Secara
etimologi kepailitan berasal dari kata “pailit”, yang diambil dari bahasa
Belanda “faillet”. Istilah “faillet” sendiri berasal dari bahasa
Perancis “failitet” yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran.
Dalam bahasa Inggris istilah yang digunakan adalah bankrupt (pailit) dan
bankkruptcy (kepailitan).[1] Kata “bankruptcy” ini dibentuk dari kata latin “bancus”
yang berarti meja dari pedagang dan “ruptus” yang berarti rusak (broken),
yang menunjukkan tempat melakukan bisnis rusak atau hilang. Dalam Abad
Pertengahan, di Italia apabila seorang pedagang tidak membayar utangnya,
kreditur dari pedagang tersebut akan menghancurkan bangku tempat berdagang,
sering kali diatas kepala yang berutang. Sumber kata lain adalah dari bahasa
Perancis ”banqueroute”, yang berarti sedang dalam pelarian (being on
the route) atau melarikan diri dari para kreditur dan hidup dari hasil yang
didapatnya dengan curang.
Dari sudut pandang bisnis, kepailitan atau kebangkrutan adalah
suatu keadaan keuangan yang memburuk untuk suatu perusahaan, yang dapat membawa
akibat pada rendahnya kinerja untuk jangka waktu tertentu yang berkelanjutan,
yang pada akhirnya menjadikan perusahaan tersebut kehilangan sumber daya dan
dana yang dimiliki.
Berbagai definisi tentang kepailitan menurut hukum telah diberikan
oleh beberapa pakar, yang melihatnya dari berbagai sudut pandang, di antaranya
Purwosutjipto menyatakan bahwa “pailit” adalah keadaan berhenti membayar
(utang-utangnya),[2] sedangkan menurut Subekti kepailitan adalah suatu usaha bersama
untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang yang berpiutang secara adil.[3] Retnowulan menyebutkan kepailitan adalah eksekusi massal yang
ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta-merta, dengan melakukan
penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada
pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan
berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan
pihak yang berwajib.[4] Sementara itu, menurut Munir Fuady menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan pailit atau bangkrut adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitur
agar dicapainya perdamaian antara debitur dan para kreditur atau agar harta
tersebut dapat dibagi-bagi secara adil di antara para kreditur.[5]
Selanjutnya, Black’s Law Dictionary mengartikan pailit atau
bahasa umumnya disebut bangkrut, dapat diartikan bahwasannya suatu kondisi di
mana seseorang baik perorangan maupun badan hukum tidak memiliki kemampuan
untuk membayar utang-utangnya. Adapun menurut Algra, mendefinisikan pengertian
“kepailitan” adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta kekayaan dari
seorang debitur untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditur. Adapun
pengertian kepailitan menurut Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan Nomor 37 Tahun
2004 disebutkan : “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur
pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah
pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pengertian
pailit sebenarnya tidak sama dengan bangkrut, karena bangkrut berarti ada unsur
keuangan yang tidak sehat dalam suatu perusahaan. Selain itu, bangkrut lebih
cenderung pada kondisi dimana suatu perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerus
yang memungkinkan perusahaan itu gulung tikar, sehingga unsur utama dari
kebangkrutan ialah kerugian. Adapun pailit bisa terjadi pada perusahaan yang
kondisi keuangannya masih sehat, perusahaan tersebut diapilitkan karena tidak
membayar utang yang telah jatuh tempo dari salah satu atau lebih kreditur.
Jadi, unsur utama dari kepailitan adalah adanya utang.
Sejarah
masuknya aturan-aturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan masuknya Wetboek
Van Koophandel (KUHD) ke Indonesia. Adapun hal tersebut dikarenakan
Peraturan-peraturan mengenai Kepailitan sebelumnya terdapat dalam Buku III
KUHD. Namun akhirnya aturan tersebut dicabut dari KUHD dan dibentuk aturan
kepailitan baru yang berdiri sendiri.
Aturan mengenai kepailitan tersebut disebut dengan Failistment
Verordenning yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan
Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Arti kata Failisment Verordenning itu sendiri
diantara para sarjana Indonesia diartikan sangat beragam. Ada yang
menerjemahkan kata ini dengan Peraturan-peraturan Kepailitan (PK). Akan tetapi
Subekti dan Tjitrosidibio melalui karyanya yang merupakan acuan banyak kalangan
akademisi menyatakan bahwa Failisment Verordening itu dapat diterjemahkan
sebagai Undang-Undang Kepailitan (UUPK).
Undang-Undang Kepailitan peninggalan pemerintahan
Hindia Belanda ini berlaku dalam jangka waktu yang relatif lama yaitu dari
Tahun 1905 sampai dengan Tahun 1998 atau berlangsung selama 93 Tahun.
Sebenarnya pada masa pendudukan Jepang Aturan ini sempat tidak diberlakukan dan
dibuat UU Darurat mengenai Kepailitan oleh Pemerintah Penjajah Jepang untuk
menyelesaikan Masalah-masalah Kepailitan pada masa itu. Akan tetapi setelah
Jepang meninggalkan Indonesia aturan-aturan Kepailitan peninggalan Belanda
diberlakukan kembali.
Pada tahun 1998 dimana Indonesia sedang diterpa krisis
moneter yang menyebabkan banyaknya kasus-kasus kepailitan terjadi secara
besar-besaran dibentuklah suatu PERPU No. 1 tahun 1998 mengenai kepailitan
sebagai pengganti Undang-undang Kepailitan peninggalan Belanda. Meskipun begitu
isi atau substansi dari PERPU itu sendiri masih sama dengan aturan kepailitan
terdahulu. Selanjutnya PERPU ini diperkuat kedudukan hukumnya dengan
disahkannya UU No. 4 Tahun 1998. Dalam perkembangan selanjutnya dibentuklah Produk
hukum yang baru mengenai Kepailitan yaitu dengan disahkannya UU No. 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai
pengganti UU No. 4 tahun 1998.
Jadi, dasar hukum yang sekarang masih berlaku mengenai
kepailitan secara berurutan, sebagai berikut :
1)
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, diantaranya Pasal 1139, 1149, 1134;
2)
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, diantaranya Pasal 396, 397, 399, 400, 520;
3)
Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
4)
Undang-Undang
No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
5)
Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;
6)
Perundang-Undangan
Di Bidang Pasar Modal, Perbankan, BUMN, dan lain-lain.
