bila enggan menjalankan putusan secara sukarela, hubungan hukum yang
ditetapkan dalam putusan harus dilaksanakan dengan paksa dengan jalan bantuan
kekuatan umum.
2. Putusan
Tidak Dijalankan Secara Sukarela
Sesungguhnya
ada dua cara menjalankan isi putusan , yaitu:
a. Dengan
cara sukarela dan;
b. Dengan
cara paksa (pelaksanaan putusan secara paksa atau eksekusi).
Eksekusi baru menjadi pilihan apabila tergugat yang
dikalahkan tidak mau menjalankan isi putusan secara sukarela. Dalam hal pihak
yang dikalahkan dalam putusan tersebut bersedia menjalankan putusan secara
sukarela, maka menjalankan putusan secara eksekusi sudah tidak relevan lagi.
Hal ini terjadi karena pihak yang dikalahkan sudah secara sempurna telah
memenuhi prestasi yang dibebankan kepadanya sebagai yang tercantum dalam amar
putusan pengadilan.
Dengan demikian, eksekusi diawali
dengan tidak bersedianya pihak yang dikalahkanuntuk melaksanakan isi putusan
pengadilan secara sukarela. Keadaan ini ditindaklanjuti oleh pihak yang menang
dengan mengajukan permohonanbaik secara lisan maupun secara tertulis kepada
Ketua Pengadilan Negeri agar putusan pengadilan dilaksanakan. Atas dasar
permohonan ini, Ketua Pengadilan Negeri memanggil pihak yang dikalahkan untuk
ditegur (aanmaning) agar memenuhi
putusan pengadilan dalam jangka waktu 8 hari sejak teguran itu (Pasal 207 RBg /
Pasal 196 HIR).
42
3. Putusan Yang Dapat dieksekusi Bersifat
Condemnatoir
Putusan
pengadilan yang bisa dieksekusi adalah putusan yang bersifat
“menghukum”.
Ciri khas putusan yang bersifat condemnatoir / menghukum adalah sifat
imperatif
yang tertuang dalam amar putusan berupa kata-kata menghukum atau
memerintahkan
atau membebankan.
Contoh :
1)
Menghukum tergugat atau siapapun
yang diberi hak dari padanya terhadap tanah sawah sengketa tersebut untuk
segera menyerahkan kepadapenggugat
baik secara sukarela maupun dengan cara eksekusi,
bila perlu dengan
bntuan polisi.(Angka 3 Amar putusan Pengadilan
Negeri Denpasar No. 79
/ Pdt.
G./ 1998 / PN.Dps, tertanggal 5 Januari 1999).
2)
Menghukum Para Tergugat secara
tanggung renteng untuk membayar ganti rugi materiil sebesar Rp.
680.250.000.000,- (enam ratus delapan puluh milyar dua ratus lima puluh juta
rupiah) secara tunai kepada Para Penggugat ditambah bunga 6 % per tahun sejak
gugatan ini didaftarkan Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai
seluruhnya dibayar lunas. (Amar Putusan Dalam Pokok Perkara angka 6 dalam
Putusan Pengadilan NegeriJakarta Pusat No. 10 / Pdt. G / 2010 / PN. Jkt. Pst
tertanggal 14 April 2011).
4. Eksekusi
Atas Perintah dan Dibawah Pimpinan Ketua Pengadilan
Ketua pengadilan yang dimaksud adalah ketua
pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa dan memutus perkara
tersebut. Asas ini tertuang dalan pasal 206 ayat (1) RBg / pasal 195 ayat (1)
HIR dan pasal 36 ayat (3) UU No. 4 tahun 2004. Dalam hukum acara perdata jelas
dan tegas fungsi ketua pengadilan sebagai yang memerintahkan dan yang memimpin
pelaksanaan putusan (eksekusi). Pasal 206 ayat (1) dan ayat (2) RBg menentukan:
(1). Pelaksanaan hukum (eksekusi) perkara yang
diputus oleh pengadilan negeri dalam tingkat pertama dilakukan atas perintah
dan dibawah pimpinan ketua menurut cara yang ditentukan dalam pasal-pasal
berikut.
