Akad



Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang-orang yang tidak sadar bahwa setiap harinya mereka melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli suatu barang atau menggunakan jasa angkutan umum, perjanjian sewa-menyewa hal-hal tersebut merupakan suatu perikatan. Perikatan di Indonesia diatur pada buku ke III KUHPerdata(BW). Dalam hukum perdata banyak sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.





BAB II
PEMBAHASAN

1.        Perjanjian Tijarah
A.      Akad Jual Beli

a.       Pengertian
Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai’ yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan para ulama fiqh, sekalipun subtansi dan tujuan masing-masing definisi adalah sama.
Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan :
مبا دلة مال على وجه مخصوص
Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu.
Dalam definisi ini terkandung pengertian bahwa cara yang khusus yang dimaksudkan ulama Hanafiyah adalah melalui ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qobul (pernyataan menjual dari penjual), atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli. Disaping itu, harta yang diperjualbelikan harus bermanfaat bagi manusia, sehingga bangkai, minuman keras, dan darah, tidak termasuk sesuatu yang boleh diperjualbelikan, karena benda-benda itu tidak bermanfaat bagi muslim, apabila jenis-jenis barang seperti itu tetap diperjualbelikan, menurut ulama Hanafiyah, jual belinya tidak sah.
Definisi lain dikemukakan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Menurut mereka, jual beli adalah saling menukar harta dalam bentuk pemindahan milikdan pemilikan. Dalam hal ini mereka melakukan penekanan kepada kata “milik” dan “pemilikan” karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki, seperti sewa menyewa (Ijarah).
Pada masyarakat primitif jual beli dilangsungkan dengan cara saling menukarkan harta dengan harta, tidak dengan uang sebagai mana berlaku di zaman ini, karena masyarakat primitif belum mengenal adanya alat tukar seperti uang. Misalnya, satu ikat kayu api ditukar dengan satu liter beras, atau satu tangkai kurma ditukar dengan satu tandan pisang. Untuk melihat apakah barang yang saling ditukaritu sebanding, tergantung kepada masyarakat primitif itu. Jual beli ini dalam istilah fiqh disebut dengan al-muqoyadhah.
Setelah manusia mengenal nilai tukar (uang), jual beli al-muqoyadhah mulai kehilangan tempat. Akan tetapi, dalam perkembangan dunia modern dalam hubungan dagang antar negara, menurut Fathi ad-Duraini, guru besar fiqh di Universitas Damaskus, Syria, bentuk jual beli inilah yang berlaku, sekalipun untuk menentukan jumlah barang yang ditukar tetap perhitungkan dengan nilai mata uang tertentu. Akan tetapi, esensi al-muqoyadhah masih dipakai. Misalnya, Indonesia membeli spare part kendaraan ke Jepang, maka barang yang diimpor itu dibayar dengan minyak bumi dalam jumlah tertentu sesuai dengan nilai spare part yang diimpor Indonesia itu.
Di zaman Rasulullah SAW nilai tukar itu sudah ada, yaitu dinar (yang terbuat dari emas) dan dirham (yang terbuat dari perak). Apabila dinar dizaman Rasulullah dikurskan dengan nilai mata uang yang sekarang, menurut Syauki Ismail Syahatah, ekonomi Islam dari Mesir, bernilai 4,45 gram emas muni. Adapun dirham dizaman Rasulullah SAW juga diukur dengan dinar, yaitu satu dinar, menurut jumhur ulama, bernilai tiga dirham. Dengan demikian, apabila dinar 4,45 (dibulatkan menjadi 4,5 gram emas), maka satu dirham itu adalah 1,5 gram emas.[1]
B.       Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.

C.       Hukum Jual Beli
Para ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli itu adalah mubah (boleh). Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu, menurut Imam asy-syatibi (w.790 H), pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib. Imam asy-syatibi memberi contoh ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik). Apabila seseorang melakukan ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka, menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga.
Dalam hal ini, menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sesuai dengan prinsip asy-syatibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total, maka hukumnya boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan baikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan pedagang ini wajib melaksanakannya. Demikian pula dalam komoditi-komoditi lainnya.

D.      Rukun dan Syarat Jual Beli
Jual beli mempunyai rukun dana syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli tersebut dapat dikatakan sah oleh syara’.
Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
a.         Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan pembeli).
b.        Ada shighat (lafal ijab dan qobul).
c.         Ada barang yang dibeli.
d.        Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut ulama Hanafiyah,orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat jual beli sesuai rukun jual beli yang dikemukakan Jumhur ulama, yaitu:
a)        Syarat orang yang berakad : berakal, orang yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda.
b)        Syarat yang terkait dengan Ijab Qobul
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa unsur utama dari jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan kedua pihak dapat dilihat dari ijab dan qobul yang dilangsungkan. Apabila ijab dan qobul telah diucapkan dalam akad jual beli, maka pemilikan barang atau uang telah berpindah tangan dari pemilik semula. Barang yang dibeli berpindahtangan menjadi milik pembeli, dan nilai tukar/uang berpindahtangan menjadi milik penjual.
Para ulama fiqh mengemukakan syarat ijab dan qobul itu adalah sebagi berikut :
a.         Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
b.        Qobul sesuai dengan Ijab.
c.         Ijab dan Qobul dilakukan dalam satu majelis.[2]

E. Syarat Barang Yang Diperjualbelikan
a)        Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
b)        Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
c)        Milik seseorang.
d)       Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.

F. Syarat-Syarat Nilai Tukar (harga barang)
Termasuk unsur penting dalam jual beli adalah nilai tukar dari barang yang dijual (untuk zaman sekarang adalah uang). Terkait dengan masalah nilai tukar ini, para ulama fiqh membedakan ats-tsaman dengan as-sir. Menurut mereka ats,tsaman adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen. Dengan demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga barang antar pedagang dan harga barang antara pedagang dengan konsumen.