Syarat dan Tata
Cara Pengajuan Permohonan Kepalitan
Permohonan
kepalitan diajukan ke Pengadilan Niaga melalui panitera pengadilan Niaga
tersebut. Adapun yang dapat mengajukan permohonan kepalitan adalah:
- Debitor;
- Kreditor;
- Kejaksaan, dalam hal untuk
kepentingan umum;
- Bank Indonesia, dalam hal
debitornya merupakan bank;
- Badan Pengawas Pasar modal
(bapepam), dalam hal debitornya perusahaan efek, bursa efek, atau lembaga
kliring dan penjaminan; dan
- Menteri Keuangan, dalam hal
debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana
pension, atau Badan Usaha Milik Negara (BMUN) yang berkecimpung di bidang
kepentingan public.
Permohonan
kepalitan tersebut wajib diajukan melalui advokat kecuali jika pemohonnya
adalah kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan.[6]
Kententuan ini merupakan satu kemjuan dalam hukum acara perdata, karena dalam
hukum acara perdata (biasa) tidak ada ketentuan mengenai kewajiban bahwa gugatan
harus dikuasakan pada advokat. Filosofi dari ketentuan ini adalah bahwa proses
beracara pada peradilan kepailitan menekankan pada efisiensi dan efektivitas
beracara. Denan melalui advokat maka diharapkan proses beracara tidak mengalami
kendala teknis sebab advokat dianggap tahu hukum beracara.
Kelengkapan yang
harus dipenuhi dalam pengajuan kepailitan sesuai dengan formulir yang
disediakan oleh Pengadilan Niaga adalaah, antara lain:
·
Surat permohonan
bermateri dari advokat yang ditunjukan kepada Ketua Pengadilan Niaga setempat;
·
Izin/kartu
advokat yang dilegalisir pada Kepanniteraan Pengadilan Niaga setempat;
·
Surat kuasa
khusus;
·
Surat tanda
bukti diri/KTP suami/istri yang masih berlaku )bagi debitor perorangan), akta
pendirian dan tanda daftar perusahaan/TDP yang dilegalisir (bagi debitor
perseroan terbatas), akta pendaftaran yayasan/asosiasi yang dilegalisir (bagi
debitor yayasan/partner), surat pendaftaran perusahaan/bank/perusahaan efek
yang dilegalisir (bagi pemohon kejaksaan/BI/Bapepam);
·
Surat persetujuan
suami/istri (bagi debitor perorangan), Berita Acara RUPS tentangpermohonan
pailit (bagi debitor perseroan terbatas), putusan dewan pengurus (bagi
yayasan/partner);
·
Daftar aset dan
kewajiban (bagi debitor perorangan), neraca keungan terakhir (bagi perseroaan
terbatas/yayasan/partner); dan
·
Nama serta
alamat kreditor dan debitor.
Jika
yang mengajukan kreditor, maka ditambah dengan beberapa kelengkapan, antara
lain surat perjanjian utang dan perincian utang yang tidak dibayar.
Setelah
permohonan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan Niaga, maka pada tanggal hari
itu juga panitera Pengadilan Niaga mendaftarkan permohonan tersebut dan dalam
waktu paling lambat 1 x 24 jam terhitung sejak tanggal pendaftaran, panitera
harus menyampaikan permohonan itu kepada ketua Pengadilan Niaga. Selanjutnya
dalam waktu paling lambat 3 x 24 jam sejak tanggal pendaftaran, Pengadilan
Niaga harus menetapkan hari siding yang penyelenggaraannya paling lambat 20
hari terhitung sejak tangal permohonan didaftarkan dan hanya atas permohonan
debitor berdasarkan alasan yang cukup saja Pengandilan Niaga dapat menunda
penyelenggaraan siding paling lama 25 hari terhitung sejak tanggal permohonan
pendaftaran.[7]
Dalam
Undang-Undang Kepalitan 2004 ada ketentuan yang cukup krusial mengenai proses
permohonan kepalitan di tingkat kepaniteraan Pengadilan Niaga, yakni ketentuan
yang menyatakan bahwa panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan
palit bagi institusi bank, perusahaan efek, lembaga kliring dan penjaminan,
perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pension, dan BUMN yang
bergerak di bidang kepentingan public yang diajukan tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 Ayat (3), (4), dan (5) UUK sebagaimana tersebut diatas.
Ketentuan ini mempunyai filosofi yang cukup baik, mengingat dalam praktiknya
advokat tetap saja mengajukan permohonan pailit walaupun itu berkaitan dengan
lembaga-lembaga tersebut. Pernah terjadi lembaga bank dimohonkan pailit oleh
pihak ketiga, yaitu dalam kasus Bank International Finance Indonesia (IFI) yang
mengajukan permohonan pailit terhadap Bank Danamon. Pada mulanya Bank IFI
mengajukan permohonan pailit terhadap Bank Danamon melalui Bank Indonesia (BI),
akan tetapi BI menolak untuk mengajukan permohonan pailit terhadap Bank Danamon
di Pengadilan Niaga. Kemudia Bank IFI sendiri yang mengajukan permohonan pailit
terhadap Bank Danamon di Pengadilan Niaga. Dalam putusannya, Pengadilan Niaga
menolak permohonan pailit tersebut dengan dasar bahwa sesuai dengan Pasal 1
Ayat (3) UUK 1998 dikatakan bahwa jika debitornya adalah bank, maka yang
berwenang mengajukan pailit adalah Bank Indonesia.
Dari
pengalaman tersebut, kendatipun sudah jelas ketentuannya bahwa lembaga-lembaga
tertentu hanya boleh diajukan pailit oleh lembaga tertentu pula, akan tetapi
tetap saja ada yang mencoba-coba untuk mengajukan permohonan pailit seperti
kasus Bank IFI melawan Bank Danamon tersebut di atas. Maka dari itu, UUK yang
baru dalam Pasal 6 Ayat (3) UUK menegaskan seperti tersebut di atas. Ketentuan
ini memang sangat positif untuk mengantisipasi kejadian-kejadian dalam praktik
seperti tersebut di atas, namun ketentuan dalam UUK ini mengandung kelemahan
dimana tidak diatur lebih jelas mekanisme penolakannya tersebut apakah
dibuatkan berita acara tersendiri ataukah dengan proses lain karena hal
tersebut berkaitan dengan akuntabilitas penolakan panitera dan jangan sampai
kewenangan panitera ini akan disalahgunakan olehnya. Ketentuan yang bersifat powerful
ini serta masuk dalam grey area zone sangat rawan terjadinya
permainan uang.