(2). Jika putusan seluruhnya atau sebagian
harus dilaksanakan di luar wilayah hukum jaksa di tempat kedudukan pengadilan
negeri atau ketua tidak ada di tempat itu, maka ketua dapat minta secara
tertulis perantaraan jaksa yang
bersangkutan.
43
“Jaksa” dalam ayat (2) dan ayat-ayat lainnya dalam
ketentuan ini harus dianggap tidak ada, dan dalam konteks hukum acara perdata
sekarang dibaca “pengadilan negeri” dan atau “wilayah hukum pengadilan negeri”.
Yang dimaksud dengan “di bawah
pimpinan Ketua Pengadilan” dalam ketentuan Pasal 206 ayat (1) RBg / Pasal 195
ayat (1) Hir adalah mencakup pengawasan dan tanggung jawab sejak diterimanya
permohonan sampai selesainya pelaksanaan putusan. Dalam UU Kekuasaan Kehakiman
( UU No. 4 / 2004), Pasal 3 ayat (3) ditentukan: pelaksanaan putusan pengadilan
dalan perkara perdata dilakukan oleh juru sita dan juru sita dipimpin oleh
ketua pengadilan.
Dengan mengkaitkan Pasal 206 ayat
(1) RBg / Pasal 195 ayat (1) HIR dengan Pasal 208 RBg / Pasal 197 ayat (1)
HIRYahya Harahapmengemukakan bahwa gambaran konstruksi hukum kewenangan
menjalankan eksekusi dapat diterngkan sebagai berikut:
− Ketua
Pengadilan Negeri memerintahkan dan memimpin jalannya eksekusi;
− Kewenangan memerintahkan dan memimpin eksekusi yang ada pada Ketua
Pengadilan Negeri adalah secara ex
officio;
− Perintah eksekusi dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri berbentuk “Surat
Penetapan” (beschikking);
− Yang diperintahkan menjalankan eksekusi ialah panitera atau juru sita
Pengadilan Negeri.
C. Proses
Eksekusi
Baik RBg maupun HIR secara rinci
memuat ketentuan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan
(eksekusi), dari awal mulainya proses eksekusi sampai berakhirnya eksekusi,
yaitu sampai terpenuhinya isi putusan pengadilan. Dalam pasal 206 sampai dengan
pasal 258 RBg atau pasal 195 sampai dengan pasal 224 HIR telah diatur ketentuan
ketentuan tentang: a. Peringatan / teguran / aanmaning, b. Sita eksekusi, c. pemenuhan
prestasi (pengosongan obyek sengketa, penyerahan obyek sengketa, pelelangan,
pembayaran) , dan penyanderaan/ gijzeling.
Eksekusi diawali dengan adanya
permohonan eksekusi dari pihak yang dimenangkan. Atas dasar permohonan ini,
ketua pengadilan negeri memanggil tergugat dan memberikan peringatan atau
“aannmaning” kepada tergugat agar tergugat melaksanakan isi putusan pengadilan
dalam tenggang waktu yang ditentukan, yaitu 8 hari. Peringatan ini dilakukan
dalam suatu persidangan insidental yang dihadiri oleh
44
ketua pengadilan, panitera dan tergugat. Apabila
tergugat tidak hadir, walaupun telah dipanggil secara patut, maka pemberian
peringatan dianggap telah terjadi.