G. Bentuk-Bentuk Jual Beli
1. Jual beli yang Shahih
Dikatakan jual beli yang Shahih apabila jual beli itu disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat yangditentukan : bukan milik orang lain, tidak tergantung pada hak khiyar lagi. Jual beli seperti ini dikatakan jual beli shahih.
2. Jual beli yang Batal
Jual beli yang batal apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyaria’atkan, seperti jual beli yang dilakukan anak-anak, orang gila, atau barang yang dijual itu barang-barang yang diharamkan syara’, seperti bangkai, darah, babi, dan khamar.[3]

2. Akad Syirkah

A.      Pengertian
Secara etimologi, asy-syirkah berarti percampuran, yaitu percampuran antara sesuatu dengan lainnya, sehingga sulit dibedakan. Asy-syirkah termasuk salah satu bentuk kerjasama dagang dengan rukun dan syarat tertentu, yang dalam hukum positif disebut dengan perserikatan dagang.
Secara terminologi, ada beberapa definisi asy-syirkah yang dikemukakan oleh para ulama fiqh.
Pertama, dikemukakan oleh Ulama Malikiyah :

اذ ن في التصر لهما مع انفسهما في مال لهما

Suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.
Kedua, definisi yang dikemukakan oleh Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah :

ثبوت الحق في شيء لاثنين فاكثر على جهة الشيوع
Hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
Ketiga, definisi yang dikemukakan olrh Ulama Hanadiyah :

عقد بين المتشار كين فى راس المال والربح

Akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.

Pada dasarnya definisi-definisi yang dikemukakan para ulama fiqh diatas hanya berbeda secara redaksional, sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya adalah sama, yaitu ikatan kerjasama yang dilakuka dua orang atau lebih dalam perdagangan. Dan adanya akad asy-syirkah yang disepakati kedua belah pihak, semua pihak yang mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta serikat itu, dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan persetujuan yang disepakati.

B.       Dasar Hukum Asy-Syirkah
Akad asy-syirkah dibolehkan, menurut para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman Allah dalam Surat An-Nisa : 12 dan Shad : 24.
Disamping ayat tersebut, dijumpai pula sabda Rasulullah SAW yang membolehkan akad asy-syirkah. Dalam sebuah hadist mengatakan :[4]
يدالله على الشر يكين ما لم يتخاونا
Allah akan ikut membantu doa untuk orang yang berserikat, selama diantara mereka tidak saling menghianati. {HR. Al-Bukhori}

C.       Macam-Macam Asy-Syirkah
1.        Syirkah Al-Amlak
Menurut ulama fiqh, adalah dua orang atau lebih memiliki harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad asy-syirkah. Terbagi menjadi dua bentuk :
- syirkah ikhtiyar : yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat, seperti dua orang bersepakat membeli suatu barang atau mereka menerima harta hibah, wasiat, atau wakaf itu dan menjadi milik mereka secara berserikat. Dalam kasus seperti ini, harta yang dibeli bersama atau yang dihibahkan,diwakafakan, atau yang diawasiatkan orang itu menjadi harta serikat bagi mereka berdua.
- syirkah jabar : yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih, tanpa kehendak dari mereka, seperti harta warisan yang mereka terima dari seseorang yang wafat. Harta warisan itu menjadi milik bersama orang-orang yang menerima warisan itu.
Dalam kedua bentuk syirkah al-amlak, menurut para pakar fiqh, status harta masing-masing orang yang berserikat, sesuai dengan hak masing-masing, bersifat berdiri sendiri secara hukum. Apabila masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada izin dari mitranya, karena seseorang tidak memiliki kekuasaan atas bagian harta orang yang menjadi mitra serikatnya. Hukum yang terkait dengan syirkah al-amlak ini dibahas oleh para ulama fiqh secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah, dan wakaf.[5]

2. Syirkah Al-Uqud
Akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh tentang bentuk-bentuk serikat yang termasuk kedalam syirkah al-uqud :
a.         Ulama Hanabilah membaginya kepada lima bentuk, yaitu :
- syirkah al-inan (penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak        slalu sama jumlahnya).
- syirkah al-mufawadhah (perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk                             kerjasama yang mereka lakukan baik kualitas dan kuantitasnya harus sama dan                      keuntungannta dibagi rata).
- syirkah al-abdan (perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama).
- syirkah al-wujuh (perserikatan tanpa modal).
- syirkah al-mudharabah (bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seseorang      yang punya kepakaran dagang, dan keuntungan perdagangan dari modal itu dibagi               bersama).
b.        Ulama kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah, membagi bentuk-bentuk syirkah al-uqud itu kepada empat bentuk, yaitu :
- syirkah al-inan
- syirkah al-mufawadhah
- syirkah al-abdan
- syirkah al-wujuh           
Sedangkan syirkah al-mudharabah, yang diekmukakan oleh ulama Hanabilah, mereka tolak sebagai syirkah.
a)        Ulama Hanafiyah membagi syirkah kepada tiga bentuk, yaiitu :
- syirkah al-anwal (perserikatan dalam modal / harta)
- syirkah al-’amal (perserikatan dalam kerja)
- syirkah al-wujuh (perserikatan tanpa modal)

D.  Rukun dan Syarat Asy-syirkah
Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa rukun asy-syirkah, baik syirkah al-amlak maupun syirkah al-’uqud dengan segala bentuknya adalah ijab (ungkapan penawaran melakukan perserikatan) dan qabul (ungkapan penerimaan perserikatan). Menurut Jumhur ulama, rukun perserikatan itu ada tiga yaitu :
- shigat (lafal) ijab dan qabul
- kedua orang yang bertekad
- dan obyek akad.
Syarat-syarat umum asy-syirkah :
Perserikatan dalam kedua bentuk diatas, yaitu syirkah al-amlak dan syirkah al-uqud mempunyai syarat-syarat umum yaitu :
1. Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan.
2.  Persentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat                          dijelaskan ketika berlangsungnya akad.
3.  Keuntungan itu diambilkan dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain.
Syarat-syarat umum  ini berlaku bagi syirkah al-inan dan syirkah al-wujuh. Sedangkan syarat khusus untuk masing-masing syirkah al-amlak dibahas dalam bab wasiat, hibah, wakaf, dan waris.[6]

3. Akad Ijarah

A.      Pengertian
Dalam bahasa arab al-ijarah berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.
Secara terminologi, ada beberapa definisi al-ijarah yang dikemukakan para ulama fiqh :
1)        Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan :
Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.
2)        Ulama Syafi’iyah mendefinisikannya dengan :
Transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
3)        Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan :
Pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.
Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka akad ijarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad al-ijarah juga tidak berlaku pada pepohonan untuk diambil buahnya, karena buah itu sendiri adalah materi, sedangkan akad al-ijarah itu hanya ditujukan kepada manfaat. Demikian juga halnya dengan kambing, tidak boleh dijadikan sebagai obyek al-ijarah untuk diambil susu atau bulunya, karena susu dan bulu kambing termasuk materi. Jumhur ulama fiqh juga tidak membolehkan air mani hewan ternak pejantan, seperti unta, sapi, kuda, dan kerbau, karena yang dimaksudkan dengan hal itu adalah mendapatkan keturunan hewan, dan mani itu sendiri merupakan materi.