Namun
perkembangannya, Pasal 6 Ayat (3) UUK tersebut dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dalam
perkara Nomor: 071/PUU-II/2004 dan Nomor: 001-002/PUU-III/2005 yang diucapkan
pada tanggal 17 Mei 2005. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi adalah bahwa
panitera walaupun merupakan jabatan di pengadilan, tetapi kepada jabatan
tersebut seharusnya hanya diberikan tugas teknis administrasi yustisial dalam
rangka memberikan dukungan terhadap fungsi yustisial yang merupakan kewenangan
hakim. Sehubungan dengan itu, Pasal 35 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
menyatakan, “Panitera, panitera pengganti, dan juru sita adalah pejabat
peradilan yang pengangkatan, dan permberhentiannya serta tugas pokoknya diatur
dalam undang-undang”. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2004, ditentukan bahwa tugas pokok panitera adalah “mengenai administrasi
perkara dan hal-hal administrasi lain yang bersifat teknis peradilan” dan tidak
berkaitan dengan fungsi peradilan (rechtsprekende functie), yang merupakan
kewenangan hakim. Menolak pendaftaran suatu permohonan pada hakikatnya termasuk
ranah (domein) yustisial. Menurut Pasal 6 Ayat (1), permohonan
harus ditujukan kepada ketua pengadilan. Apabila panitera diberikan tugas,
wewenang, dan tanggung jawab melaksakan fungsi yustisial, maka hal tersebut
bertentangan dengan hakikat dari kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta
penegakan hukum dan keadilan sebagaimana terkandung dalam Pasal 24 ayat (1) UUD
1945.
Dalam
sistem peradilan lain, ada acara yang hampir mirip dengan ketentuan penolakan
perkara sebelum masuk pada persidangan utama, yaitu di dalam acara hukum
peradilan tata usaha negara. Dalam acara peradilan tata usaha negara, ada
prosedur yang dinamakan dismissal proses. Proses dismissal dalam
peraturan merupakan proses awal dari penelitian terhadap gugatan apakah
termasuk dalam wewenang peraturan sebelum dibawa pada persidangan utam. Hanya
saja proses dismissal ini ditangani oleh hakim dan bukannya oleh
panitera serta dituangkan secara resmi dalam putusan dismissal. Proses dismissal
ini cukup baik sehingga mungkin bisa diadopsi dalam ketentuan kepailitan
dengan modifikasi beberapa hal mengingat ada ciri khusus masing-masing antara
sifat hukum tata usaha negara dengan sifat hukum perdata dalam hal ini hukum
kepailitan.
Setelah
proses pendaftaran selesai, selanjutnya pengadilan memanggil debitor untuk
menghadiri siding. Pengadilan wajib memanggil debitor, dalam hal permohonan
pernyataan pailit diajukan oleh kreditor, jekasaan, Bank Indonesia, Badan
Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan. Ratio legis dari
ketentuan yang mewajibkan untuk memanggil debitor adalah untuk melakukan
konfrontir terhadap apa yang didalilkan oleh pihak kreditor mengenai hubungan
hukumnya dan mengenai jumlah utang piutangnya. Selanjutnya pengadilan dapat
memanggil kreditor dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor
serta terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah
terpenuhi.
Pemanggilan
selambat-lambatnya 7 hari sebelum siding pemeriksaan pertama diselenggarakan.
Adapun putusan Pengadilan Niaga selambat-lambatnya 60 hari terhitung sejak
tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Pembatasan waktu ketentuan
acara dalam Pengadilan Niaga adalah sangat positif karena dengan pembatasan ini
tidak akan terjadi penumpukan perkara sebagaimana di pengadilan negeri. Dari penelitian saya, tidak ada satu
perkara kepailitan pun yang putusannya sampai berlarut-larut melewati jangka
waktu yang ditentukan oleh Undang-undang kepailitan, kalaupun ada yang
melampaui waktu tidak sampai
berlarut-larut dan biasanya yang melampaui waktu tersbut adalah perkara-perkara
kepailitan yang cukup kompleks di mana hakim memerlukan waktu untuk mengkaji
secara lebih komprehensif sehingga putusannya berkualitas. Pola acara seperti
ini sepatutnya diberlakukan juga dalam acara pengadilan negri maupun
pengadilan-pengadilan lainnya, sehingga masalah klasik terjadinya penumpukan
perkara di pengadilan khususnya Mahkamah Agung tidak terjadi lagi.
Proses Persidangan
Setelah
pemanggilan para pihak untuk bersidang pada waktu yang telah ditetapkan, maka
proses persidangan permohonan penetapan pailit dimulai oleh majelis haki Pengadilan
Niaga. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terbukti secara
sumir bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagai mana yang syaratkan
dalam Pasal 1 Ayat (1) UUK terpenuhi,[8]
yakni syarat adnya utang yang telah jatuh tempo dan adanya minimal dua
kreditor. Adapun yang menjadi perdebatan adalah batasan konsep dari pembuktian
sederhana tersebut. Dalam penjelasan pasal 8 Ayat (4) UUK hanya dijelaskna
bahwa yang dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana”
adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh
waktu dan tidak dibayar, sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang
didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi
dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Dalam
praktiknya ada pembuktian yang cukup rumit akan tetapi dianggap sederhana serta
diputuska di Peradilan Niaga, seperti dalam kasus permohonan pailit PT
Alcarindo Prima terhadap PT Pulung Cooper Works (PT PCW) yang berakhir dengan
pailitnya PT PCW tersebut.
Setelah
putusan permohonan pernyataan pailit diucapkan oleh hakim pengadilan niaga,
maka timbullah akibat hukum terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh
debitur.
1.
Akibat Kepailitan terhadap Harta Kekayaan Debitur
Kepailitan menyebabkan segala kekayaan debitur seta segala sesuatu yang
diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan
pernyataan pailit diucapkan, kecuali:
a.
Benda, yang dibutuhkan benar-benar oleh debitur
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis, tempat tidur
dan perlengkapannya, dan bahan makanan untuk debitur dan keluarganya selama 30
hari, yang terdapat di tempat itu;
b.
Segala sesuatu yang didapat debitur dari pekerjaannya
sendiri sebagai penggajian suatu jabatan atau jasa, upah, pensiun, uang tunggu,
tunjangan, selama yang ditentukan oleh hakim pengawas;
c.
Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu
kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang;
Debitur hanya kehilangan haknya dalam lapangan harta kekayaan. Debitur
pailit masih cakap untuk melakukan pernikahan. Cakap untuk melakukan perbuatan
hukum lain sepanjang tidak mnyentuk harta kekayaan, karena harta kekayaan
berada di bawah sitaan umum.