Apabila tergugat tetap tidak
melaksanakan isi putusan pengadilan, dan tenggang waktu yang diberikan dalam
peringatan telah terlampaui, maka secara ex
officio ketua pengadilan negeri sudah
dapat mengeluarkan perintah eksekusi.Eksekusi dilaksanakan oleh panitera atau juru sita. Untuk kepentingan itu,
ketua pengadilan negeri mengeluarkan Surat Penetapan Perintah Eksekusi, dan
memerintahkan panitera atau juru sita untuk melakukan pembebanan sita eksekusi
/ executorial beslag, yaitu supaya disita sejumlah barang tidak tetap (benda
bergerak), dan jika tidak ada barang seperti itu, atau ternyata tidak cukup,
maka benda tetap kepunyaan orang yang dikalahkan tersebut, sehingga dirasa
cukup sebagai pengganti jumlah uang yang tersebut dalam putusan dan seluruh
biaya tersebut (Pasal 208 ayat (1) RBg / Pasal 197 ayat (1) HIR).. Kelanjutan
dari sita eksekusi ini adalah penjualan lelang, yang dilakukan dengan
perantaraan atau bantuan kantor lelang, kecuali terhadap jumlah pembayaran yang
sangat kecil.
Pejabat yang melakukan eksekusi
(panitera atau juru sita dan dibantu oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi)
diperintahkan secara tegas untuk membuat berita acara eksekusi (Pasal 209 ayat
940 RBG / Pasal 197 ayat (5) HIR). Berita acara eksekusi ditanda tangani oleh
pejabat pelaksana (panitera atau juru sita) dan dua orang saksi yang membantu
pelaksanaan eksekusi (Pasal 210 ayat (1) RBg / Pasal 197 ayat (6) HIR. Tanpa
berita acara eksekusi, eksekusi dianggap tidak sah.
Berita acara penyitaan terhadap
benda tetap harus diumumkan (didaftarkan) pada kantor yang berwenang untuk itu,
yang kemudian harus diumumkan oleh kepala desa menurut kebiasaan (Pasal 213
ayat (1) dan (2) RBg / Pasal 198 ayat (1) dan (2) HIR). Pengumuman ini
merupakan syarat yang harus dipenuhi. Adapun tujuan dari pendaftaran dan
pengumunan sita yang dilaksanakan terhadap barang tergugat iniadalah :
− Secara
resmi diberitahukan kepada masyarakat;
− Secara
resmi terbuka untuk umum
− Setiap orang dapat membaca dan memeriksanya pada buku register yang
khusus pada kantor jawatan yang berwenang untuk itu.
Uraian di atas adalah executorial
beslag setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Ada pula executorial beslag yang terjadisecara
otomatis sebagai
45
kelanjutan dari conservatoir
beslag (sita jaminan). Sita jaminan yang dinyatakan sah dan berharga dalam
putusan pengadilan, secara otomatis berubah menjadi sita eksekutoria (executorial beslag) ketika putusan
pengadilan berkekuatan hukum tetap. Sita jaminan ini pada umumnya sudah
dimohonkan penggugat dalam gugatannya, atau ketika proses persidangan masih
berjalan.
Kelanjutan dar pada sita eksekusi
adalah penjualan lelang atas barang-barang atau benda-benda yang telah disita.
Penjualan lelang ini harus dilakukan dengan perantaraan atau bantuan kantor
lelang (Pasal 215 ayat (1) RBg / Pasal 200 ayat (1) HIR). Pengecualian atas
keharusan penjualan dengan perantaraan atau bantuan kantor lelang dimungkinkan
apabila jumlah (pembayaran) yang dihukum kepada tergugat sangat kecil (Pasal
215 ayat (2) RBg / Pasal 200 ayat (2) HIR)
Dalam eksekusi riil, yang
dirumuskan dalam Pasal 218 ayat (2) RBg / Pasal 200 ayat (11) HIR / Pasal 1033
Rv, tatacaranya relatif sederhana dan mudah, yang dapat digambarkan sebagai
berikut:
a.
Ketua pengadilan negeri mengeluarkan perintah
eksekusi (pengosongan);
b.
Perintah menjalankan eksekusi ditujukan kepada juru
sita;
c.