B.  Rukun al-Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qobul persetujuan terhadap sewa menyewa. Akan tetapi, Jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al-ijarah itu ada empat, yaitu :
a)        Orang yang berakad
b)        Sewa / imbalan
c)        Manfaat dan
d)       shighat (ijab dan qobul)
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat termasuk syarat-syarat ijarah, bukan rukunnya.

C.  Syarat-Syarat Ijarah
a.         Untuk kedua orang yang berakad, menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, disyaratkan telah tablig dan berakal.
b.        Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad al-ijarah.
c.         Manfaat yang menjadi obyek al-ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga tidak muncul perselisisihan dikemudian hari.
d.        Obyek al-ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
e.         Obyek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’.[7]
f.         Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
g.        Obyek al-ijarah merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti rumah, mobil, dan hewan tunggangan.
h.        Upah / sewa dalam akad ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.
i.          Ulama Hanafiyah mengatakan upah/sewa itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa.

D.  Sifat Akad al-Ijarah
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan bertindak hukum. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan. Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabila salah seorang meninggal dunia. Menurut ulama Hanafiyah, apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, maka akad ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta. Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.

E.  Macam-Macam Ijarah
a.        Ijarah bersifat pekerjaan (jasa) ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Menurut para ulama hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan tukang sepatu.
b.        Ijarah bersifat manfaat, misalnya sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan obyek sewa-menyewa.

F. Berakhirnya Akad Ijarah
1)        Obyek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang dijahitkan hilang.
2)        Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah berakhir.
3)        Menurut ulama Hanfiyah, wafatnya seseorang yang berakad, karena akad ijarah menurut mereka tidak boleh diwariskan.
4)        Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada suatu uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait utang yang banyak maka akad ijarah batal.[8]

2.        Perjanjian Tabarru’
a)      Qardh
Pengertian
Qardh secara etimologi berarti memotong, sedangkan secara terminologis, qardh adalah meminjam harta kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan.[9] Dalam reaksi lain, qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih kembali atau dengan kata lain meminjam dengan tanpa mengharap imbalan.
Qardh merupakan akad tabaru (akad non profit) bukan akad profit atau komersial. Menurutpasal 19 ayat (1) huruf e UU No.21 tahun 2008, yang dimaksud dengan qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikkan dana yang diterimanya pada waktu yang disepakati. Sedangkan menurut pasal 3 Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/19/PBI/2007, qard adalah transaksi pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.[10]

DASAR HUKUM QARDH
Firman Allah swt:
Ø  (Al Baqarah (2) : 280)
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.
Ø  (Al Baqarah (2) : 282)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.[11]
b)     Rahn
Secara etimologis, rahn mempunyai arti tetap dan kekal. Sedangkan secara terminologis, rahn adalah menahan segala salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas utang/pinjaman yang diperoleh dari kantor pegadaian syariah. Menurut fatwa DSN, Rahn adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang. Menurut Prof. Dr.  Rahmat Syafei, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Zainuddin Ali, rahn adalah suatu jenis perjanian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.[12]
     
Dasar Hukum Rahn
Firman Allah swt:
Ø  (QS. Al-Baqarah (2):283)
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ ۖ

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)

c.         Hiwalah
Pengertian
Secara etimologis, hawalah atau hiwalah mempunyai arti al-intiqal (memindahkan) dan al-taahwil (mengoperkan). Adapun secara terminologis hawaalah adalah pemindahan dari tanggung jawab muhlil, menjadi tanggung jawab muhal “alaaih” Menurut pasal 19 ayat (1) g UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, yang dimaksud dengan akad hawalah adalah akad pengalihan utang dari pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung atau membayar.[13]

Jenis-jenis hawalah atau hiwalah:
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) nomor 10/14/Dpbstanggal 17 maret 2008, membedakan dua macam jenis/bentuk pemberian jasa pengalihan utang atas dasar akad hawalah, yaitu:
a.       Hawalah Muthalaqah, yaitu transaksi yang berfungsi untuk pengalihan utang para pihak yang menimbulkan adanya akad dana keluar (cash out) bank, dan
b.      Hawalah Muqayyadah, yaitu transaksi yang berfungsi untuk melakukan self-out utang piutang diantara tiga pihak yang memiliki hubungan muamlat (utang piutang) melalui transaksi pengalihan utang, serta tidak menimbulkan adanya dana keluar (cash-out).[14]
Manfaat Hawalah atau Hiwalah:
Akad hawalah atau hiwalah banyak sekali memberikan manfaat dan keuntungaan, diantaranya:
a.       Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
b.      Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
c.       Dapat menjadi salah satu fee based income atau sumber pendaapatan non pembiayaan bagi bank  syariah.
Adapun resiko yang haarus diwaspadai dari kontrak hawalah atau hiwaalah adalah adanya kecurangan nasabah dengan memberi  invoice palsu atau wanprestsi (ingkar janji) untuk memenuhi kewajiban nasabah ke bank.[15]

d.        Kafalah
Pengertian
Al-kafalah berasal dari kata كفل ــُـ  (menanggung) merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Pada dasarnya akad kafalah merupakan bentuk pertanggungan yang biasa dijalankan oleh perusahaan.