2.
Akibat Kepailitan terhadap Pasangan Suami/Istri Debitur
Pailit
Debitur yang dinyatakan pailit sudah terikat dalam suatu perkawinan yang
sah dan adanya persatuan harta, kepailitannya dapat memberikan akibat hukum
terhadap pasangannya (suami/istri). Dalam hal suami/istri dinyatakan pailit,
maka diantara keduanya dapat mengambil harta bergerak dan tidak bergerak mereka
yang merupakan harta bawaan dari suami/istri yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah ataupun warisan.[9]
3.
Akibat Kepailitan terhadap Seluruh Perikatan yang dibuat
Debitur Pailit
Pasal 25 UU No. 37 tahun 2004
“Semua perikatan Debitor yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit
tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut
menguntungkan harta pailit.” Tuntutan mngenai hak atau kewajiban yang
menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator.
Pasal 26 UU No. 37 tahun 2004
(1) Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus
diajukan oleh atau terhadap Kurator.
(2) Dalam hal tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan atau
diteruskan oleh atau terhadap Debitor Pailit maka apabila tuntutan tersebut
mengakibatkan suatu penghukuman terhadap Debitor Pailit, penghukuman tersebut
tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit.
4.
Akibat Kepailitan terhadap Seluruh Perbuatan Hukum
Debitur yang Dilakukan sebelum Putusan Pernyataan Pailit Diucapkan.
Dalam Pasal 41 dijelaskan bahwa (1)
Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan
segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan
kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan.
(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat
perbuatan hukum dilakukan, Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum
tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum
tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
perbuatan hukum Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau
karena undang-undang.
Kemudian dalam pasal 42 UU No. 37 tahun 2004 dijelaskan batasan yang jelas
mengenai perbuatan hukum debitur :
Apabila perbuatan hukum yang
merugikan Kreditor dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan
pernyataan pailit diucapkan, sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan
Debitor, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dan pihak dengan siapa
perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui
bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (2), dalam hal perbuatan tersebut:
a. merupakan perjanjian dimana kewajiban Debitor jauh melebihi kewajiban
pihak dengan siapa perjanjian tersebut dibuat;
b. merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum
jatuh tempo
dan/atau belum atau tidak dapat ditagih;
c. dilakukan oleh Debitor perorangan, dengan atau untuk kepentingan:
1) suami atau istrinya, anak angkat, atau keluarganya
sampai derajat ketiga;
2) suatu badan hukum dimana Debitor atau pihak sebagaimana dimaksud pada
angka 1) adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak tersebut, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, ikut serta secara langsung atau tidak
langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari 50% (lima puluh
persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.[10]
d. dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum, dengan atau untuk
kepentingan:
1) anggota direksi atau pengurus dari Debitor, suami atau istri, anak
angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota direksi atau pengurus
tersebut;
2) perorangan, baik sendiri atau bersama-sama dengan suami atau istri, anak
angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung
atau tidak langsung dalam kepemilikan pada Debitor lebih dari 50% (lima puluh
persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut;
3) perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai
derajat ketiga, ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam
kepemilikan pada Debitor lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal disetor
atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
e. dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau untuk
kepentingan badan hukum lainnya, apabila:
1) perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut
adalah orang yang sama;
2) suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari
perorangan anggota direksi atau pengurus Debitor yang juga merupakan anggota
direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
3) perorangan anggota direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas
pada Debitor, atau suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat
ketiga, baik sendiri atau bersamasama, ikut serta secara langsung atau tidak
langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50% (lima puluh
persen) dari modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut, atau
sebaliknya;
4) Debitor adalah anggota direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya,
atau sebaliknya;
5) badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama baik bersama, atau
tidak dengan suami atau istrinya, dan atau para anak angkatnya dan keluarganya
sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung atau tidak langsung dalam
kedua badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50% (lima puluh persen) dari
modal yang disetor.[11]
f. dilakukan oleh Debitor yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap
badan hukum lain
dalam satu grup dimana Debitor adalah anggotanya;
g. ketentuan dalam huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f berlaku mutatis
mutandis dalam hal dilakukan oleh Debitor dengan atau untuk kepentingan:
1) anggota pengurus dari suatu badan hukum, suami atau istri, anak angkat
atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota pengurus tersebut;
2) perorangan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan suami atau istri,
anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga yang ikut serta secara
langsung atau tidak langsung dalam pengendalian badan hukum tersebut.
5.
Akibat Kepailitan terhadap Perjanjian Timbal Balik
Pasal 1313, Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau
lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
Bahwa dalam suatu perjanjian itu akan ada dua pihak, dimana satu pihak
adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lain yang berhak atas
prestasi tersebut (kreditor).
Pasal 1314
Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Suatu
persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang satu akan
memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan.
Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan yang mewajibkan tiap
pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Pasal 36
(1) Dalam hal pada saat putusan
pernyataan pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau
baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan Debitor dapat
meminta kepada Kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan
pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh Kurator
dan pihak tersebut.
(2) Dalam hal kesepakatan mengenai
jangka waktu sebagaimana dimaksudpada ayat (1) tidak tercapai, Hakim Pengawas
menetapkan jangka waktu tersebut.
(3) Apabila dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Kurator tidak memberikan
jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut maka perjanjian
berakhir dan pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menuntut ganti rugi
dan akan diperlakukan sebagai kreditor konkuren.
(4) Apabila Kurator menyatakan
kesanggupannya maka Kurator wajib memberi jaminan atas kesanggupan untuk
melaksanakan perjanjian tersebut.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak berlaku terhadap
perjanjian yang mewajibkan Debitor melakukan sendiri perbuatan yang diperjanjikan.
6.
Akibat Kepailitan terhadap berbagai Jenis Perjanjian
a.
Perjanjian Hibah
Dalam pasal 1666 KUH Perdata hibah Penghibahan adalah suatu persetujuan
dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa
dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang
itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahanpenghibahan antara orang-orang
yang masih hidup.
Dalam kaitannya dengan UU Kepailitan Hibah :
Pasal 43, Hibah yang dilakukan Debitor dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan,
apabila Kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan
Debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.
Pasal 44, Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui
atau patut mengetahui bahwa hibah tersebut merugikan Kreditor, apabila hibah
tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum putusan pernyataan
pailit diucapkan.
Maka diatas dapat dimintai pembatalan oleh kurator kepada Pengadilan.
b.
