Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang-orang yang
tidak sadar bahwa setiap harinya mereka melakukan perikatan. Hal-hal seperti
membeli suatu barang atau menggunakan jasa angkutan umum, perjanjian
sewa-menyewa hal-hal tersebut merupakan suatu perikatan. Perikatan di Indonesia
diatur pada buku ke III KUHPerdata(BW). Dalam hukum perdata banyak sekali hal
yang dapat menjadi cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan
adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau
lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban
atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat
hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang
menimbulkan perikatan.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum
dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu
perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat
mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan
bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah
yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak
harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk
tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu
adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar
undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak
berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah
disepakati dalam perjanjian.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Perjanjian Tijarah
A.
Akad Jual Beli
a.
Pengertian
Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan
al-bai’ yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu
yang lain.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi
jual beli yang dikemukakan para ulama fiqh, sekalipun subtansi dan tujuan masing-masing
definisi adalah sama.
Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan :
مبا دلة مال على وجه مخصوص
Saling menukar harta
dengan harta melalui cara tertentu.
Dalam definisi ini
terkandung pengertian bahwa cara yang khusus yang dimaksudkan ulama Hanafiyah
adalah melalui ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qobul (pernyataan
menjual dari penjual), atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan
harga dari penjual dan pembeli. Disaping itu, harta yang diperjualbelikan harus
bermanfaat bagi manusia, sehingga bangkai, minuman keras, dan darah, tidak
termasuk sesuatu yang boleh diperjualbelikan, karena benda-benda itu tidak
bermanfaat bagi muslim, apabila jenis-jenis barang seperti itu tetap
diperjualbelikan, menurut ulama Hanafiyah, jual belinya tidak sah.
Definisi lain
dikemukakan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Menurut mereka, jual
beli adalah saling menukar harta dalam bentuk pemindahan milikdan pemilikan.
Dalam hal ini mereka melakukan penekanan kepada kata “milik” dan “pemilikan”
karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki, seperti
sewa menyewa (Ijarah).
Pada masyarakat
primitif jual beli dilangsungkan dengan cara saling menukarkan harta dengan
harta, tidak dengan uang sebagai mana berlaku di zaman ini, karena masyarakat
primitif belum mengenal adanya alat tukar seperti uang. Misalnya, satu ikat
kayu api ditukar dengan satu liter beras, atau satu tangkai kurma ditukar
dengan satu tandan pisang. Untuk melihat apakah barang yang saling ditukaritu
sebanding, tergantung kepada masyarakat primitif itu. Jual beli ini dalam
istilah fiqh disebut dengan al-muqoyadhah.
Setelah manusia
mengenal nilai tukar (uang), jual beli al-muqoyadhah mulai kehilangan tempat.
Akan tetapi, dalam perkembangan dunia modern dalam hubungan dagang antar
negara, menurut Fathi ad-Duraini, guru besar fiqh di Universitas Damaskus,
Syria, bentuk jual beli inilah yang berlaku, sekalipun untuk menentukan jumlah
barang yang ditukar tetap perhitungkan dengan nilai mata uang tertentu. Akan
tetapi, esensi al-muqoyadhah masih dipakai. Misalnya, Indonesia membeli spare
part kendaraan ke Jepang, maka barang yang diimpor itu dibayar dengan minyak
bumi dalam jumlah tertentu sesuai dengan nilai spare part yang diimpor
Indonesia itu.
Di zaman Rasulullah
SAW nilai tukar itu sudah ada, yaitu dinar (yang terbuat dari emas) dan dirham
(yang terbuat dari perak). Apabila dinar dizaman Rasulullah dikurskan dengan
nilai mata uang yang sekarang, menurut Syauki Ismail Syahatah, ekonomi Islam
dari Mesir, bernilai 4,45 gram emas muni. Adapun dirham dizaman Rasulullah SAW
juga diukur dengan dinar, yaitu satu dinar, menurut jumhur ulama, bernilai tiga
dirham. Dengan demikian, apabila dinar 4,45 (dibulatkan menjadi 4,5 gram emas),
maka satu dirham itu adalah 1,5 gram emas.[1]
B.
Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli sebagai
sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat
dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
C.
Hukum Jual Beli
Para ulama fiqh
mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli itu adalah mubah (boleh). Akan
tetapi, pada situasi-situasi tertentu, menurut Imam asy-syatibi (w.790 H),
pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib. Imam asy-syatibi
memberi contoh ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang sehingga stok
hilang dari pasar dan harga melonjak naik). Apabila seseorang melakukan ihtikar
dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu,
maka, menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual
barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga.
Dalam hal ini,
menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan
pemerintah. Hal ini sesuai dengan prinsip asy-syatibi bahwa yang mubah itu
apabila ditinggalkan secara total, maka hukumnya boleh menjadi wajib. Apabila
sekelompok pedagang besar melakukan baikot tidak mau menjual beras lagi, pihak
pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan pedagang ini wajib
melaksanakannya. Demikian pula dalam komoditi-komoditi lainnya.
D.
Rukun dan Syarat Jual
Beli
Jual beli mempunyai
rukun dana syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli tersebut dapat
dikatakan sah oleh syara’.
Jumhur ulama
menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
a.
Ada orang yang berakad
atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli).
b.
Ada shighat (lafal
ijab dan qobul).
c.
Ada barang yang
dibeli.
d.
Ada nilai tukar
pengganti barang.
Menurut ulama
Hanafiyah,orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang
termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat jual
beli sesuai rukun jual beli yang dikemukakan Jumhur ulama, yaitu:
a)
Syarat orang yang
berakad : berakal, orang yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda.
b)
Syarat yang terkait
dengan Ijab Qobul
Para ulama fiqh
sepakat menyatakan bahwa unsur utama dari jual beli adalah kerelaan kedua belah
pihak. Kerelaan kedua pihak dapat dilihat dari ijab dan qobul yang
dilangsungkan. Apabila ijab dan qobul telah diucapkan dalam akad jual beli,
maka pemilikan barang atau uang telah berpindah tangan dari pemilik semula.
Barang yang dibeli berpindahtangan menjadi milik pembeli, dan nilai tukar/uang
berpindahtangan menjadi milik penjual.
Para ulama fiqh
mengemukakan syarat ijab dan qobul itu adalah sebagi berikut :
a.
Orang yang
mengucapkannya telah baligh dan berakal.
b.
Qobul sesuai dengan
Ijab.
c.
Ijab dan Qobul
dilakukan dalam satu majelis.[2]
E. Syarat Barang Yang
Diperjualbelikan
a)
Barang itu ada, atau
tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk
mengadakan barang itu.
b)
Dapat dimanfaatkan dan
bermanfaat bagi manusia.
c)
Milik seseorang.
d)
Boleh diserahkan saat
akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi
berlangsung.