Dasar Hukum
Untuk akad kafalah ini dapat dilihat di dalam al-Qur'an, al-Sunnah dan kesepakatan para ulama, sebagai berikut

1.       Al-QUR’AN

Allah SWT. berfirman:  "Penyeru-penyeru itu berkata "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya."( surat Yusuf (12): 72)

2.       AS-SUNNAH

Jabir r.a. menceritakan: “Seorang laki-laki telah meninggal dunia dan kami telah memandikannya dengan bersih kemudian kami kafani, lalu kami bawa kepada Rasulullah SAW. Kami bertanya kepada beliau: "Apakah Rasulullah akan menshalatkannnya?". Rasulullah bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjuwab: "Ya, dua dinar." Rasulullah kemudian pergi dari situ. Berkatalah Abu Qatadah : "Dua dinar itu tanggung jawabku." Karenanya, Rasulullah SAW. bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menunaikan hak orang yang memberi hutang dan si mayit akan terlepas dari tanggung jawabnya." Rasulullah lalu menshalatkannya. Pada keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu Qatadah tentang dua dinar itu dan dijelaskan, bahwa ia telah melunasinya. Rasulullah SAW. bersabda: "Sekarang kulitnya telah sejuk." (H.R. Bukhari).

Rasulullah SAW. bersabda: "Hutang itu harus ditunaikan, dan orang yang menanggung itu harus membayarnya." (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi dan dishakhihkan oleh Ibnu Hibban).

IJMA’ ULAMA

Para ulama madzhab membolehkan akad kafalah ini. Orang-orang Islam pada masa Nubuwwah mempraktekkan hal ini bahkan sampai saat ini, tanpa ada sanggahan dari seorang ulama-pun. Kebolehan akad kafalah dalam Islam juga didasarkan pada kebutuhkan manusia dan sekaligus untuk menegaskan madharat bagi orang-orang yang berhutang .

a.  Rukun Dan Syarat Kafalah

Adapun rukun kafalah sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lileratur fikih terdiri atas:
   1. Pihak penjamin/penanggung (kafil), dengan syarat baligh (dewasa), berakal sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2. Pihak yang berhutang (makful 'anhu 'ashil), dengan syarat sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.|
3. Pihak yang berpiutang (makful lahu), dengan syarat diketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat.
4. Obyek jaminan (makful bih), merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang (ashil), baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh pejamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari'ah (diharamkan).


e.        Wadi’ah
Pengertian
Wadiah adalah penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercayai untuk menjaga dana tersebut. Dalam redaksi lain, wadiah adalah akad yang intinya minta pertolongan kepada seseorang dalam memelihara harta penitip.[16]

Dasar Hukum
Firman Allah swt:
Ø  (QS. An-Nisa’ (4):29)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, janagnlah kalian memakan harta-harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan yang kalian saling ridha.
Ø  (QS. Al-Baqarah (2):283)
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ
“Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.”[17]

Ø  KetentuanWadiah
Ketentuan wadiah terdapat dalam fatwa DSN tentang tabungan sebagai berikut: yaitu fatwa DSN Nomor 2/DSN –MUI/IVV/2000, sebagaiberikut:
Pertama, tabungan ada dua jenis:
a.       Tabungan yang tidak dibenarkan secara syariah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga.
b.      Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinssip Mudharabah dan Wadi’ah.[18]

f.          Wakalah
Pengertian
Secara etimologis wakalah mempunyai beberapa arti, yaitu penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat. Secara etimologis, wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan. Pada akad itu seseorang menunjuk seorang lain sebagai wakilnya dalam bertindak. Dalam redaksi lain, wakalah adalah pelimpahan kekuasaan seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan. Wakalah adalah akad dari pemberian kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (taukil) atas nama pemberi kuasa.[19]
Dasar Hukum
Al-Qur’an
Dalil dari Al-Qur’an terdapat dalam QS. Al-Kahfi (18): 19:
Artinya : Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?) Mereka menjawab Kita berada (disini) sehari atau setengah hari Berkata (yang lain lagi) Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.

Juga terdapat dalam QS. An-Nisa (4): 35:

Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Juga terdapat dalam Firman Allah dalam QS. Yusuf  (12): 55: tentang ucapan Yusuf kepada raja :
Artinya : ;Dia (Yusuf) berkata, Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.

Juga dalam Firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 283:
Artinya : "......  jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya ...."[20]

Hadis-Hadis Nabi
Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi dan seorang Anshar untuk mengawinkan (kabul perkawinan Nabi dengan) Maimumah ra.; (HR. Malik dalam Al Muwaththa)
Seorang laki laki daiang kepada Nabi SAW untuk menagih utang kepada beliau dergan cara kasar, sehingga para sahabat berniat unuk 'menanganinya' Beliau bersabda.; biarkan ia, sebab pemilk hak berhak untuk berbicara; lalu sabdanya. berikanlah (bayarkanlah) kepada orang ini unta umur setahun seperti untanya (yang diutang itu): Mereka merjawab, ;kami tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua; Rasulullah kemulian bersabda ;Berikaniah kepadanya, Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orarg yang paling baik di dalam membayar.; (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)[21]

 Ijma
Ulama telah sepakat tentang bolehnya akad wakalah, bahkan mereka memandangnya sebagai sunah karena hal itu termasuk jenis taaw'wun (tolong nolong) atas dasar kebaikan dan takwa.

 Pembagian Wakalah
Ditilik dari ruang lingkupnya, bentuk-bentuk akad wakalah dapat dibedakan antara lain:
a.       Wakalah Muthlaqah Wakalah muthlaqah
yaitu perwakilan yang tidak terikat syarat tertentu
b. Wakalah Muqayyadah Wakalah muqayyadah
yaitu perwakilan yang terikat oleh syarat-syarat yang telah ditentukan dan telah disepakati bersama.
Ketentuan Wakalah
Ketentuan tentang Wakalah:
a. Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
b. Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Rukun dan Syarat Wakalah
Syarat syarat muwakkil (yang mewakilkan).
1) Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
2) Orang mukallaf atau anak mumayiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.

Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
1) Cakap hukum.
2) Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya
3) Wakil adalah orang yang diberi amanat.[22]

Hal-Hal yang diwakilkan

1) Diketahui dengan jelas orang yang mewakili
2) Tidak bertentangan dengan syariah islam
3) Dapat diwakilkan menurut Syariah Islam.[23]

Ariyah
 Pengertian
Menurut etimologi bahasa Arab, ariyah berarti sesuatu yang dipinjam, perg. kembali. atau beredar. Sedangkan menurut terminologi fiqh, ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama fiqh.
Pertama, definisi yang dikemukakan ulama Malikiyah dan as-Syarakhsi (w.483 H/1090 M), tokoh fiqh Hanafi. ariyah adalah pemilikan manfaat sesuatu tanpa ganti rugi.
Kedua, definisi yang dikemukakan ula Syafi'iyah dan Hanabilah, Ariyah yaitu kebolehan memanfaatkan barang  orang lain tanpa ganti rugi.
Diantara kedua definisi diatas terdapat perbedaan kandugan yang membawa akibat hukum yang berbeda pula. Misalnya, Raka meminjam mobil kepada Sarjan, apakah Sarjan diperbolehkan meminjamkan mobil kepada pihak ketiga (Imran) ? Menurut definisi pertama, orang yang meminjamkan mobil itu boleh meminjamkannya kepada pihak ketiga, karena ungkapan (kebebasan memanfaatkan)  dalam definisi ini, mengacu kepada barang yang dipinjam bebas dipergunakan peminjam. Termasuk meminjamkannya kepada pihak ketiga tanpa ganti rugi. Sedangkan menurut definisi kedua, orang yang meminjamkan mobil itu tidak boleh meminjamkannya kepada pihak ketiga, karena ungkapan (kebolehan memanfaatkan barang orang lain) menunjukan bahwa  yang memanfaatkan barang itu hanya pihak peminjam.[24]

Dasar Hukum
A. QS. Al-Maidah (5) : 2
Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.

B. Hadis
Ada beberapa hadis yang menjadi dasar berlakunya ariyah, yaitu :
a. Dari Syafwan Ibnu Umayah.  Rasulullah saw meminjam kuda abi thalhah dan mengendarainya (HR. Bukhari-Muslim)
b. Dari Syafwan. Rasulullah saw meminjam baju perang Abu Syafwan lalu ia mengatakan: apakah hal itu merupakan pemakaian tanpa izin wahai Rasulullah? Rasul Menjawab "Tidak, ini saya pinjam dengan jaminan (HR. Abu Dawud)
c. 'Ariyah (Barang Pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan' (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)[25]

Rukun dan Syarat
Rukun akad ariyah menurut ulama Hanafiyah hanya satu ijab dari pihak yang meminjamkan adapun qabul menurut mereka tidak menjadi rukun, sedangkan menurut jumhur ulama, rukun ariyah ada empat yaitu :
a. Orang yang meminjamkan
b. Orang yang meminjam
c.  Barang yang dipinjam dan
d. Lafal peminjaman
Adapun syarat-syarat ariyah sebagai berikut :
a. Orang yang meminjam harus memiliki kriteria sebagai berikut :
1) berakal
2) cakap bertindak, dan

3) amanah

b. Barang yang dipinjam merupakan barang yang tidak habis atau musnah bila dimanfaatkan seperti makanan.
c. Barang yang dipinjam harus secara langsung dikuasai oleh peminjam.
d. Manfaat barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang diperbolehkan oleh syariat.

Ketentuan
 a. Hukum Asal Ariyah, Apakah Bersifat Pemilikan terhadap Manfaat atau Hanya Kebolehan Memanfaatkannya
Menurut Ulama Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan, bahwa arivah merupakan akad yang menyebabkan peminjam memiliki manfaat barang yang dipinjam. Peminjaman itu dilakukan secara sukarela tanpa dari pihak peminjam. Oleh karena itu, pihak peminjam berhak untuk meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan. Karena manfaat barang itu telah menjadi miliknya, kecuali apabila pemilik barang membatasi pemanfaatannya bagi peminjam saja atau pemilik barang melarang peminjam untuk meminjamkannya untuk orang lain.[26]
Sedangkan, menurut ulama Syafi'iyah, Hanabilah dan Abu Hasan al Karkhi, pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa akad ariyah itu hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda itu dan tidak boleh dipinjamkan kepada orang lain.

Hak-Hak Peminjam dalam Al Ariyah
Menurut jumhur ulama, pemanfatan barang itu oleh pada sejauh mana izin yang diberikan oleh pemiliknya an barang itu oleh peminjam terbatas.
Menurut ulama Hanafiyah, peminjaman berarti peminjam berhak untuk memanfatkan barang itu sesuai dengan keinginannya, baik dimanfaatkan untuk dirinya sendiri, keluarganya, maupun dipinjamkan untuk dimanfaatkan olehorang lain,tetapiapabila pemilik barang memberikan pinjaman barang dengan batasan waktu, tempat dan pemakaian, maka peminjam terikat pada syarat-syarat yang ditentukan pemilik itu. yah, bila peminjaman dilakukan secara mutlak,

 Status Akad Al-Ariyah

 Menurut ulama Hanafiyah, Syai'iyah dan Hanabilah, bahwa akad ariyah itu sifatnya tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Artinya, pemilik barang boleh saja membatalkan pinjaman itu kapan saja yang ia mau, dan pihak peminjam boleh kapan saja memulangkan barang itu kapan saja ia kebendaki.
Menurut ulama Malikiyah, pihak yang meminjamkan barang tidak dapat mengambil barangnya sebelum dimanfaatkan oleh peminjam.

 Sifat Akad Al-Ariyah
Disepakati olah para ulama, bahwa akad ariyah adalah tolong-menolong tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah akad ariyah bersifat amanalh di tangan peminjam.
Menurut ulama Hanafiyah, ariyah di tangan peminjam bersifat amanah. Apabila barang itu rusak karena kelalaian peminjam, maka ia harus menggantinya, bila bukan karena kelalaiannya, maka ia tidak berhak menggantinya.
Menurut ulama Hanabilah, akad ariyah mempunyai risiko ganti rugi, baik disebabkan perbuatan peminjam maupun disebabkan hal-hal lain.[27]