Perjanjian Sewa Menyewa
Pasal 1548, Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang
satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak
yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi
oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang,
baik yang tetap maupun yang bergerak.
Dalam kaitannya dengan kepailitan maka:
Pasal 38 UU Kepailitan
(1) Dalam hal Debitor telah menyewa
suatu benda maka baik Kurator maupun pihak yang menyewakan benda, dapat menghentikan
perjanjian sewa, dengan syarat pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum
berakhirnya perjanjian sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
(2) Dalam hal melakukan penghentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus pula diindahkan pemberitahuan
penghentian menurut perjanjian atau menurut kelaziman dalam jangka waktu paling
singkat 90 (sembilan puluh) hari.
(3) Dalam hal uang sewa telah
dibayar di muka maka perjanjian sewa tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum
berakhirnya jangka waktu yang telah dibayar uang sewa tersebut.
(4) Sejak tanggal putusan pernyataan
pailit diucapkan, uang sewa merupakan utang harta pailit.
c.
perjanjian dengan prestasi berupa penyerahan suatu benda
dagangan
apabila dalam perjanjian timbal balik telah diperjanjikan penyerahan benda
dagangan yang biasa diperdagangkan dengan suatu jangka waktu, kemudian pihak
yang harus menyerahkan benda tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan
dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi hapus dengan diucapkan putusan pailit
tersebut, jika pihak yang berlawanan merasa dirugikan atas putusan tersebut
maka yang bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai kreditor konkuren untuk
mendapatkan ganti rugi.
d.
Perjanjian Kerja antara Debitur Pailit dengan Pekerja
Pasal 39 UU Kepailitan
(1)
Pekerja yang bekerja pada Debitor dapat memutuskan
hubungan kerja, dan sebaliknya Kurator dapat memberhentikannya dengan
mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan
dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat lima) hari sebelumnya.
(2)
Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah
yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan
merupakan utang harta pailit.
(2)
7.
Akibat Kepailitan terhadap Hak Jaminan dan Hak Istimewa
(1)
Hipotek, 1162 Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas
barang tak bergerak yang dijadikan jaminan dalam pelunasan suatu perikatan.
Pasal 1163 Hak itu pada hakikatnya tidak dapat dibagi-bagi, dan diadakan
atas semua barang tak bergerak yang terikat secara keseluruhan, atas
masing-masing dari barang-barang itu, dan atas tiap bagian dari barang-barang
itu. Barang-barang tersebut tetap memikul beban itu meskipun barang-barang
tersebut berpindah tangan kepada siapa pun juga.
(2)
Gadai diatur dalam pasal 1150 s.d. pasal 1160 Bab XX
KuhPerdata uang dilakukan benda-benda bergerak.
(3)
Hak Tanggungan, diatur dalam UU No. 4 tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
(4)
Fidusia, diatur dalam UU No. 42 tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia yang objek jaminannya adalah benda-benda yang tidak dapat
dijaminkan dengan gadai, hipotek, dan hak tanggungan.
Pasal 55
(1) Dengan tetap memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap
Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak
agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak
terjadi kepailitan.
(2) Dalam hal penagihan suatu
piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dan Pasal 137 maka mereka hanya
dapat berbuat demikian setelah dicocokkan penagihannya dan hanya untuk
mengambil pelunasan dari jumlah yang diakui dari penagihan tersebut.
Pasal 136
(1) Piutang dengan syarat tunda
dapat dicocokkan untuk nilainya pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan.
(2) Dalam hal Kurator dan Kreditor
tidak ada kata sepakat mengenai cara pencocokan, piutangnya wajib diterima
dengan syarat untuk seluruh jumlahnya.
Pasal 137
(1) Piutang yang saat penagihannya
belum jelas atau yang memberikan hak untuk memperoleh pembayaran secara
berkala, wajib dicocokkan nilainya pada tanggal putusan pernyataan pailit
diucapkan.
(2) Semua piutang yang dapat ditagih
dalam waktu 1 (satu) tahun setelah tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan,
wajib diperlakukan sebagai piutang yang dapat ditagih pada tanggal tersebut.
(3) Semua piutang yang dapat ditagih
setelah lewat 1 (satu) tahun setelah tanggal putusan pernyataan pailit
diucapkan, wajib dicocokkan untuk nilai yang berlaku 1 (satu) tahun setelah
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
(4) Dalam melakukan perhitungan nilai piutang sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3), wajib diperhatikan :
a. waktu dan cara pembayaran angsuran;
b. keuntungan yang mungkin diperoleh; dan
c. besarnya bunga apabila diperjanjikan.
Dalam eksekusi kreditor
Pasal 56
(1) Hak eksekusi Kreditor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk
menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator,
ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
(2) Penangguhan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tagihan Kreditor yang dijamin dengan uang
tunai dan hak Kreditor untuk memperjumpakan utang.
(3) Selama jangka waktu penangguhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kurator dapat menggunakan harta pailit
berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak atau menjual harta pailit
yang berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan Kurator dalam rangka kelangsungan
usaha Debitor, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi
kepentingan Kreditor atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
8.
Akibat Kepailitan terhadap Gugatan (Tuntutan Hukum)
a.
Dalam hal Debitur Pailit sebagai Penggugat
Selama dalam proses kepailitan berlangsung, debitur (pailit) yang
mengajukan gugatan/tuntutan hukum terhadap tergugat, maka atas permohonan
tergugat perkara harus ditangguhkan untuk memberikan kesempatan terhadap
tergugat untuk memanggil kurator mengambil alih perkara dalam jangka waktu yang
ditentukan oleh hakim.
b.
Dalam hal Debitur Pailit sebagai Tergugat
Suatu gugatan/tuntutan di pengadilan yang diajukan terhadap debitur sebagai
tergugat sejauh bertujuan untuk memperoleh kewajiban dari harta pailit dan
perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkannya putusan
pernyataan pailit.
Pasal 29, Suatu tuntutan hukum di Pengadilan yang diajukan terhadap Debitor
sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya
sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkan putusan pernyataan pailit
terhadap Debitor.
9.
Akibat Kepailitan terhadap Perjumpaan Utang
Pasal 1381
Perikatan hapus:
a.
karena pembayaran;
b.
karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan;
c.
karena pembaruan utang;
d.
karena perjumpaan utang atau kompensasi;
e.
karena percampuran utang;
f.
karena pembebasan utang;
g.
karena musnahnya barang yang terutang;
h.
karena kebatalan atau pembatalan;
i.
karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur
dalam Bab I buku ini;dan
j.
karena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab
sendiri.
j.