F. Syarat-Syarat Nilai
Tukar (harga barang)
Termasuk unsur penting
dalam jual beli adalah nilai tukar dari barang yang dijual (untuk zaman
sekarang adalah uang). Terkait dengan masalah nilai tukar ini, para ulama fiqh
membedakan ats-tsaman dengan as-sir. Menurut mereka ats,tsaman adalah modal
barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen.
Dengan demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga barang antar pedagang
dan harga barang antara pedagang dengan konsumen.
G. Bentuk-Bentuk Jual
Beli
1. Jual beli yang Shahih
Dikatakan jual beli
yang Shahih apabila jual beli itu disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat
yangditentukan : bukan milik orang lain, tidak tergantung pada hak khiyar lagi.
Jual beli seperti ini dikatakan jual beli shahih.
2. Jual beli yang Batal
Jual beli yang batal
apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu
pada dasar dan sifatnya tidak disyaria’atkan, seperti jual beli yang dilakukan
anak-anak, orang gila, atau barang yang dijual itu barang-barang yang
diharamkan syara’, seperti bangkai, darah, babi, dan khamar.[3]
2. Akad Syirkah
A. Pengertian
Secara etimologi, asy-syirkah berarti
percampuran, yaitu percampuran antara sesuatu dengan lainnya, sehingga sulit
dibedakan. Asy-syirkah termasuk salah satu bentuk kerjasama dagang dengan rukun
dan syarat tertentu, yang dalam hukum positif disebut dengan perserikatan
dagang.
Secara terminologi, ada beberapa definisi
asy-syirkah yang dikemukakan oleh para ulama fiqh.
Pertama, dikemukakan oleh Ulama Malikiyah :
اذ ن في التصر لهما مع انفسهما في مال لهما
Suatu keizinan untuk
bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap
harta mereka.
Kedua, definisi yang
dikemukakan oleh Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah :
ثبوت الحق في شيء لاثنين فاكثر على جهة الشيوع
Hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada
sesuatu yang mereka sepakati.
Ketiga, definisi yang
dikemukakan olrh Ulama Hanadiyah :
عقد بين المتشار كين فى راس المال والربح
Akad yang dilakukan
oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.
Pada dasarnya
definisi-definisi yang dikemukakan para ulama fiqh diatas hanya berbeda secara
redaksional, sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya adalah sama, yaitu
ikatan kerjasama yang dilakuka dua orang atau lebih dalam perdagangan. Dan
adanya akad asy-syirkah yang disepakati kedua belah pihak, semua pihak yang
mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta serikat itu, dan berhak
mendapatkan keuntungan sesuai dengan persetujuan yang disepakati.
B.
Dasar Hukum
Asy-Syirkah
Akad asy-syirkah
dibolehkan, menurut para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman Allah dalam
Surat An-Nisa : 12 dan Shad : 24.
Disamping ayat
tersebut, dijumpai pula sabda Rasulullah SAW yang membolehkan akad asy-syirkah.
Dalam sebuah hadist mengatakan :[4]
يدالله على الشر يكين ما لم يتخاونا
Allah akan ikut
membantu doa untuk orang yang berserikat, selama diantara mereka tidak saling
menghianati. {HR. Al-Bukhori}
C.
Macam-Macam
Asy-Syirkah
1.
Syirkah Al-Amlak
Menurut ulama fiqh,
adalah dua orang atau lebih memiliki harta bersama tanpa melalui atau didahului
oleh akad asy-syirkah. Terbagi menjadi dua bentuk :
- syirkah ikhtiyar :
yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat,
seperti dua orang bersepakat membeli suatu barang atau mereka menerima harta
hibah, wasiat, atau wakaf itu dan menjadi milik mereka secara berserikat. Dalam
kasus seperti ini, harta yang dibeli bersama atau yang dihibahkan,diwakafakan,
atau yang diawasiatkan orang itu menjadi harta serikat bagi mereka berdua.
- syirkah jabar :
yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih, tanpa
kehendak dari mereka, seperti harta warisan yang mereka terima dari seseorang
yang wafat. Harta warisan itu menjadi milik bersama orang-orang yang menerima
warisan itu.
Dalam kedua bentuk
syirkah al-amlak, menurut para pakar fiqh, status harta masing-masing orang
yang berserikat, sesuai dengan hak masing-masing, bersifat berdiri sendiri
secara hukum. Apabila masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta
serikat itu, harus ada izin dari mitranya, karena seseorang tidak memiliki
kekuasaan atas bagian harta orang yang menjadi mitra serikatnya. Hukum yang
terkait dengan syirkah al-amlak ini dibahas oleh para ulama fiqh secara luas
dalam bab wasiat, waris, hibah, dan wakaf.[5]
2. Syirkah Al-Uqud
Akad yang disepakati
dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan
keuntungannya. Terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh tentang
bentuk-bentuk serikat yang termasuk kedalam syirkah al-uqud :
a.
Ulama Hanabilah
membaginya kepada lima bentuk, yaitu :
- syirkah al-inan (penggabungan harta atau modal dua orang atau
lebih yang tidak slalu sama jumlahnya).
- syirkah
al-mufawadhah (perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk kerjasama yang mereka lakukan baik kualitas
dan kuantitasnya harus sama dan keuntungannta dibagi rata).
- syirkah al-abdan
(perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama).
- syirkah al-wujuh
(perserikatan tanpa modal).
- syirkah
al-mudharabah (bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seseorang yang
punya kepakaran dagang, dan keuntungan perdagangan dari modal itu dibagi bersama).
b.
Ulama kalangan
Malikiyah dan Syafi’iyah, membagi bentuk-bentuk syirkah al-uqud itu kepada
empat bentuk, yaitu :
- syirkah
al-inan
- syirkah
al-mufawadhah
- syirkah al-abdan
- syirkah
al-wujuh
Sedangkan syirkah
al-mudharabah, yang diekmukakan oleh ulama Hanabilah, mereka tolak sebagai
syirkah.
a)
Ulama Hanafiyah
membagi syirkah kepada tiga bentuk, yaiitu :
- syirkah
al-anwal (perserikatan dalam modal / harta)
- syirkah al-’amal
(perserikatan dalam kerja)
- syirkah al-wujuh
(perserikatan tanpa modal)
D. Rukun dan Syarat Asy-syirkah
Ulama Hanafiyah
mengemukakan bahwa rukun asy-syirkah, baik syirkah al-amlak maupun syirkah
al-’uqud dengan segala bentuknya adalah ijab (ungkapan penawaran melakukan
perserikatan) dan qabul (ungkapan penerimaan perserikatan). Menurut Jumhur
ulama, rukun perserikatan itu ada tiga yaitu :
- shigat (lafal) ijab
dan qabul
- kedua orang yang
bertekad
- dan obyek akad.
Syarat-syarat umum
asy-syirkah :
Perserikatan dalam
kedua bentuk diatas, yaitu syirkah al-amlak dan syirkah al-uqud mempunyai
syarat-syarat umum yaitu :
1. Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh
diwakilkan.
