Rangkap Jabatan Dan Kepemilikan Saham Mayoritas

 

 

A.    Latar Belakang

Sebagaimana Pasal 26, Salah satu bentuk perilaku yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah jabatan rangkap direksi dan/atau komisaris. Suatu jabatan rangkap terjadi apabila seseorang yang sama duduk dalam dua atau beberapa dewan direksi perusahaan atau menjadi wakil dua atau lebih perusahaan yang bertemu dalam dewan direksi satu perusahaan. Hal tersebut meliputi jabatan rangkap direksi diantara perusahaan induk, satu anggota perusahaan induk dengan anak perusahaan anggota lain atau anak perusahaan sebagai perusahaan induk.

Bentuk tindakan yang dapat mengakibatkan persaingan tidak sehat sebagai dimaksud oleh Pasal 27 adalah pemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama apabila tindakan tersebut mengakibatkan terciptanya posisi dominan atau pendirian beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama apabila tindakan tersebut mengakibatkan terciptanya posisi dominan.

Dampak dari kegiatan pemilikan saham mayoritas atau pendirian beberapa perusahaan pada pasar bersangkutan yang sama adalah terjadinya pengendalian yang menyebabkan terciptanya posisi dominan merupakan unsur utama dari larangan pemilikan saham mayoritas maupun pendirian beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama, sehingga apabila unsur utama tersebut tidak terpenuhi maka pemilikan saham mayoritas maupun pendirian beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama tidak dilarang UU Nomor 5 Tahun 1999.


A.    Jabatan Rangkap

Jabatan rangkap tidak dilarang secara per se oleh UU No. 5 Tahun 1999. Akan tetapi hubungan afiliasi melalui jabatan rangkap ini dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku pelaku usaha yang diafiliasi. Salah satu bentuk perilaku yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat adalah jabatan rangkap sebagai direksi dan/atau komisaris. Suatu jababatan rangkap terjadi apabila seseorang yang sama duduk dalam dua atau beberapa dewan direksi perusahaan atau menjadi wakil dua atau beberapa perusahaan yang bertemu dalam dewan direksi satu perusahaan[1]

Jabatan rangkap dapat terjadi akibat keterkaitan keuangan atau kepemilikan saham perusahaan. Jabatan rangkap dapat terjadi antara perusahaan yang melakukan kegiatan usaha yang sama secara horizontal dan antara perusahaan dengan perusahaan yang lain secara vertikal dan bahkan antara perusahaan yang tidak mempunyai keterkaitan kegiatan usaha satu sama lain yang disebut dengan jabatan rangkap konglomerat. Rangkap jabatan pada umumnya sering terjadi di Indonesia, ketika seseorang mendirikan beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha yang sama dan ia sendiri bisa menjadi direktur atau komisaris di tiap perusahaan tersebut. Pendirian beberapa perusahaaan ini ditujukan untuk memudahkan pelaku usaha mengikuti tender di berbagai proyek atau memang ditujukan untuk mengembangkan kegiatan usahanya.[2]

Oleh karena itu jabatan rangkap bukanlah suatu kebetulan. Akan tetapi keberadaan seseorang sebagai yang menduduki jabatan rangkap sadar atas kedudukan tersebut. Jabatan rangkap lahir bukan karena dibentuk akan tetapi lahir karena suatu perjanjian. Perjanjian antara pemegang saham yang mengambil alih dengan perusahaan yang diambilalih. Dapat juga terjadi pemegang saham meminta kepada pelaku usaha yang diambil alih untuk menempatkan seseorang dari perusahaan pengambil alih di perusahaan yang diambil alih di dewan direksi atau dewan komisaris.

Seseorang dapat menjadi direktur, manajer, atau pimpinan di suatu perusahaan pada saat yang sama dan dapat merangkap jabatan yang sama pada perusahaan lain yang menjadi saingannya. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, perangkapan jabatan biasanya terjadi karena seseorang memiliki saham di beberapa perusahaan. Akan tetapi perangkapan jabatan dapat juga terjadi bukan melalui pemilikan saham, melainkan melalui kepengurusan secara nyata tanpa adanya unsur kepemilikan saham. Kepengurusan nyata tersebut dapat menimbulkan adanya persaingan yang tidak wajar, antara lain dalam bentuk persekongkolan diantara beberapa perusahaan yang dikendalikan oleh orang-orang yang sama, praktek-praktek bisnis restriktif dan lain-lain.[3]

Pertanyaannya adalah mengapa pelaku usaha ingin melakukan jabatan rangkap? Ada banyak alasan mengapa melakukan jabatan rangkap, tetapi menurut teori ilmu sosial ada 4 teori utama mengapa pelaku usaha melakukan jabatan rangkap, yaitu berikut ini

1.      Teori keunggulan (predominant theory) dalam organisasi industri dan sosiologi, adalah bahwa perusahaan menggunakan jabatan rangkap untuk mengurung (cooptation) (baca: menguasai). Perusahaan menggunakan jabatan rangkap sebagai alat untuk mengakses dan bertukar informasi dan sumber daya dalam hal mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan obligasi di antara mereka dan pesaingnya.