Dalam pasal 1425
Jika dua orang saling berutang, maka terjadilah antara mereka suatu
perjumpaan utang yang menghapuskan utang-utang kedua orang tersebut dengan cara
dan dalam hal-hal berikut.
Pasal 1426
Perjumpaan terjadi demi hukum, bahkan tanpa setahu debitur, dan kedua utang
itu saling menghapuskan pada saat utang itu bersama-sama ada, bertimbal balik
untuk jumlah yang sama.
Pasal 1427
Perjumpaan hanya terjadi antara dua utang yang dua-duanya berpokok sejumlah
utang, atau sejumlah barang-barang yang dapat dihabiskan dan jenis yang sama,
dan yang dua-duanya dapat diselesaikan dan ditagih seketika. Bahan makanan,
gandum dan hasil-hasil pertanian yang penyerahannya tidak dibantah dan harganya
dapat ditetapkan menurut catatan harga atau keterangan lain yang biasa dipakai
di Indonesia, dapat diperjumpakan dengan sejumlah uang yang telah diselesaikan
dan seketika dapat ditagih.
Dalam pasal Pasal 51 UU Kepailitan dinyatakan bahwa:
(1) Setiap orang yang mempunyai
utang atau piutang terhadap Debitor Pailit, dapat memohon diadakan perjumpaan
utang, apabila utang atau piutang tersebut diterbitkan sebelum putusan
pernyataan pailit diucapkan, atau akibat perbuatan yang dilakukannya dengan
Debitor Pailit sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
(2) Dalam hal diperlukan, piutang
terhadap Debitor Pailit dihitung menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 136 dan Pasal 137.
10. Akibat Kepailitan
terhadap Pembayaran Utang
Pasal 46 UU Kepailitan
(1) Berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, pembayaran yang telah diterima oleh
pemegang surat pengganti atau surat atas tunjuk yang karena hubungan hukum
dengan pemegang terdahulu wajib menerima pembayaran, pembayaran tersebut tidak
dapat diminta kembali.
(2) Dalam hal pembayaran tidak dapat
diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang yang mendapat keuntungan
sebagai akibat diterbitkannya surat pengganti atau surat atas tunjuk, wajib mengembalikan
kepada harta pailit jumlah uang yang telah dibayar oleh Debitor apabila:
a. dapat dibuktikan bahwa pada waktu penerbitan surat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang bersangkutan mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit
Debitor sudah didaftarkan; atau
b. penerbitan surat tersebut merupakan akibat dari persekongkolan antara Debitor
dan pemegang pertama.
1.
Tanggung Jawab Direksi Atas Terjadinya Pailit PT
Direksi adalah
merupakan salah satu organ perseroan terbatas yang memiliki tugas serta
tanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan tujuan
perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.[12]
Direksi mempunyai fungsi dan peranan yang sangat sentral dalam paradigma
perseroan terbatas. Hal ini karena direksi yang akan menjalankan fungsi
pengurusan dan perwakilan perseroan terbatas.
Dalam hal
perseroan mengalami pailit, maka tidak secara a priori direksi bertanggung
jawab secara pribadi terhadap kondisi perseroan tersebut, namun direksi juga
tidak mesti bebas dari tanggung jawab terhadap kepailitan perseroan terbatas
tersebut. Di sinilah perlu pengkajian secara komperehensif mana yang merupakan
tanggung jawab perseroan dan mana yang merupakan tanggung jawab pribadi dari
direksi itu.
Pada prisipnya
tanggung jawab direksi PT yang perusahaannya mengalami kepailitan adalah sama
dengan tanggung jawab direksi yang perusahaannya tidak sedang mengalami
kepailitan. Ada beberapa kondisi yang merupakan pengaturan lebih lanjut dari
kelembagaan direksi berkaitan dengan kepailitannya perseroan terbatas ini. Pada
prinsipnya direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan
yang di lakukan untuk dan atas nama perseroan berdasarkan wewenang yang
dimilikinya.[13]
Hal ini karena perbuatan direksi dipandang sebagai perbuatan perseroan terbatas
yang merupakan subjek hukum mandiri sehingga perseroanlah yang bertanggung
jawab terhadap perbuatan perseroan itu sendiri yang dalam hal ini di
representasikan oleh direksi. Namun, dalam beberapa hal direksi dapat pula di
mintai pertanggung jawabannya dalam kepailitan perseroan terbatas ini.
Ketentuan normatif
mengenai tanggung jawab direksi dalam hal terjadinya kepailitan perseroan
terbatas adalah apa yang dikonstatir dalam Pasal 104 Ayat (2) UUPT 2007. Pasal
104 Ayat (2) UUPT 2007 menyatakan bahwa dalam hal kepailitan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan
harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam
kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tnggung renteng bertanggung
jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut,
kemudian Pasal 104 Ayat (4) anggota direksi tidak bertanggung jawab atas
kepailitan perseroan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) apabila dapat
membuktikan:[14]
a.
Kepailitan
tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b.
Telah
melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati hatian, dan penuh tanggung
jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan;
c.
Tidak
memiliki benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan
pengurusan yang dilakukan; dan
d.
Telah
mengambil tindakan untuk mencegah
terjadinya kepailitan.
Namun demikian,
bukanlah hal yang mudah untuk membuktikan bahwa direksi telah melakukan
kesalahan dan/atau kelalaian sehingga menyebabkan suatu perseroan mengalami kebangkrutan
yang berujung pada kepailitan.[15]
Fred Tumbuan
memberikan catatan tentang ketentuan Pasal 90 Ayat (2) dan Ayat (3) bahwa
sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 Ayat (1) UUPT bahwa tugas,
wewenang, dan tanggung jawab pengurusan PT untuk kepentingan dan usaha PT
dipercayakan dan dibebankan kepada setiap anggota direksi tanpa terkecuali,
maka baik kelalaian maupun kesalahan seorang atau lebih anggota direksi
berakibat bagi seluruh anggota direksi. Tanggung jawab kolegial ini dimaksud dalam
Pasal 90 Ayat (2) UUPT. Selanjutnya yang harus membuktikan bahwa kepailitan
telah terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi PT adalah pihak yang
mendalilkannya. Apabila pihak yang dimaksud berhasil membuktikan hal tersebut,
maka sesuai ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (2) UUPT seiap anggota
direksi secara hukum secara tenggung renteng bertanggung jawab atas kerugian
akibat kepailitan PT yang tidak dapat ditutupi oleh kekayaan PT, kecuali
anggota direksi yang merasa dirinya tidak salah atau lali dapat membuktikan
bahwa kepailitan PT bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. Sesuai ketentuan
yang dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) UUPT beban pembuktian ada pada anggota
direksi tersebut.[16]
Sementara itu, dalam undang-undang
kepailitan sendiri tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai tanggung jawab
direksi dalam hal perseroan terbatas dipailitkan. Ketiadaan pengaturan ini
sangat disesalkan mengingat kepailitan mayoritas mengenai perseroan terbatas
dan juga mengingat banyak ketentuan normatif yang berkaitan dengan persyaratan
tertentu, seperti untuk dapat mencalonkan dalam suatu jabatan publik di
syaratkan seseorang tidak sedang dinyatakan pailit dan bahkan di dalam jabatan
privat pun demikian pula, seperti untuk dapat menjadi direksi perseroan
terbatas, maka ia tidak boleh pernah dinyatakan pailit.