2. Persentase
pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat dijelaskan
ketika berlangsungnya akad.
3. Keuntungan itu diambilkan
dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain.
Syarat-syarat
umum ini berlaku bagi syirkah al-inan
dan syirkah al-wujuh. Sedangkan syarat khusus untuk masing-masing syirkah
al-amlak dibahas dalam bab wasiat, hibah, wakaf, dan waris.[6]
3. Akad Ijarah
A.
Pengertian
Dalam bahasa arab
al-ijarah berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-Ijarah merupakan salah
satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti
sewa-menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.
Secara terminologi,
ada beberapa definisi al-ijarah yang dikemukakan para ulama fiqh :
1)
Ulama Hanafiyah
mendefinisikannya dengan :
Transaksi terhadap
suatu manfaat dengan imbalan.
2)
Ulama Syafi’iyah
mendefinisikannya dengan :
Transaksi terhadap
suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan
dengan imbalan tertentu.
3)
Ulama Malikiyah
mendefinisikannya dengan :
Pemilikan manfaat
sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.
Berdasarkan beberapa
definisi diatas, maka akad ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad
al-ijarah juga tidak berlaku pada pepohonan untuk diambil buahnya, karena buah
itu sendiri adalah materi, sedangkan akad al-ijarah itu hanya ditujukan kepada
manfaat. Demikian juga halnya dengan kambing, tidak boleh dijadikan sebagai
obyek al-ijarah untuk diambil susu atau bulunya, karena susu dan bulu kambing
termasuk materi. Jumhur ulama fiqh juga tidak membolehkan air mani hewan ternak
pejantan, seperti unta, sapi, kuda, dan kerbau, karena yang dimaksudkan dengan
hal itu adalah mendapatkan keturunan hewan, dan mani itu sendiri merupakan
materi.
B. Rukun al-Ijarah
Menurut ulama
Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan
qobul persetujuan terhadap sewa menyewa. Akan tetapi, Jumhur ulama mengatakan
bahwa rukun al-ijarah itu ada empat, yaitu :
a)
Orang yang berakad
b)
Sewa / imbalan
c)
Manfaat dan
d)
shighat (ijab dan
qobul)
Ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat termasuk
syarat-syarat ijarah, bukan rukunnya.
C. Syarat-Syarat Ijarah
a.
Untuk kedua orang yang
berakad, menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, disyaratkan telah tablig dan
berakal.
b.
Kedua belah pihak yang
berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad al-ijarah.
c.
Manfaat yang menjadi
obyek al-ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak muncul
perselisisihan dikemudian hari.
d.
Obyek al-ijarah itu
boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
e.
Obyek al-ijarah itu
sesuatu yang dihalalkan oleh syara’.[7]
f.
Yang disewakan itu
bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
g.
Obyek al-ijarah
merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti rumah, mobil, dan hewan
tunggangan.
h.
Upah / sewa dalam akad
ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.
i.
Ulama Hanafiyah
mengatakan upah/sewa itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa.
D. Sifat Akad al-Ijarah
Ulama Hanafiyah
berpendirian bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan
secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad,
seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum. Akan
tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat,
kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Akibat perbedaan
pendapat ini terlihat dalam kasus apabila salah seorang meninggal dunia.
Menurut ulama Hanafiyah, apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia,
maka akad ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi,
jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk
harta. Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan
akad ijarah.
E. Macam-Macam Ijarah
a.
Ijarah bersifat
pekerjaan (jasa) ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan
suatu pekerjaan. Menurut para ulama hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu
jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan tukang sepatu.
b.
Ijarah bersifat
manfaat, misalnya sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan perhiasan.
Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk
dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan obyek
sewa-menyewa.
F. Berakhirnya Akad
Ijarah
1)
Obyek hilang atau
musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang dijahitkan hilang.
2)
Tenggang waktu yang
disepakati dalam akad ijarah telah berakhir.
3)
Menurut ulama
Hanfiyah, wafatnya seseorang yang berakad, karena akad ijarah menurut mereka
tidak boleh diwariskan.
4)
Menurut ulama
Hanafiyah, apabila ada suatu uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang
disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak maka akad ijarah
batal.[8]
2.
Perjanjian Tabarru’
a)
Qardh
Pengertian
Qardh secara etimologi berarti memotong, sedangkan secara
terminologis, qardh adalah meminjam harta kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan.[9]
Dalam reaksi lain, qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat
ditagih kembali atau dengan kata lain meminjam dengan tanpa mengharap imbalan.
Qardh merupakan akad tabaru (akad non profit) bukan akad profit atau komersial. Menurutpasal 19 ayat (1) huruf e UU No.21 tahun 2008,
yang dimaksud dengan qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikkan dana yang diterimanya pada waktu
yang disepakati. Sedangkan menurut pasal 3 Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/19/PBI/2007, qard adalah transaksi pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.[10]
DASAR HUKUM QARDH
Firman Allah swt:
Ø (Al Baqarah (2) : 280)
وَإِنْ
كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ
Dan
jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan.
Ø (Al Baqarah (2) : 282)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ
أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ
Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.[11]
b) Rahn
Secara etimologis, rahn mempunyai
arti tetap dan kekal. Sedangkan secara terminologis, rahn adalah menahan segala
salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas utang/pinjaman
yang diperoleh dari kantor pegadaian syariah. Menurut fatwa DSN, Rahn adalah pinjaman
dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang. Menurut Prof. Dr. Rahmat Syafei, sebagaimana dikutip oleh Prof.
Dr. Zainuddin Ali, rahn adalah suatu jenis perjanian untuk menahan suatu barang
sebagai tanggungan utang.[12]
Dasar Hukum Rahn
Firman Allah swt:
Ø (QS. Al-Baqarah (2):283)
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ
مَقْبُوضَةٌ ۖ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)
c.
Hiwalah
Pengertian
Secara etimologis,
hawalah atau hiwalah mempunyai arti
al-intiqal (memindahkan) dan al-taahwil (mengoperkan). Adapun secara terminologis hawaalah
adalah pemindahan dari tanggung jawab muhlil, menjadi tanggung jawab muhal
“alaaih” Menurut pasal 19 ayat (1) g UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah,
yang dimaksud dengan akad hawalah adalah akad pengalihan utang dari pihak yang
berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung atau membayar.[13]
Jenis-jenis hawalah atau hiwalah:
Surat Edaran
Bank Indonesia (SEBI) nomor 10/14/Dpbstanggal 17 maret 2008, membedakan dua macam jenis/bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar akad hawalah,
yaitu:
a.
Hawalah Muthalaqah,
yaitu transaksi
yang berfungsi untuk pengalihan utang para pihak yang menimbulkan adanya akad dana keluar (cash out) bank, dan
b.