Tindakan pengosongan meliputi
diri si terhukum, keluarganya dan barang-barangnya.
d.
Eksekusi dapat dilakukan dengan
minta bantuan aparat keamanan / kekuatanumum.
D.
Jenis-Jenis Eksekusi
Dikenal 3 (tiga) jenis eksekusi atau pelaksanaan
putusan pengadilan dalam hukum acara perdata, yang ketentuan diatur sebagai
berikut, yaitu :
1. Eksekusi
membayar sejumlah uang
Pasal 195
HIR (Pasal 206 RBg) menyatakan bahwa:
1)
Keputusan hakim dalam perkara
yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri, dilaksanakan atas
perintah dan dibawah pengawasan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat
pertama memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal
berikut ini:
2)
Jika keputusan itu harus
dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerahhukum pengadilan negeri
tersebut di atas, maka ketuanya meminta bantuandengan surat pada ketua
pengadilan yang berhak; begitu juga halnya pelaksanaan putusan di luar jawa dan
madura.
46
3)
Ketua pengadilan negeri yang
diminta bantuan itu harus bertindak menurut ketentuan ayat di atas, jika nyata
baginya, bahwa keputusan itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di
luar daerah hukumnya.
4)
Bagi ketua pengadilan negeri yang
diminta bantuannya oleh teman sejawatnyadari luar jawa dan madura, berlaku
segala peraturan dalam bagian ini, tentangsegala perbuatan yang akan dilakukan
karena permintaan itu.
5)
Dalam dua kali dua puluh empat
jam, ketua yang diminta bantuan itu harusmemberitahukan segala usaha yang telah
diperintahkan dan hasilnya kepada ketua pengadilan negeri yang pada tingkat
pertama, memeriksa perkara itu.
6)
Jika pelaksanaan keputusan itu
dilawan, juga perlawanan itu dilakukan oleh orang lain yang mengakui barang
yang disita itu sebagai barang miliknya , makahal itu serta segala perselisihan
tentang upaya paksa, diajukan kepada dandiputus oleh pengadilan negeri yang
dalam daerah hukumnya harus dilaksanakan keputusan itu.
7)
Perselisihan dan keputusan
tentang perselisihan itu, tiap dua kali dua puluh empat jam, harus
diberitahukan dengan surat oleh ketua pengadilan negeri itukepada ketua
pengadilan negeri yang mula-mula memeriksa perkara itu.
Pasal 196 HIR (Pasal 207 RBg)
menyatakan bahwa:Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi
isi keputusan itu dengan baik, maka pihak yang menang mengajukan permintaan
kepada ketua pengadilan negeri tersebut pada pasal 195 ayat (1), baik dengan
lisan maupun dengan surat , supaya keputusan itu dilaksanakan. Kemudian ketua
akan memanggil pihak yang kalah serta menegurnya, supaya ia memenuhi keputusan
dalam waktu yang ditentukan oleh ketua selama-lamanya delapan hari.
Pasal 197
HIR menyatakan bahwa:
1)
Jika sudah lewat waktu yang
ditentukan itu, sedangkan orang yang dikalahkanbelum juga memenuhi keputusan
itu, atau jika orang itu sesudah dipanggildengan patut, tidak juga datang
menghadap, maka ketua karena jabatannyaakan memberi perintah dengan surat,
supaya diseita sekalian banyak barang-barang bergerak dan jika barang demikian
tidak ada atau ternyata tidak cukup, sekian banyak barang tak bergerak
kepunyaan orang yang dikalahkan itu, sampai dianggap cukup menjadi pengganti
jumlah uang
47
yang tersebut dalam keputusan itu dan ditambah semua biaya untuk
menjalankan keputusan itu.
2) Penyitaan
dijalankan oleh panitera pengadilan negeri.