2.
Tanggung Jawab Komisaris Atas Terjadinya Pailit PT
Lembaga
komisaris Menurut konsep uupt merupakan lembaga perseroan terbatas yang
independen dari pengaruh kepentingan pemegang saham. Komisaris bertugas demi
kepentingan perseroan itu sendiri. Hal ini berbeda dengan konsep yang yang lama
dalam KUHD di mana komisaris adalah mewakili kepentingan pemegang saham. Dalam
pasal 114 ayat (2) UUPT 2007 secara tegas menyebutkan bahwa setiap anggota
dewan komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan tanggung jawab
dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan perseroan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
Fungsi
komisaris sebagaimana di konstatir dalam uupt adalah bertugas mengawasi
kebijakan direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepada
direksi. Dalam anggaran dasar perseroan terbatas juga sering kali menyatakan
hal yang sama mengenai tugas komisaris ini. Undang-undang perseroan terbatas
tidak mengatur lebih lanjut Bagaimana cara melaksanakan pengawasan tersebut.
Dalam kepustakaan dikatakan bahwa pengawasan adalah suatu tindakan yang
dilakukan oleh atasan untuk melakukan penilaian terhadap hasil pekerjaan
bawahan Apakah sesuai dengan suatu pedoman atau kebijaksanaan yang ditetapkan
sebelumnya.[17]
Apabila terjadi penyimpangan perlu dilakukan tindakan untuk memperbaikinya.
Penilaian terhadap bawahan hanya dapat dilakukan apabila tersedia informasi
yang diperlukan. Sumber informasi yang paling sering digunakan oleh komisaris
adalah berbagai jenis laporan berkala atau insidental yang diterima dari
direksi.
Adapun
tanggung jawab hukum dari komisaris adalah bertitik tolak dari ketentuan pasal
114 ayat (2) UUPT 2007 yang menyatakan bahwa setiap anggota dewan komisaris
wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan tanggung jawab dalam menjalankan
tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 108 ayat 1 untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan perseroan. Kepentingan perseroan secara normatif tidak identik dengan
kepentingan pemilik perseroan (pemegang saham), walaupun tidak harus selalu
bertentangan. Perseroan terbatas merupakan badan hukum yang notabennya sebagai
subjek hukum Mandiri yang memiliki harta kekayaan dan kewajiban yang mempunyai
kepentingan yang tidak Selalu identik dengan kepentingan pemiliknya. Apabila
tujuan dari perjalanan adalah untuk memperbesar kekayaannya, maka kepentingan
pemiliknya adalah untuk memperoleh pendapatan melalui pemilikan sahamnya
berdasarkan harga saham dan dividen yang diterimanya. Ketentuan normatif ini
mempunyai arti bahwa komisaris harus mendahulukan kepentingan perusahaan diatas
kepentingan pemilik perusahaan. Dengan demikian, komisaris bukan mewakili
pemegang saham dan tidak harus selalu berpihak kepada mereka.
Ketentuan
normatif ini merupakan benang merah untuk menentukan tanggung jawab komisaris
baik perseroan dalam keadaan sehat maupun dalam hal perseroan sedang mengalami
kepailitan. Fungsi utama komisaris adalah melakukan pengawasan. Melakukan
pengawasan adalah suatu tindakan mengusahakan agar suatu kegiatan dilaksanakan
sesuai dengan yang telah digariskan atau menilai apakah yang telah dilaksanakan
sesuai dengan yang direncanakan. Pengawasan yang baik adalah cara pemantauan
tepat waktu yang dapat mengetahui penyimpangan sehingga kerugian dapat dicegah
atau setidak-tidaknya diminimalisasi. Gagal melakukan pengawasan dapat
menyebabkan kerugian pada pihak lain. Kerugian ini akan terjadi pada perseroan
itu sendiri, kerugian terhadap pemegang saham selaku pemilik perseroan, dan
bahkan kerugian pada pihak luar ketiga.
Kerugian
yang terjadi pada skala yang kecil mungkin tidak sampai mempengaruhi financial
performance (kinerja keuangan), akan tetapi dalam skala besar kerugian-kerugian
ini bisa menjadi penyebab kebangkrutan perusahaan yang bisa berujung pada
kepailitan terhadap kerugian ini Tentunya stakeholder bisa meminta pertanggung
jawaban hukum terhadap komisaris ini, selain juga pada direksi. Pada keadaan
Tertentu bisa juga komisaris bertanggung jawab secara pribadi berdasarkan teori
fiduciary duties dan teori piercing the corporate Veil seperti yang berlaku
pada direksi.
Salah
satu doktrin yang terpenting dalam konteks pengembangan tanggung jawab
komisaris adalah Doktrin fiduciary Duty. Undang-undang perseroan terbatas
mengisyaratkan bahwa fiduciary Dati bukan hanya untuk direksi tetapi juga untuk
organ perseroan yang lain, Yakni, komisaris dan pemegang saham. Prinsip
fiduciary Duty bagi komisaris dapat dilihat dalam pasal 114 ayat (2) UUPT 2007
yang menyatakan bahwa setiap anggota dewan komisaris wajib dengan itikad baik,
hati-hatian, dan tanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan
pemberian nasihat kepada direksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 ayat (1)
untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
Sedangkan pada komisaris tanggung jawabnya selalu bersama-sama secara
keseluruhan atau secara majelis, yang berarti semua anggota komisaris tidak
dapat bertindak sendiri terlepas dari anggota lainnya. Komisaris harus
bertindak bersama-sama.