Hawalah Muqayyadah,
yaitu transaksi
yang berfungsi untuk melakukan self-out utang piutang diantara tiga pihak
yang memiliki hubungan muamlat (utang piutang) melalui transaksi pengalihan utang, serta tidak menimbulkan adanya dana keluar (cash-out).[14]
Manfaat Hawalah atau Hiwalah:
Akad hawalah atau hiwalah banyak sekali memberikan manfaat dan keuntungaan, diantaranya:
a.
Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
b.
Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi
yang membutuhkan.
c.
Dapat menjadi salah satu
fee based income atau sumber pendaapatan non pembiayaan bagi bank syariah.
Adapun resiko yang haarus diwaspadai dari kontrak
hawalah atau hiwaalah adalah adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice palsu atau wanprestsi (ingkar janji)
untuk memenuhi kewajiban nasabah ke bank.[15]
d.
Kafalah
Pengertian
Al-kafalah
berasal dari kata كفل
ــُـ (menanggung) merupakan
jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab
seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai
penjamin. Pada dasarnya akad kafalah merupakan bentuk pertanggungan yang biasa
dijalankan oleh perusahaan.
Dasar Hukum
Untuk akad kafalah ini dapat dilihat di dalam al-Qur'an, al-Sunnah dan
kesepakatan para ulama, sebagai berikut
1. Al-QUR’AN
Allah
SWT. berfirman: "Penyeru-penyeru itu berkata "Kami
kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh
bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya."( surat
Yusuf (12): 72)
2. AS-SUNNAH
Jabir
r.a. menceritakan: “Seorang laki-laki telah meninggal dunia dan kami telah
memandikannya dengan bersih kemudian kami kafani, lalu kami bawa kepada
Rasulullah SAW. Kami bertanya kepada
beliau: "Apakah Rasulullah akan menshalatkannnya?". Rasulullah
bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjuwab: "Ya, dua
dinar." Rasulullah kemudian pergi dari situ. Berkatalah Abu Qatadah :
"Dua dinar itu tanggung jawabku." Karenanya, Rasulullah SAW.
bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menunaikan hak orang yang memberi
hutang dan si mayit akan terlepas dari tanggung jawabnya." Rasulullah lalu
menshalatkannya. Pada keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu Qatadah
tentang dua dinar itu dan dijelaskan, bahwa ia telah melunasinya. Rasulullah
SAW. bersabda: "Sekarang kulitnya telah sejuk." (H.R. Bukhari).
Rasulullah SAW.
bersabda: "Hutang itu harus ditunaikan, dan orang yang menanggung itu harus
membayarnya." (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi dan dishakhihkan oleh Ibnu
Hibban).
IJMA’ ULAMA
Para ulama madzhab
membolehkan akad kafalah ini. Orang-orang Islam pada masa Nubuwwah
mempraktekkan hal ini bahkan sampai saat ini, tanpa ada sanggahan dari seorang
ulama-pun. Kebolehan akad kafalah dalam Islam juga didasarkan pada kebutuhkan
manusia dan sekaligus untuk menegaskan madharat bagi orang-orang yang berhutang
.
a. Rukun Dan
Syarat Kafalah
Adapun rukun kafalah
sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lileratur fikih terdiri atas:
1. Pihak penjamin/penanggung (kafil), dengan syarat baligh
(dewasa), berakal sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan
hartanya, dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2. Pihak yang berhutang (makful 'anhu 'ashil), dengan syarat sanggup
menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.|
3. Pihak yang berpiutang (makful lahu), dengan syarat diketahui
identitasnya, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal
sehat.
4. Obyek jaminan (makful bih), merupakan tanggungan
pihak/orang yang berhutang (ashil), baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan,
bisa dilaksanakan oleh pejamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang
tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas nilai,
jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari'ah (diharamkan).
e.
Wadi’ah
Pengertian
Wadiah adalah penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercayai untuk menjaga dana tersebut.
Dalam redaksi lain,
wadiah adalah akad
yang intinya minta pertolongan kepada seseorang dalam memelihara harta penitip.[16]
Dasar Hukum
Firman Allah swt:
Ø (QS. An-Nisa’ (4):29)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Wahai
orang-orang yang beriman, janagnlah kalian memakan harta-harta kalian di antara
kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan yang kalian saling
ridha.
Ø (QS. Al-Baqarah (2):283)
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ
أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ
“Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya.”[17]
Ø KetentuanWadiah
Ketentuan wadiah terdapat dalam
fatwa DSN tentang tabungan sebagai berikut: yaitu fatwa DSN Nomor 2/DSN –MUI/IVV/2000, sebagaiberikut:
Pertama,
tabungan ada dua jenis:
a.
Tabungan
yang tidak dibenarkan secara syariah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga.
f.
Wakalah
Pengertian
Secara etimologis wakalah mempunyai beberapa
arti, yaitu penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat. Secara etimologis,
wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan. Pada akad itu seseorang menunjuk
seorang lain sebagai wakilnya dalam bertindak. Dalam redaksi lain, wakalah
adalah pelimpahan kekuasaan seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang
diwakilkan. Wakalah adalah akad dari pemberian kuasa (wakil) untuk melaksanakan
suatu tugas (taukil) atas nama pemberi kuasa.[19]
Dasar Hukum
Al-Qur’an
Dalil dari Al-Qur’an
terdapat dalam QS. Al-Kahfi (18): 19:
Artinya : Dan demikianlah Kami bangunkan mereka
agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang
di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?) Mereka menjawab
Kita berada (disini) sehari atau setengah hari Berkata (yang lain lagi) Tuhan
kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah
seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan
hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa
makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah
sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.
Juga terdapat dalam QS. An-Nisa (4): 35:
Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Juga terdapat dalam Firman Allah dalam QS.
Yusuf (12): 55: tentang ucapan Yusuf
kepada raja :
Artinya : ;Dia (Yusuf)
berkata, Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.
Juga dalam Firman Allah QS. Al-Baqarah (2):
283:
Artinya : "...... jika sebagian
kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya
...."[20]
Hadis-Hadis
Nabi
Rasulullah SAW
mewakilkan kepada Abu Rafi dan seorang Anshar untuk mengawinkan (kabul
perkawinan Nabi dengan) Maimumah ra.; (HR. Malik dalam Al Muwaththa)
Seorang laki laki daiang
kepada Nabi SAW untuk menagih utang kepada beliau dergan cara kasar, sehingga
para sahabat berniat unuk 'menanganinya' Beliau bersabda.; biarkan ia, sebab
pemilk hak berhak untuk berbicara; lalu sabdanya. berikanlah (bayarkanlah)
kepada orang ini unta umur setahun seperti untanya (yang diutang itu): Mereka
merjawab, ;kami tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua; Rasulullah
kemulian bersabda ;Berikaniah kepadanya, Sesungguhnya orang yang paling baik di
antara kalian adalah orarg yang paling baik di dalam membayar.; (HR. Bukhari
dari Abu Hurairah)[21]
Ijma
Ulama telah sepakat tentang bolehnya akad
wakalah, bahkan mereka memandangnya sebagai sunah karena hal itu termasuk jenis
taaw'wun (tolong nolong) atas dasar kebaikan dan takwa.