3)
Bila panitera itu berhalangan
karena alasan dinas atau karena alasan yang lain,maka ia ia digantikan oleh
seorang yang cakap atau yang dapat dipercaya, yang ditunjuk untuk itu oleh
ketua atau atas permintaannya oleh kepala pemerintahan setempat; dalam hal
menunjuk orang itu menurut cara tersebut, jika dianggap perlu menurut keadaan,
ketua berkuasa juga untuk menghemat biaya sehubungan dengan jauhnya tempat
penyitaan itu.
4)
Penunjukkan orang itu dilakukan
hanya dengan menyebutkannya saja atau dengan mencatatnya pada surat perintah yang
tersebut pada ayat pertama pasal ini.
5)
Panitera itu atau orang yang
ditunjukkan sebagai penggantinya , hendaklah membuat berita acara tentang
pekerjaannya, dan memberitahukan tentang isi berita acara tersebut kepada orang
yang disita barangnya itu, kalau ia ada hadir.
6)
Penyitaan dilakukan dengan
bantuan dua orang saksi, yang namanya, pekerjaannya dan tempat diamnya
disebutkan dalam pemberitaan acara, dan mereka turut menanda tangani berita
acara yang asli dan salinannya.
7)
Saksi itu haruslah penduduk Indonesia,
telah berumur 21 tahun dan dikenal sebagai orang yang dapat dipercaya oleh
orang menyita, atau diterangkan demikian oleh seorang pamong praja.
8)
Penyitaan barang bergerak milik
orang yang berutang (debitur), termasuk uang tunai dan surat-surat berharga,
boleh juga dilakukan atas barang bergerak yangbertubuh, yang ada di tangan
orang lain, akan tetapi tidak dapat dijalankan atas hewan dan perkakas yang
sungguh-sungguh dapergunakan dalam menjalankan pencaharian orang yang terhukum
itu.
9)
Panitera atau orang yang ditunjuk
menjadi penggantinya hendaklah membiarkan, menurut keadaan, barang-barang
bergerak itu seluruhnyaatau sebagian disimpan oleh orang yang barangnya disita
itu, ataumenyuruh membawa barang itu seluruhnya atau sebagian ke satu tempat
persimpanan yang patut. Dalam hal pertama, maka ia memberitahukankepada polisi
desa atau polisi kampung, dan polisi itu harus
48
menjaga, supaya jangan ada dari barang itu
dilarikan. Bangunan bangunanorang Indonesia yang tidak melekat pada tanah,
tidak boleh dibawa.
2. Eksekusi Untuk Melakukan Suatu
Perbuatan Ketentuan-ketentuannya diatur dalam:
Pasal 225
HIR (Pasal 259 RBg) menentukan :
1)
Jika seorang yang dihukum untuk
melakukan suatu perbuatan, tidakmelakukannya dalam waktu yang ditentukan hakim,
maka pihak yang menang perkara boleh meminta kepada pengadilan negeri dengan
perantaraan ketua , baik dengan surat, maupun dengan lisan, supaya keuntungan
yang akandidapatnya jika putusan itu dipenuhi, dinilai dengan uang tunai
yangbanyaknya harus diberitahukan dengan pasti; permintaan itu harus dicatat
jika diajukan dengan lisan.
2)
Ketua mengajukan perkara itu
dalam persidangan pengadilan negeri, sesudah debitur diperiksa atau dipanggil
dengan sah, maka pengadilan negeri akanmenentukan apakah permintaan itu akan
ditolak, atau perbuatan yang diperintahkan tetapi tidak dilakukan akan dinilai
sebesar jumlah yang dikehendaki oleh peminta atau kurang dari jumlah itu; dalam
hal terakhirini,
debitor
dihukum membayar jumlah tersebut.
Pasal 606
a Rv. Menyatakan bahwa:
Sepanjang keputusan hakim mengandung hukuman untuk
sesuatu yang lain dari pada membayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan bahwa
sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya
harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim
dan uang tersebut dinamakan uang paksa.