Ketiadaan
pembebasan tanggung jawab komisaris sebagaimana direksi seperti yang diatur
dalam pasal 85 ayat (2) UUPT 1995 cukup mengherankan dan akan menyulitkan
komisaris yang tidak ikut berbuat tetapi harus ikut bertanggung jawab.
Apabila
komisaris bersalah atau lalai dalam menjalankan fiduciary Duty, Yakni tidak
dengan itikad baik dan tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan perusahaan,
maka komisaris harus bertanggung jawab secara hukum. Apabila komisaris sudah
dianggap bersalah, maka seluruh anggota dewan komisaris ikut bertanggung jawab.
Demikian pula dengan laporan tahuna.
Apabila laporan tahunan ternyata tidak benar, maka direksi bersama
komisaris bertanggung jawab secara renteng. Hal ini ditegaskan dalam pasal 69
ayat (3) UUPT 2007 menyatakan bahwa dalam hal laporan keuangan yang disediakan
ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota direksi dan anggota dewan
komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang
dirugikan.
Sebagaimana
pula dalam ketentuan yang berlaku bagi direksi, maka komisaris berhak bola
untuk melakukan pembuktian terbalik agar ia dibebaskan dari tanggung jawab
secara renteng baik dengan lembaga direksi maupun antar anggota komisaris itu
sendiri. Akan tetapi, pembebasan tanggung jawab komisaris itu hanya terbatas
pada laporan tahun atas kinerja perseroan dan tidak ada hal yang diluar itu.
Hal ini diatur dalam pasal 69 ayat (4) UUPT 2007 yang menyatakan bahwa anggota
direksi dan anggota dewan komisaris dibebaskan dari tanggung jawab sebagai mana
dimaksud pada ayat (3) Apabila bukti bahwa keadaan tersebut bukan karena
kesalahannya. Dengan demikian, bisa saja ada anggota direksi ataupun komisaris
yang tidak bertanggung jawab secara hukum apabila ia dapat membuktikan bahwa
dirinya tidak bersalah atau tidak melakukan kelalaian.
Selain
melakukan pengawasan, komisaris berwenang pula untuk memberikan nasihat kepada
direksi. Seandainya pada kondisi tertentu memberikan nasihat kepada direksi,
misalnya untuk tidak melakukan diversifikasi usaha yang keluar dari bussines
core dari perseroan, akan tetapi direksi tetap melakukan hal tersebut, maka
direksi lah yang bertanggung jawab terhadap tindakannya tersebut.
Kepailitan
atau kebangkrutan adalah suatu keadaan keuangan yang memburuk untuk suatu
perusahaan yang dapat membawa akibat pada rendahnya kinerja untuk jangka waktu
tertentu yang berkelanjutan , yang pada akhirnya menjadikan perusahaan tersebut
kehilangan sumber daya dan dana yang dimiliki. Pailit berhubungan dengan
berhentinya pembayaran dari seseorang (debitur) atas utang-utangnya yang telah
jatuh tempo, dan berhentinya pembayaran tersebut harus disertai dengan suatu
tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh
debitur sendiri maupun permintaan pihak ketiga. Keadaan berhenti membayar
hutang dapat terjadi karena tidak mampu membayar atau tidak mau membayar. Dengan
adanya pailit ini maka akan mencapai tujuan yang salah satunya sesuai dengan asas pari passu (membagi secara
proporsional harta kekayaan debitur kepada kreditur konkuren atau unsecured creditors berdasarkan
perimbangan besarnya tagihan masing-masing kreditur tersebut). Dalam keadaan
“pailit” ini seorang debitur telah berhenti membayar utang-utangnya, dan atas
permintaan para krediturnya atau permintaan sendiri oleh kurator atau Balai
Harta Peninggalan selaku pengampu dalam usaha kepailitan tersebut untuk
dimanfaatkan oleh semua kreditur. Dengan adanya pailit mengakibatkan debitur
demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang
dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan. Pengajuan
permohonan pailit juga harus diajukan oleh seorang advokat , kecuali permohonan
yang diajukan oleh kejaksan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan
Menteri Keuangan. Dalam peraturannya telah tertuang didalam UU No. 37 tahun
2004, Undang-Undang Kepailitan, dan sebagian pasal didalam KUH Perdata.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa
dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dalam segi penataan
makalah, materi, maupun dari keilmuan penulis.
Kami mengharapkan saran dan masukannya agar dapat memperbaiki makalah
ini dengan sebagaimana mestinya.
-
Jono S.H., Hukum Kepailitan, 2013. Sinar Grafika
Jakarta. Cetakan Ketiga.
-
Farida Hasyim, Hukum Dagang, 2014. Sinar Grafika
Jakarta. Cetakan Kelima.
-
Remy, Prof. Dr. Sutan. 2016. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan Memahami UU No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran. Jakarta :
PRENADAMEDIA GROUP
-
Nugroho, Dr. Susanti Adi. 2018. Hukum Kepailitan di Indonesia dalam Teori dan Praktek Serta Penerapan
Hukumnya. Jakarta : KENCANA
[1] Viktor M. Situmorang dan
Hendi Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Indonesia, Rineke Cipta,
Jakarta, 1993, hlm. 18.
[2] H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian
dan Pokok-pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm. 28.
[3] R. Subekti, Pokok-pokok
Hukum Dagang, Intermasa, Jakarta, 1995. Hlm 28.
[4] Retnowulan, Kapita
Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, Seri Varia Yustisia, Jakarta, 1996.
Hlm. 85.
[5] Munir Fuady, Hukum
Pailit, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 8.
[6] Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat
(2) UUK.
[7] pasal 6 UUK.
[8] Pasal 6 Ayat (3) UUK.
[9] Jono S.H., Hukum
Kepailitan, 2013. Sinar Grafika Jakarta. Cetakan Ketiga. Hlm. 108
[10] Jono S.H., Hukum
Kepailitan, 2013. Sinar Grafika Jakarta. Cetakan Ketiga. Hlm. 109-110.
[11] Jono S.H., Hukum
Kepailitan, 2013. Sinar Grafika Jakarta. Cetakan Ketiga. Hlm. 111
[12] Pasal 1 ayat (4) UUPT.
[13] M. Hadi Shubhan, Hukum
Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, hal. 232.
[14] Pasal 104 Ayat (2) UUPT
2007
[15] M. Hadi Shubhan, Hukum
Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, hal. 233.
[16] Fred B.G. Tumbuan, Op.
Cit, hal. 295-296.
[17] Moenaf H. Regar (2000), Dewan
Komisaris Peranannya Sebagai Organ Perseroan, Bumu Aksara, Jakarta, hal.
64.