 Wasiat
Hukum Islam tentang wasiat berdasarkan pada ketentuan dasar dalam Al-Qur'an dan As-Sunah yang merupakan sumber utama dalam hukum Islam atau Islamic Legal System. Seorang pemerhati hukum Islam berpendapat bahwa Hukum Islam tentang wasiat lebih didasarkan atas hadis daripada Al-Qur'an.' Wasiat menurut bahasa mengandung beberapa arti antara lain, menjadikan, menaruh belas kasihan, berpesan, menyambung, memerintahkan, mewajibkan dan lain-lain. Wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati. Sebagian ahli hukum Islam mendefinisikan bahwa wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberi mati. Sedangkan wasiat menjadi hak yang menerima setelah pemberi wasiat itu mati[28] dan utang- utangnya dibereskan sebagaimana tuntutan Al Quran Wasiat yang didasarkan pada atau dikat dengan atau disertai syarat itu sah apabila syarat itu benar. Batasan syarat yang benar ialah yang mengandung maslahat bagi orang yang memberinya, orang yarg diberinya, atau bagi orang lain, sepanjang syarat itu tidak dilarang atau bertentangan dengan maksud syari'at.
Sebagaimana hal lembaga hukum Islam lainnya, wasiat juga mempunyai rukun dan syarat. Rukun wasiat ialah ijab dari orang yang mewasiatkan. Apabíla wasiat itu tidak tertentu peruntukannya, maka tidak diperlukan adanya qabul cukup dengan ijab saja sebab dalam keadaan yang demikian itu wasiat menjadi sedekah. Namun apabila wasiat ditujukan kepada orang tertentu, maka diperlukan adanya qabul dari orang yang menerima wasiat setelah pemberi wasiat mati, atau kabul dari walinya apabila orang yang diberi wasiat belum mempunyai kecerdasan. Apabila wasiat diterima, maka sahlah wasiat itu Namun apabila penerima wasiat menolak, maka batallah wasiat itu dan objek wasiat tetap menjadi milik ahli waris pemberi wasiat. Wasiat menyaratkan bagi orang yang memberi wasiat (muushi), orang yang diberi wasiat dan objek yang diwasiatkan dengan syarat-syarat tertentu. Disyaratkan bagi orang yang memberi wasiat ialah orang yang ahli kebajikan, yakni orang yang cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam Pasal 194 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa orang yang telah berumur sekurang kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga (Ayat 1)
Disyaratkan bagi orang yang menerima wasiat, yakni dia bukan ahli waris yang memberi wasiat; orang yang diberi wasiat ada pada saat pemberi wasiat mati, baik ada secara benar-benar ataupun ada secara perkiraan; serta penerima wasiat tidak membunuh orang wasiat Kompilasi Hukum Islam juga menyatakan bahwa wasiat kepada hli waris hanya berlaku bila disetwjui oleh semua ahli waris (Pasal 195 ayat 3)[29]
Persetujuan ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan Notaris (Pasal 195 Ayat 4).
Disyaratkan bagi objek yang diwasiatkan itu dapat dimiliki dengan salah satu cara pemilikan setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Obyek yang diwasiatkan bisa berupa semua harta yang bernilai, baik berupa barang ataupun manfaat, piutang dan manfaat seperti tempat tinggal atau kesenangan. Tidak sah mewasiatkan yang bukan harta seperti bangkai, dan yang tidak bernilai bagi orang yang mengadakan akad wasiat seperti khamar bagi kaum muslimin.
Mengenai objek wasiat, Pasal 194 Kompilasi Hukum Islam menentukan babwa harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewarts (Ayat 2) Pemilikan terhadap harta benda tersebut baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia (ayat 3). Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu (Pasal 198) Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa (Pasal 200)
Mazhab Hanafi, Ishak, Syarik dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya, yaitu ucapan Ali dan Ibnu Mas'ud memperbolehkan kepadanya untuk berwasiat lebih dari sepertiga bila tidak mempunyai ahli waris. Hal ini dikarenakan dalam kondisi ia tidak mempunyai ahli waris. orang yang berwasiat tidak meninggalkan orang yang dikhawatirkan jatuh dalam kemiskinannya, dan karena wasiat yang ada di dalam ayat adalah wasiat mutlak sehingga dibatasi oleh sunah dengan 'mempunyai ahli waris'. Dengan demikian wasiat mutlak itu boleh bagi orang yang tidak mempunyai abli waris Mengemai kadar wasiat, jumhur ulama berpendapat bahwa sepertiga itu dihiung dari harta yang ditinggalkan pemberi wasiat. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari harta yang[30] diketahui oleh pemberi wasiat, bukan yang tidak diketahuimya atau yang berkembang tetapi dia tidak tahu.
Mengenai objek wasiat, Pasal 194 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat (Ayat 2). Pemilikan terhadap harta benda tersebut baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia (Ayat 3). Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda harus pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu (Pasal 198). Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab yang sah mengalami penyusotan atau kerusakan yang terjadi sebelum meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa (Pasal 200)
Malik An-Nakha'i dan Umar bin Abdul Azis berpendapat bahwa yang menjadi pegangan apakah sepertiga harta itu yakni kondisi pada saat mewasiatkan atau sesudah mati ialah sepertiga peninggalan di waktu berwasiat. Sedang Ali bin Abu Thalib, Abu Hanifah. Ahmad dan pendapat yang lebih sahih dari kedua pendapat As-Syafi'i menyatakan bahwa sepertiga itu adalah di waktu dia mati.
Pasal 195 menyatakan, bahwa wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya (Pasal 195 Ayat 2). Pernyataan persetujuan dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan Notaris (Pasal 195 Ayat 4). Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan (Pasal 201).
Demi kepentingan yang berwasiat, yang melakukan wasiat, dan ahli waris wasiat mempunyai rukun dan syarat secara ketat. Hal ini dimaksudkan agar jangan ada pihak yang diragukan, dan jangan ada silang sengketa di kemudian hari. Namun, apa yang dikhawatirkan ittu tidak jarang terjadi dalam praktiknya. Hal ini disebabkan adakalanya yang berwasiat tidak mematuhi kaidah-kaidah yang ada, dan adakalanya[31] yang menerina wasiat berani mengubah isi wasiat atau membuat palsu sama sekali, di samping tidak jarang pula pihak ahli waris yang tidak mau tahu dengan wasiat orang tuanya.
Wasiat termasuk perjanjian yang diperbolehkan, yang di dalamnya pemberi wasiat boleh mengubah wasiatnya, atau menarik kembali apa yang dia kehendaki dari wasiatnya, atau menarik kembali apa yang akan diwasiatkan. Penarikan kembali atau yang dikenal dengan istilah ruju dapat berupa ucapan atau perbuatan misalnya dengan menjtual objeknya.
Mengenai format wasiat. Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan Notaris (Pasal 195) Dalam wasiat itu, baik lisan maupun tertulis, harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan (Pasal 196). Wasiat dapat dicabut secara lisan, maka dapat dicabut dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan (Pasal 199 Ayat 2). Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris (Pasal 199 Ayat 3). Bila wasiat dibuat berdasarkan akta notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan Akte Notaris (Pasal 199 Ayat 4). Bilamana surat wasiat dicabut, maka surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewaris (Pasal 203). Jika surat wasiat dalam keadaan tertutup, maka penyimpanannya di tempat notaris yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat surat yang ada hubungannya (Pasal 203) Setelah pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada Notaris, dibuka olehnya di hadapan abli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengaan membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu (Pasal 204).[32]
Namun jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris, maka penyimpan harus menyerahkan kepada notaris setempat atau KUA setempat dan selanjutnya Notaris atau KUA membukanya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu (Pasal 204 Ayat 2). Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui, maka oleh notaris atau KUA diserahkan kepada penerima wasiat guna penyclesaian selanjutnya (Pasal 204 Ayat 3).