Pembagian
Wakalah
Ditilik dari ruang lingkupnya, bentuk-bentuk
akad wakalah dapat dibedakan antara lain:
a. Wakalah Muthlaqah Wakalah muthlaqah
yaitu perwakilan yang tidak terikat
syarat tertentu
b. Wakalah Muqayyadah Wakalah muqayyadah
yaitu
perwakilan yang terikat oleh syarat-syarat yang telah ditentukan dan telah disepakati
bersama.
Ketentuan Wakalah
Ketentuan tentang Wakalah:
a. Pernyataan ijab dan
kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad).
b. Wakalah dengan
imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Rukun dan
Syarat Wakalah
Syarat syarat muwakkil (yang mewakilkan).
1) Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap
sesuatu yang diwakilkan.
2) Orang mukallaf atau anak mumayiz dalam
batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti
mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.
Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
1) Cakap hukum.
2) Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan
kepadanya
3) Wakil adalah orang yang diberi amanat.[22]
Hal-Hal yang diwakilkan
1) Diketahui dengan jelas orang yang mewakili
2) Tidak bertentangan dengan syariah islam
3) Dapat diwakilkan menurut Syariah Islam.[23]
Ariyah
Pengertian
Menurut
etimologi bahasa Arab, ariyah berarti sesuatu yang dipinjam, perg. kembali.
atau beredar. Sedangkan menurut terminologi fiqh, ada beberapa definisi yang
dikemukakan para ulama fiqh.
Pertama,
definisi yang dikemukakan ulama Malikiyah dan as-Syarakhsi (w.483 H/1090 M),
tokoh fiqh Hanafi. ariyah adalah pemilikan manfaat sesuatu tanpa ganti rugi.
Kedua, definisi
yang dikemukakan ula Syafi'iyah dan Hanabilah, Ariyah yaitu kebolehan
memanfaatkan barang orang lain tanpa
ganti rugi.
Diantara kedua
definisi diatas terdapat perbedaan kandugan yang membawa akibat hukum yang
berbeda pula. Misalnya, Raka meminjam mobil kepada Sarjan, apakah Sarjan
diperbolehkan meminjamkan mobil kepada pihak ketiga (Imran) ? Menurut definisi
pertama, orang yang meminjamkan mobil itu boleh meminjamkannya kepada pihak
ketiga, karena ungkapan (kebebasan memanfaatkan) dalam definisi ini, mengacu kepada barang
yang dipinjam bebas dipergunakan peminjam. Termasuk meminjamkannya kepada pihak
ketiga tanpa ganti rugi. Sedangkan menurut definisi kedua, orang yang
meminjamkan mobil itu tidak boleh meminjamkannya kepada pihak ketiga, karena
ungkapan (kebolehan memanfaatkan barang orang lain) menunjukan bahwa yang memanfaatkan barang itu hanya pihak peminjam.[24]
Dasar Hukum
A. QS.
Al-Maidah (5) : 2
Artinya : Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah,
sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.
B. Hadis
Ada beberapa
hadis yang menjadi dasar berlakunya ariyah, yaitu :
a. Dari Syafwan
Ibnu Umayah. Rasulullah saw meminjam
kuda abi thalhah dan mengendarainya (HR. Bukhari-Muslim)
b. Dari Syafwan. Rasulullah saw meminjam baju perang Abu Syafwan lalu ia
mengatakan: apakah hal itu merupakan pemakaian tanpa izin wahai Rasulullah? Rasul Menjawab
"Tidak, ini saya pinjam dengan jaminan (HR. Abu Dawud)
c. 'Ariyah
(Barang Pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan' (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi)[25]
Rukun dan
Syarat
Rukun akad ariyah menurut ulama Hanafiyah hanya satu ijab dari pihak yang
meminjamkan adapun qabul menurut mereka tidak menjadi rukun, sedangkan menurut
jumhur ulama, rukun ariyah ada empat yaitu :
a. Orang yang
meminjamkan
b. Orang yang
meminjam
c. Barang yang dipinjam dan
d. Lafal peminjaman
Adapun
syarat-syarat ariyah sebagai berikut :
a. Orang yang
meminjam harus memiliki kriteria sebagai berikut :
1) berakal
2) cakap
bertindak, dan
3) amanah
b. Barang yang
dipinjam merupakan barang yang tidak habis atau musnah bila dimanfaatkan
seperti makanan.
c. Barang yang
dipinjam harus secara langsung dikuasai oleh peminjam.
d. Manfaat
barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang diperbolehkan oleh syariat.
Ketentuan
a. Hukum Asal Ariyah, Apakah Bersifat
Pemilikan terhadap Manfaat atau Hanya Kebolehan Memanfaatkannya
Menurut Ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan, bahwa
arivah merupakan akad yang menyebabkan peminjam memiliki manfaat barang yang
dipinjam. Peminjaman
itu dilakukan secara sukarela tanpa dari pihak peminjam. Oleh karena itu, pihak
peminjam berhak untuk meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk
dimanfaatkan. Karena manfaat barang itu telah menjadi miliknya, kecuali apabila
pemilik barang membatasi pemanfaatannya bagi peminjam saja atau pemilik barang
melarang peminjam untuk meminjamkannya untuk orang lain.[26]
Sedangkan, menurut ulama Syafi'iyah, Hanabilah dan Abu
Hasan al Karkhi, pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa akad ariyah itu hanya
bersifat kebolehan memanfaatkan benda itu dan tidak boleh dipinjamkan kepada
orang lain.
Hak-Hak
Peminjam dalam Al Ariyah
Menurut jumhur
ulama, pemanfatan barang itu oleh pada sejauh mana izin yang diberikan oleh
pemiliknya an barang itu oleh peminjam terbatas.
Menurut ulama Hanafiyah, peminjaman berarti peminjam berhak untuk
memanfatkan barang itu sesuai dengan keinginannya, baik dimanfaatkan untuk
dirinya sendiri, keluarganya, maupun dipinjamkan untuk dimanfaatkan olehorang
lain,tetapiapabila pemilik barang memberikan pinjaman barang dengan batasan
waktu, tempat dan pemakaian, maka peminjam terikat pada syarat-syarat yang
ditentukan pemilik itu. yah, bila peminjaman dilakukan secara mutlak,
Status Akad Al-Ariyah
Menurut ulama Hanafiyah, Syai'iyah
dan Hanabilah, bahwa akad ariyah itu sifatnya tidak mengikat bagi kedua belah
pihak. Artinya,
pemilik barang boleh saja membatalkan pinjaman itu kapan saja yang ia mau, dan
pihak peminjam boleh kapan saja memulangkan barang itu kapan saja ia kebendaki.
Menurut ulama
Malikiyah, pihak yang meminjamkan barang tidak dapat mengambil barangnya
sebelum dimanfaatkan oleh peminjam.