3.
Eksekusi Riil
Ketentuan eksekusi riil terhadap
harta / barang-barang jaminan pihak yang dikalahkan , diatur di dalam : Pasal
197 HIR (sebagaimana telah disebutkan di atas), Pasal 198 HIR, Pasal 200 ayat
(11) HIR, Pasal 208 RBg, Pasal 218 ayat (2) RBg, Pasal 1033 Rv.
Pasal 198
HIR menentukan :
1)
Jika yang disita barang tetap,
maka berita acara penyitaan itu diumumkan dengan cara sebagai berikut: jika
barang tetap itu sudah dibukukan menurut
49
ordonansi tentang membukukan hypotheek atas barang
itu di Indonesia (Staatsblad 1834 No. 27) dengan menyalin pemberitaan acara itu
di dalam daftar yang tersebut pada pasal 50 dari aturan tentang menjalankan
undang-undang baru (Staatsblad 1848 No. 10); dan jika tidak dibukukan menurut
ordonansi yang tersebutdi atas ini, dengan menyalin pemberitaan acara itu dalam
daftar yang disediakan untuk maksud itu dengan menyebut jam, hari, bulan dan
tahun harus disebut oleh panitera pada surat asli yang diberikankepadanya.
2)
Lain dari itu orang yang disuruh
menyita barang itu, memberi perintah kepada kepala desa supaya hal penyitaan
barang itu diumumkan di tempat itu
menurut cara yang dibiasakan, sehingga diketahui seluas-luasnya oleh
ketua, yang tinggal ditempat penjualan itu dilakukan atau di dekat tempat itu.
Pasal 208
RBg menentukan:
Bila setelah lampau tenggang waktu yang telah
ditentukan, putusan hakim tidak dilaksankan atau pihak yang kalah tidak datang
menghadap setelah dipanggil, maka ketua atau jaksa yang diberi kuasa karena
jabatannya mengeluarkan perintah untuk menyita sejumlah barang bergerak itu dan
jika jumlahnya diperkirakan tidak akan mencukupi, juga sejumlah barang-barang
tetap milik pihak yang kalah sebanyak diperkirakan akan mencukupi untuk
membayar jumlah uang sebagai pelaksanaan putusan, dengan batasan-batasan di
daerah Bengkulu, Sumatera Barat dan Tapanuli, hanya dapat dilakukan penyitaan
atas harta (harta pusaka) jika tidak terdapat cukup kekayaan dari harta
pencarian baik yang berupa barang bergerak maupun barang tetap.
Pasal 200
ayat (11) HIR menentukan:
Jika seseorang enggan meninggalkan barang tetapnya yang dijual, maka
ketua pengadilan negeri akan membuat surat perintah kepada orang yang
berwenang, untuk menjalankan surat juru sita dengan bantuan panitera pengadilan
negeri, jika perlu dengan pertolongan polisi, supaya barang tetap itu
ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya itu serta oleh
sanak saudaranya. Pasal 218 ayat (2) RBg menentukan:
Jika pemilik barang yang telah
dilelang enggan untuk menyerahkan barang yang telah dijual itu, maka ketua
pengadilan negeri atau jaksa yang dikuasakan secara tertulis mengeluarkan surat
perintah kepada pejabat yang bertugas memberitahukan untuk, bila perlu dengan
bantuan polisi, memaksa agar yang
50
membangkang itu beserta keluarganya meninggalkan
dan mengosongkan barang itu. Pejabat yang bertugas menjalankan perintah dibantu
oleh panitera pengadilan negeri atau oleh seorang pegawai berkebangsaan Eropa
yang ditunjuk oleh ketua atau oleh jaksa yang dikuasakan atau bila orang
semacam itu tidak ada, oleh seorang kepala desa Indonesia atau pegawai
Indonesia yang ditunjuk oleh ketua atau oleh jaksa yang dikuasakan.