Hibah
Hibah adalah satu praktik pemberian cuma-cuma atau perpindahan milik yang terjadi pada masa hidup yang melakukan hibah. Rukun hibah dalam makna khusus sama dengan rukun jual beli, yaitu ada tiga pemberi hibah, benda yang dihibahkan, Ijab kabul.
Penghibah, disyaratkan sebagai berikut :
1. memiliki apa yang dihibahkan,
2. bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan,
3. dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya,
4. tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridha'an dalam keabsahannya.
Berdasarkan pendapat Abu Khaththob dan kebanyakan sahabat Imam Syaffi, apabila seorang mati yang berstatus penghibah, maka ahli warislah yang bertindak selaku pemberi izin untuk menerimakan hibah tersebut kepada yang diberi hibah itu, hal ini menunjukkan bahwa hibah tidak batal karena meninggalnya penghibah.
Dalam Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa orang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa adanya paksan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya ⅓[33] harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki (Ayat 2). Bagi orang yang diberi hihah disyaratkan benar-benar ada di waktu diberi hibah. Apabila tidak benar-benar ada atau diperkirakan adanya, misalnya janin maka tidak sah.

Sedangkan objek yang dihibahkan disyaratkan:
a. benar-benar ada,
b. harta yang bernilai,
c. dapat dimiliki Dzatnya, yakni apa yang biasanya dimiliki, diterima peredarannya dan kepemilikannya dapat berpindah tangan
d. tidak berhubungan dengan tempat milik penghibah dan wajib dipisahkan dan diserahkan kepada yang diberi hibah sehingga menjadi milik baginya,
e. dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum. Namun Imam Malik, Asy Syafi'i, Ahmad, dan Abu Tsaur tidak mensyaratkan demikian, dan menurutnya hibah untuk umum yang tidak dibagi-bagi itu sah."
Syarat barang yang dihibahkan hendaklah barang yang dapat dijual, kecuali:
a. barang-barang yang kecil seperti dua-tiga biji beras, tidak sah
b. barang yang tidak diketahui tidak sah dijual, tetapi sah diberikan
c. kulit bangkai sebelum disamak tidak sah dijual, tetapí sah diberikan dijual tapi sah diberikan.
Sesuatu yang boleh diperjualbelikan dari benda-benda boleh juga dihibahkan, karena hibah itu merupakan suatu akad dengan maksud memiliki suatu benda, maka benda yang dihibahkan itu menjadi hak milik seperti memiliki benda yang diperjualbelikan Dalam Psal 210.[34]
Ayat 2 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.
Tidak sah hibah kecuali dengan ijab dan kabul yang diucapkan." Hukumnya kabul (serah terima) tidak dituntut lagi oleh Syara' apabila sesuatu yang diberikan itu telah berada di tangan yang memberi." Hibah itu sah melalui ijab dan kabul, bagaimanapun bentuk ijab kabul yang ditunjukkan olch pemberian harta tanpa imbalan." Imam Malik dan Asy Syafi'i berpendapat, dipegangnya kabul di dalam hibah. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijab itu saja sudah cukup, dan itulah yang paling sahih. Sedang orang-orang Hambali berpendapat bahwa hibah itu sah dengan pemberian yang menunjukkan kepadanya, karena tidak ada sunah yang mensyaratkan ijab kabul dan serupa itu.
Hibah sebagai menyerahkan hak milik tanpa imbalan dengan disertai ijab kabul baik berupa ucapan maupun berupa syarat." Jika hibah disertai dengan adanya imbalan, maka termasuk penjualan dan berlaku hukum jual beli. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hibah dengan syarat adalah hibah, tetapi akhirnya menjadi jual beli. Sebelum diterima imbalan, hibah semacam itu tidak dimiliki kecuali setelah dipegang tangan, dan tidak diperkenankan bagi orang yang diberi untuk merasarufkannya sebelum dia pegang, sedang pemberi hibah boleh merasarufkannya. Hibah mutlak tidak menghendaki imbalan, baik yang sama, lebih rendah maupun lebih tinggi nilainya.
Dalam hibah dengan imbalan, maka dapat ditarik kembali. Dalam hibah hak milik yang langsung dan sempurna atas benda sebenarnya (substance atau corpus) dari suatu harta diserahkan kepada ang diberi, oleh sebab itu bilamana hibah sengaja dibubuhi syarat[35] atau pembatasan tentang pemakaian ataupun penjualan harta tersebut. syarat-syarat dan pembatasan yang ditetapkan itu tidak sah dan hibah tersebut tetap sah.
Imam Ahmad. Ishak. Ats Tsauri dan sebagian pengikut Maliki berpendapat tidak dihalalkan bagi seseorang untuk memberi anak anaknya lebih banyak dari anak-anaknya yang lain, Imam Ahmad bahkan mengharamkan hal semacam itu, apabila tidak ada hal yang mendorong untuk itu. Pengikut Hanafi, Asy Syafi'i, Maliki dan golongan terbanyak berpendapat bahwa pemberian secara sama rata adalah sunah, jika dilebihkan pemberian itu kepada salah seorang dari yang lain adalah sah dan hukumnya makruh. Sunnah bagi bapak dan seterusnya garis lurus ke atas berlaku adil dalam pemberian kepada anak-anaknya, dengan menyamaratakan antara laki-laki dan perempuan, sesuai dengan hadits Bukhari dan Muslim dari Nu'man bin Basyir. Tidak wajib dalam pemberian kepada anak secara sama rata, maupun ia bersifat hibah atau sedekah atau hibah sosial lainnya. Sulaiman Rasjid berpendapat bahwa perbedaan paham itu ialah apabila hajat antara anak itu sama. Jika tidak sama maka tidak ada halangan memberi yang berlebih berkurang.
Penghibahan seluruh harta jumhur ulama berpendapat seseorang boleh menghibahkan semua yang dimiliki. Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian Pentahqiq Madzhab Hanafi, berpendapat bahwa tidak sah menghibahkan semua harta meskipun dalam kebaikan. Mereka nggu menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang du yang wajib dibatasi tindakannya. Segala bentuk pemberian yang dilakukan seseorang yang menderita sakit yang membawa kematian, baik berupa nazar, wakaf[36] hibah, pembebasan, sedekah, 'ariyah, pembebasan budak, dan tadbir hanya dapat diambil dari sepertiga harta bendanya, sebagaimana segala pemberian yang bersyarat sesudah matinya pemberi, walaupun mengucapkan pada waktu dia masih sehat, seperti wasiat, nazar, dan wakaf. Apabila ditujukan kepada salah seorang ahli waris, maka harus mclalui persetujuan ahli waris yang lain seluruhnya.