Sifat Akad Al-Ariyah
Disepakati olah
para ulama, bahwa akad ariyah adalah tolong-menolong tetapi mereka berbeda
pendapat tentang apakah akad ariyah bersifat amanalh di tangan peminjam.
Menurut ulama
Hanafiyah, ariyah di tangan peminjam bersifat amanah. Apabila barang itu rusak
karena kelalaian peminjam, maka ia harus menggantinya, bila bukan karena
kelalaiannya, maka ia tidak berhak menggantinya.
Menurut ulama
Hanabilah, akad ariyah mempunyai risiko ganti rugi, baik disebabkan perbuatan
peminjam maupun disebabkan hal-hal lain.[27]
Wasiat
Hukum Islam
tentang wasiat berdasarkan pada ketentuan dasar dalam Al-Qur'an dan As-Sunah
yang merupakan sumber utama dalam hukum Islam atau Islamic Legal System.
Seorang pemerhati hukum Islam berpendapat bahwa Hukum Islam tentang wasiat
lebih didasarkan atas hadis daripada Al-Qur'an.' Wasiat menurut bahasa mengandung
beberapa arti antara lain, menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan,
menyambung, memerintahkan, mewajibkan dan lain-lain. Wasiat adalah pemberian
seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk
dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati.
Sebagian ahli hukum Islam mendefinisikan bahwa wasiat adalah pemberian hak
milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberi mati. Sedangkan wasiat
menjadi hak yang menerima setelah pemberi wasiat itu mati[28] dan utang-
utangnya dibereskan sebagaimana tuntutan Al Quran Wasiat yang didasarkan pada
atau dikat dengan atau disertai syarat itu sah apabila syarat itu benar.
Batasan syarat yang benar ialah yang mengandung maslahat bagi orang yang
memberinya, orang yarg diberinya, atau bagi orang lain, sepanjang syarat itu
tidak dilarang atau bertentangan dengan maksud syari'at.
Sebagaimana hal
lembaga hukum Islam lainnya, wasiat juga mempunyai rukun dan syarat. Rukun
wasiat ialah ijab dari orang yang mewasiatkan. Apabíla wasiat itu tidak
tertentu peruntukannya, maka tidak diperlukan adanya qabul cukup dengan ijab
saja sebab dalam keadaan yang demikian itu wasiat menjadi sedekah. Namun
apabila wasiat ditujukan kepada orang tertentu, maka diperlukan adanya qabul dari
orang yang menerima wasiat setelah pemberi wasiat mati, atau kabul dari walinya
apabila orang yang diberi wasiat belum mempunyai kecerdasan. Apabila wasiat
diterima, maka sahlah wasiat itu Namun apabila penerima wasiat menolak, maka
batallah wasiat itu dan objek wasiat tetap menjadi milik ahli waris pemberi
wasiat. Wasiat menyaratkan bagi orang yang memberi wasiat (muushi), orang yang
diberi wasiat dan objek yang diwasiatkan dengan syarat-syarat tertentu.
Disyaratkan bagi orang yang memberi wasiat ialah orang yang ahli kebajikan,
yakni orang yang cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam Pasal 194 Kompilasi
Hukum Islam dijelaskan bahwa orang yang telah berumur sekurang kurangnya 21
tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya
kepada orang lain atau lembaga (Ayat 1)
Disyaratkan bagi orang yang menerima wasiat, yakni dia bukan ahli waris
yang memberi wasiat; orang yang diberi wasiat ada pada saat pemberi wasiat
mati, baik ada secara benar-benar ataupun ada secara perkiraan; serta penerima
wasiat tidak membunuh orang wasiat Kompilasi Hukum Islam juga menyatakan bahwa
wasiat kepada hli waris hanya berlaku bila disetwjui oleh semua ahli waris
(Pasal 195 ayat 3)[29]
Persetujuan ini
dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua
orang saksi atau di hadapan Notaris (Pasal 195 Ayat 4).
Disyaratkan
bagi objek yang diwasiatkan itu dapat dimiliki dengan salah satu cara pemilikan
setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Obyek yang diwasiatkan bisa berupa semua
harta yang bernilai, baik berupa barang ataupun manfaat, piutang dan manfaat
seperti tempat tinggal atau kesenangan. Tidak sah mewasiatkan yang bukan harta
seperti bangkai, dan yang tidak bernilai bagi orang yang mengadakan akad wasiat
seperti khamar bagi kaum muslimin.
Mengenai objek wasiat, Pasal 194 Kompilasi Hukum Islam menentukan babwa
harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewarts (Ayat 2)
Pemilikan terhadap harta benda tersebut baru dapat dilaksanakan sesudah
pewasiat meninggal dunia (ayat 3). Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda
ataupun pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu (Pasal
198) Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab yang
sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum meninggal dunia,
maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa (Pasal 200)
Mazhab Hanafi, Ishak, Syarik dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya, yaitu
ucapan Ali dan Ibnu Mas'ud memperbolehkan kepadanya untuk berwasiat lebih dari
sepertiga bila tidak mempunyai ahli waris. Hal ini dikarenakan dalam kondisi ia tidak
mempunyai ahli waris. orang yang berwasiat tidak meninggalkan orang yang
dikhawatirkan jatuh dalam kemiskinannya, dan karena wasiat yang ada di dalam
ayat adalah wasiat mutlak sehingga dibatasi oleh sunah dengan 'mempunyai ahli
waris'. Dengan demikian wasiat mutlak itu boleh bagi orang yang tidak mempunyai
abli waris Mengemai kadar wasiat, jumhur ulama berpendapat bahwa sepertiga itu
dihiung dari harta yang ditinggalkan pemberi wasiat. Sedangkan Imam Malik
berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari harta yang[30]
diketahui oleh pemberi wasiat, bukan yang tidak diketahuimya atau yang
berkembang tetapi dia tidak tahu.
Mengenai objek
wasiat, Pasal 194 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa harta benda yang
diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat (Ayat 2). Pemilikan terhadap
harta benda tersebut baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia
(Ayat 3). Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda harus pemanfaatan suatu
benda harus diberikan jangka waktu tertentu (Pasal 198). Harta wasiat yang
berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab yang sah mengalami
penyusotan atau kerusakan yang terjadi sebelum meninggal dunia, maka penerima
wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa (Pasal 200)
Malik
An-Nakha'i dan Umar bin Abdul Azis berpendapat bahwa yang menjadi pegangan
apakah sepertiga harta itu yakni kondisi pada saat mewasiatkan atau sesudah
mati ialah sepertiga peninggalan di waktu berwasiat. Sedang Ali bin Abu Thalib,
Abu Hanifah. Ahmad dan pendapat yang lebih sahih dari kedua pendapat As-Syafi'i
menyatakan bahwa sepertiga itu adalah di waktu dia mati.
Pasal 195
menyatakan, bahwa wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari
harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya (Pasal 195 Ayat
2). Pernyataan persetujuan dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau
tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan Notaris (Pasal 195 Ayat 4).
Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris ada
yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga
harta warisan (Pasal 201).
Demi
kepentingan yang berwasiat, yang melakukan wasiat, dan ahli waris wasiat
mempunyai rukun dan syarat secara ketat. Hal ini dimaksudkan agar jangan ada
pihak yang diragukan, dan jangan ada silang sengketa di kemudian hari. Namun,
apa yang dikhawatirkan ittu tidak jarang terjadi dalam praktiknya. Hal ini
disebabkan adakalanya yang berwasiat tidak mematuhi kaidah-kaidah yang ada, dan
adakalanya[31]
yang menerina
wasiat berani mengubah isi wasiat atau membuat palsu sama sekali, di samping
tidak jarang pula pihak ahli waris yang tidak mau tahu dengan wasiat orang
tuanya.
Wasiat termasuk perjanjian yang diperbolehkan, yang di dalamnya pemberi
wasiat boleh mengubah wasiatnya, atau menarik kembali apa yang dia kehendaki
dari wasiatnya, atau menarik kembali apa yang akan diwasiatkan. Penarikan
kembali atau yang dikenal dengan istilah ruju dapat berupa ucapan atau
perbuatan misalnya dengan menjtual objeknya.
Mengenai format
wasiat. Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa wasiat dilakukan secara lisan
di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di
hadapan Notaris (Pasal 195) Dalam wasiat itu, baik lisan maupun tertulis, harus
disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang
ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan (Pasal 196). Wasiat dapat
dicabut secara lisan, maka dapat dicabut dengan disaksikan oleh dua orang saksi
atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta
notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan (Pasal 199 Ayat 2). Bila
wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis
dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris (Pasal 199
Ayat 3). Bila wasiat dibuat berdasarkan akta notaris, maka hanya dapat dicabut
berdasarkan Akte Notaris (Pasal 199 Ayat 4). Bilamana surat wasiat dicabut,
maka surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewaris
(Pasal 203). Jika surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka penyimpanannya di
tempat notaris yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat surat yang ada
hubungannya (Pasal 203) Setelah pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat
yang tertutup dan disimpan pada Notaris, dibuka olehnya di hadapan abli waris,
disaksikan dua orang saksi dan dengaan membuat berita acara pembukaan surat
wasiat itu (Pasal 204).[32]
Namun jika
surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris, maka penyimpan harus
menyerahkan kepada notaris setempat atau KUA setempat dan selanjutnya Notaris
atau KUA membukanya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan
dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu (Pasal 204 Ayat 2).
Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui, maka oleh notaris
atau KUA diserahkan kepada penerima wasiat guna penyclesaian selanjutnya (Pasal
204 Ayat 3).
Hibah
Hibah adalah
satu praktik pemberian cuma-cuma atau perpindahan milik yang terjadi pada masa
hidup yang melakukan hibah. Rukun hibah dalam makna khusus sama dengan rukun
jual beli, yaitu ada tiga pemberi hibah, benda yang dihibahkan, Ijab kabul.
Penghibah,
disyaratkan sebagai berikut :
1. memiliki apa
yang dihibahkan,
2. bukan orang
yang dibatasi haknya karena suatu alasan,
3. dewasa,
sebab anak-anak kurang kemampuannya,
4. tidak
dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridha'an dalam keabsahannya.
Berdasarkan pendapat Abu Khaththob dan kebanyakan sahabat Imam Syaffi,
apabila seorang mati yang berstatus penghibah, maka ahli warislah yang
bertindak selaku pemberi izin untuk menerimakan hibah tersebut kepada yang
diberi hibah itu, hal ini menunjukkan bahwa hibah tidak batal karena
meninggalnya penghibah.
Dalam Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa orang telah berumur
sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa adanya paksan dapat
menghibahkan sebanyak-banyaknya ⅓[33] harta
bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk
dimiliki (Ayat 2). Bagi orang yang diberi hihah disyaratkan
benar-benar ada di waktu diberi hibah. Apabila tidak benar-benar ada atau
diperkirakan adanya, misalnya janin maka tidak sah.
Sedangkan objek
yang dihibahkan disyaratkan:
a. benar-benar
ada,
b. harta yang
bernilai,
c. dapat
dimiliki Dzatnya, yakni apa yang biasanya dimiliki, diterima peredarannya dan
kepemilikannya dapat berpindah tangan
d. tidak
berhubungan dengan tempat milik penghibah dan wajib dipisahkan dan diserahkan
kepada yang diberi hibah sehingga menjadi milik baginya,
e. dikhususkan,
yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum. Namun Imam Malik, Asy Syafi'i,
Ahmad, dan Abu Tsaur tidak mensyaratkan demikian, dan menurutnya hibah untuk
umum yang tidak dibagi-bagi itu sah."
Syarat barang
yang dihibahkan hendaklah barang yang dapat dijual, kecuali:
a.
barang-barang yang kecil seperti dua-tiga biji beras, tidak sah
b. barang yang
tidak diketahui tidak sah dijual, tetapi sah diberikan
c. kulit
bangkai sebelum disamak tidak sah dijual, tetapí sah diberikan dijual tapi sah
diberikan.
Sesuatu yang boleh diperjualbelikan dari benda-benda boleh juga dihibahkan,
karena hibah itu merupakan suatu akad dengan maksud memiliki suatu benda, maka
benda yang dihibahkan itu menjadi hak milik seperti memiliki benda yang
diperjualbelikan Dalam Psal 210.[34]
Ayat 2
Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa harta benda yang dihibahkan harus
merupakan hak dari penghibah.
Tidak sah hibah
kecuali dengan ijab dan kabul yang diucapkan." Hukumnya kabul (serah
terima) tidak dituntut lagi oleh Syara' apabila sesuatu yang diberikan itu
telah berada di tangan yang memberi." Hibah itu sah melalui ijab dan
kabul, bagaimanapun bentuk ijab kabul yang ditunjukkan olch pemberian harta
tanpa imbalan." Imam Malik dan Asy Syafi'i berpendapat, dipegangnya kabul
di dalam hibah. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijab itu saja sudah cukup, dan
itulah yang paling sahih. Sedang orang-orang Hambali berpendapat bahwa hibah
itu sah dengan pemberian yang menunjukkan kepadanya, karena tidak ada sunah
yang mensyaratkan ijab kabul dan serupa itu.
Hibah sebagai
menyerahkan hak milik tanpa imbalan dengan disertai ijab kabul baik berupa
ucapan maupun berupa syarat." Jika hibah disertai dengan adanya imbalan,
maka termasuk penjualan dan berlaku hukum jual beli. Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa hibah dengan syarat adalah hibah, tetapi akhirnya menjadi
jual beli. Sebelum diterima imbalan, hibah semacam itu tidak dimiliki kecuali
setelah dipegang tangan, dan tidak diperkenankan bagi orang yang diberi untuk
merasarufkannya sebelum dia pegang, sedang pemberi hibah boleh merasarufkannya.