Pasal 213 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
Penarikan kembali, tidak halal bagi seseorang menarik kembali sesuatu pemberian kepada siapa pun, kecuali orang tua yang menarik kembali pemberian kepada anaknya. Dengan demikian, orang dapat menarik kembali hibah yang telah diserahkan kepada anaknya, berdasarkan riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang disandarkan kepada Nabi: "Tidak halal seseorang menarik kembali pemberiannya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya, jika ayah menghibahkan sesuatu kepada cucunya sampai garis ke bawah boleh ditarik kembali.
Alasan diperbolehkan mencabut pemberian kepada anaknya dikarenakan ia berhak menjaga kemaslahatan anaknya, juga cukup menaruh perhatian kasih sayang kepada anaknya. Hal ini bisa dilakukan dengan syarat bahwa barang yang diberi itu masih dalam kekuasaan anaknya. Apabila telah hilang milik anak, si bapak tidak boleh mencabut walaupun barang itu kembali kepada anak dengan jalan lain.
Dalam Pasal 211 dan 212 Kompilasi Hukum Islam ditentukan bahwa hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkarn sebagai warisan (Pasal 211) dan hibah tidak dapat ditarik kembali. kecuali hibah orang tua kepada anaknya (Pasal 212). Jumhur ulama berpendapat haram mengambil kembali pemberian (hibah), berdasarkan hadits hasan lagi shakih yang artinya :[37]
"Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali bila hibah itu hibah dari orang tua kepada anaknya. Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia ruju' di dalamnya (menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntahannya kembali".
Dalam Kompilasi Hukum Islam lebih lanjut disebutkan aturan pembuatan wasiat dalam situasi perang (Pasal 205) dan dalam perjalanan (Pasal 206), pembatasan pencrima wasiat (Pasal 207 dan 208), pembuatan hibah di negara asing (Pasal 214), serta wasiat wajibah (Pasal 209).[38]




























BAB III
PENUTUP
  1. Simpulan
Jadi, terdapat banyak bentuk akad perjanjian syariah, diantaranya adalah syirkah, ijarah, qard, hiwalah, kafalah wadi’ah, wakalah, ‘ariyah, hibah, wasiat. Di dalam akad-akad tersebut memiliki dasar hukum, syarat, rukun, serta urgensi yang berbed-beda. Hukum perikatan tidak hanya mengatur perihal perjanjian jual-beli saja, akan tetapi juga mengatur mengenai wasiat serta hibah.
B.     Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dalam penulisan, baik bentuk maupun isinya. Oleh karena itu, kami membutuhkan saran dan kritik yang membangun untuk menanggapi apa yang kami sampaikan dalam makalah ini agar ke depannya kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi serta dengan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan


[1] Dr. H. Nasrun Haroen, MA., FIQH MUAMALAH, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007, hal. 111-113
[2] Dr. H. Nasrun Haroen, MA., FIQH MUAMALAH, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007, hal.113-116
[3] Dr. H. Nasrun Haroen, MA., FIQH MUAMALAH, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007, hal. 118-122
[4] Dr. H. Nasrun Haroen, MA., FIQH MUAMALAH, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007, hal. 165-166
[5] Dr. H. Nasrun Haroen, MA., FIQH MUAMALAH, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007, hal. 165-168
[6] Dr. H. Nasrun Haroen, MA., FIQH MUAMALAH, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007, hal. 168-173
[7] Dr. H. Nasrun Haroen, MA., FIQH MUAMALAH, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007, hal. 228-233
[8] Dr. H. Nasrun Haroen, MA., FIQH MUAMALAH, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007, hal.233-237
[9] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 205
[10] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 206
[11] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 206
[12] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 194
[13] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 186
[14] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 188
[15] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 189
[16] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 200
[17] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 200
[18] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 202
[19] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 182
[20] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 183
[21] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 184
[22] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 185
[23] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 186
[24] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 196
[25] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 197
[26] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 198
[27] Dr. Mardani, HUKUM PERIKATAN SYARIAH, Jakarta, Sinar Grafika, 2013, hal. 199
[28] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta, Kencana, 2010, hal. 353
[29] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta, Kencana, 2010, hal. 354
[30] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta, Kencana, 2010, hal. 355
[31] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta, Kencana, 2010, hal. 356
[32] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta, Kencana, 2010, hal. 357
[33] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta, Kencana, 2010, hal. 358
[34] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta, Kencana, 2010, hal. 359
[35] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta, Kencana, 2010, hal. 360
[36] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta, Kencana, 2010, hal. 361
[37] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta, Kencana, 2010, hal. 362
[38] DR. ABD. SHOMAD, HUKUM ISLAM, Jakarta, Kencana, 2010, hal. 363