Hibah mutlak tidak menghendaki imbalan, baik yang sama, lebih rendah maupun
lebih tinggi nilainya.
Dalam hibah
dengan imbalan, maka dapat ditarik kembali. Dalam hibah hak milik yang langsung
dan sempurna atas benda sebenarnya (substance atau corpus) dari suatu harta
diserahkan kepada ang diberi, oleh sebab itu bilamana hibah sengaja dibubuhi
syarat[35] atau pembatasan
tentang pemakaian ataupun penjualan harta tersebut. syarat-syarat dan
pembatasan yang ditetapkan itu tidak sah dan hibah tersebut tetap sah.
Imam Ahmad.
Ishak. Ats Tsauri dan sebagian pengikut Maliki berpendapat tidak dihalalkan
bagi seseorang untuk memberi anak anaknya lebih banyak dari anak-anaknya yang
lain, Imam Ahmad bahkan mengharamkan hal semacam itu, apabila tidak ada hal
yang mendorong untuk itu. Pengikut Hanafi, Asy Syafi'i, Maliki dan golongan
terbanyak berpendapat bahwa pemberian secara sama rata adalah sunah, jika
dilebihkan pemberian itu kepada salah seorang dari yang lain adalah sah dan
hukumnya makruh. Sunnah bagi bapak dan seterusnya garis lurus ke atas berlaku
adil dalam pemberian kepada anak-anaknya, dengan menyamaratakan antara laki-laki
dan perempuan, sesuai dengan hadits Bukhari dan Muslim dari Nu'man bin Basyir.
Tidak wajib dalam pemberian kepada anak secara sama rata, maupun ia bersifat
hibah atau sedekah atau hibah sosial lainnya. Sulaiman Rasjid berpendapat bahwa
perbedaan paham itu ialah apabila hajat antara anak itu sama. Jika tidak sama
maka tidak ada halangan memberi yang berlebih berkurang.
Penghibahan
seluruh harta jumhur ulama berpendapat seseorang boleh menghibahkan semua yang
dimiliki. Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian Pentahqiq Madzhab Hanafi,
berpendapat bahwa tidak sah menghibahkan semua harta meskipun dalam kebaikan.
Mereka nggu menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang du yang
wajib dibatasi tindakannya. Segala bentuk pemberian yang dilakukan seseorang
yang menderita sakit yang membawa kematian, baik berupa nazar, wakaf[36]
hibah, pembebasan, sedekah, 'ariyah, pembebasan budak, dan tadbir hanya dapat
diambil dari sepertiga harta bendanya, sebagaimana segala pemberian yang
bersyarat sesudah matinya pemberi, walaupun mengucapkan pada waktu dia masih
sehat, seperti wasiat, nazar, dan wakaf. Apabila ditujukan kepada salah seorang
ahli waris, maka harus mclalui persetujuan ahli waris yang lain seluruhnya.
Pasal 213 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa hibah yang diberikan pada
saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus
mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
Penarikan kembali, tidak halal bagi seseorang menarik kembali sesuatu
pemberian kepada siapa pun, kecuali orang tua yang menarik kembali pemberian
kepada anaknya. Dengan demikian, orang dapat menarik kembali
hibah yang telah diserahkan kepada anaknya, berdasarkan riwayat Ibnu Umar dan
Ibnu Abbas yang disandarkan kepada Nabi: "Tidak halal seseorang menarik
kembali pemberiannya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya, jika ayah menghibahkan
sesuatu kepada cucunya sampai garis ke bawah boleh ditarik kembali.
Alasan diperbolehkan mencabut pemberian kepada anaknya dikarenakan ia
berhak menjaga kemaslahatan anaknya, juga cukup menaruh perhatian kasih sayang
kepada anaknya. Hal ini bisa dilakukan dengan syarat bahwa
barang yang diberi itu masih dalam kekuasaan anaknya. Apabila telah hilang
milik anak, si bapak tidak boleh mencabut walaupun barang itu kembali kepada
anak dengan jalan lain.
Dalam Pasal 211 dan 212 Kompilasi Hukum Islam ditentukan bahwa hibah dari
orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkarn sebagai warisan (Pasal 211) dan
hibah tidak dapat ditarik kembali. kecuali hibah orang tua kepada anaknya
(Pasal 212). Jumhur
ulama berpendapat haram mengambil kembali pemberian (hibah), berdasarkan hadits
hasan lagi shakih yang artinya :[37]
"Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau
menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali
bila hibah itu hibah dari orang tua kepada anaknya. Perumpamaan bagi
orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia ruju' di dalamnya (menarik
kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah
anjing itu kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntahannya kembali".
Dalam Kompilasi
Hukum Islam lebih lanjut disebutkan aturan pembuatan wasiat dalam situasi
perang (Pasal 205) dan dalam perjalanan (Pasal 206), pembatasan pencrima wasiat
(Pasal 207 dan 208), pembuatan hibah di negara asing (Pasal 214), serta wasiat
wajibah (Pasal 209).[38]
BAB III
PENUTUP
- Simpulan
Jadi, terdapat banyak bentuk
akad perjanjian syariah, diantaranya adalah syirkah, ijarah, qard, hiwalah,
kafalah wadi’ah, wakalah, ‘ariyah, hibah, wasiat. Di dalam akad-akad tersebut
memiliki dasar hukum, syarat, rukun, serta urgensi yang berbed-beda. Hukum
perikatan tidak hanya mengatur perihal perjanjian jual-beli saja, akan tetapi
juga mengatur mengenai wasiat serta hibah.
B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dalam
penulisan, baik bentuk maupun isinya. Oleh karena itu, kami membutuhkan saran
dan kritik yang membangun untuk menanggapi apa yang kami sampaikan dalam
makalah ini agar ke depannya kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi serta
dengan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan
[1] Dr. H. Nasrun Haroen, MA., FIQH
MUAMALAH, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007, hal. 111-113
[9] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 205
[10] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 206
[12] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 194
[13] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 186
[14] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 188
[15] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 189
[16] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 200
[17] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 200
[18] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 202
[19] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 182
[20] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 183
[21] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 184
[22] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 185
[23] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 186
[24] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 196
[25] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 197
[26] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 198
[27] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta,
Sinar Grafika, 2013, hal. 199
[28] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta,
Kencana, 2010, hal. 353
[29] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta,
Kencana, 2010, hal. 354
[30] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta,
Kencana, 2010, hal. 355
[31] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta,
Kencana, 2010, hal. 356
[32] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta,
Kencana, 2010, hal. 357
[33] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta,
Kencana, 2010, hal. 358
[34] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta,
Kencana, 2010, hal. 359
[35] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta,
Kencana, 2010, hal. 360
[36] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta,
Kencana, 2010, hal. 361
[37] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta,
Kencana, 2010, hal. 362
[38] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta,
Kencana, 2010, hal. 363