2.      Perusahaan menggunakannya sebagai alat monitoring. Pelaku usaha menunjuk seseorang duduk di dewan direksi perusahaan lain untuk melakukan monitoring perilaku pelaku usaha tersebut.

3.      Jabatan rangkap untuk meningkatkan reputasi perusahaan. Komposisi dewan direksi dan komisaris adalah penting bagi pemegang saham dan investor, dan menunjuk orang yang terkenal, individu yang dihormati di industri dalam dewan direksi dapat memberikan suatu pengakuan perusahaan.

4.      Jabatan rangkap digerakkan oleh ambisi individu itu sendiri. Seseorang ingin membuat karier profesional sebagai seorang direktur, untuk itu, dia harus mencari kesempatan untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, jabatan rangkap diciptakan karena keinginan direktur tersebut untuk remunerasi keuangan dan reputasi sebagai direktur.

Menurut Mezruchi, ada tiga alasan utama mengapa melakukan jabatan rangkap, yaitu yang pertama adalah kolusi, kooptasi, dan monitoring, yang kedua kemajuan karier (carrier advancement), dan yang ketiga adalah kohesi sosial (social cohesion).[4] Mengenai kooptasi dan pemantauan adalah mungkin untuk menentukan kooptasi sebagai “penyerapan unsur berpotensi mengganggu dalam struktur pengambilan keputusan organisasi”. Dalam perspektif ini, perusahaan mengundang pada wakil dewan mereka dari berbagai sumber daya dalam rangka untuk mengurangi ketidakpastian lingkungan dan mempertahankan posisi mereka di pasar.

Ada beberapa bahaya yang dapat ditimbulkan oleh adanya jabatan rangkap, yaitu:

1.      menimbulkan keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan jumlah dana (keuangan) yang sangat signifikan kepemilikan bersama secara silang atas saham;

2.      dapat mempengaruhi persaingan usaha dalam berbagai cara seperti pengawasan administratif terhadap investasi yang dapat melahirkan strategi bersama di antara perusahaan terkait dengan masalah harga/tarif, alokasi pasar, praktik monopoli serta kegiatan pasar lainnya;

3.      menimbulkan perjanjian integrasi vertikal pada kegiatan yang dilakukan oleh pemasok dan pelanggan, dapat menghilangkan semangat untuk melakukan kegiatan usaha di daerah pesaing serta menimbulkan persetujuan timbal balik di antara mereka; dan

4.      jabatan direksi apabila tidak diawasi secara efektif, dapat digunakan sebagai alat untuk mengontrol/mengendalikan anak perusahaan secara berlebih.

Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 melarang seseorang menjadi komisaris dan direksi pada suatu perusahaan dan merangkap jabatan di perusahaan yang lain sebagai direksi atau komisaris apabila perusahaan-perusahaan tersebut;

  1. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau
  2. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau
  3. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaa tidak sehat.

Prinsip ketentuan Pasal 26 tersebut tidak melarang mutlak jabatan rangkap. Jabatan rangkap baru dilarang apabila akibat jabatan rangkap tersebut menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Artinya, dengan keberadaan seseorang menjabat direksi atau komisaris di dua perusahaan yang berbeda yang melakukan kegiatan usaha yang sama, terjadi perilaku antipersaingan usaha di pasar yang bersangkutan. Penerapan Pasal 26 terlebih dahulu dilakukan penilaian atas posisi dominan pelaku usaha di mana seseorang menduduki jabatan rangkap pada dua perusahaan yang berbeda.

Apabila pelaku usaha diduga melakukan tindakan antipersaingan karena adanya jabatan rangkap, maka dalam pembuktian perilaku antipersaingan tersebut harus diawali dengan penilaian apakah pelaku usaha tersebut mempunyai posisi dominan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 jo. Pasal 25 ayat (2). Jika pelaku usaha yang saling terkait tersebut mempunyai posisi dominan, hal berikutnya yang perlu dinilai adalah apakah seseorang yang menduduki jabatan rangkap mempunyai pengaruh terhadap perusahaan terkait, terkait dengan kebijakan perusahan mengenai harga, strategi pemasaran perusahaan, managemen perusahaan dan lain-lain. Dengan demikian penegakan ketentuan Pasal 26 adalah dengan menggunakan pendekatan rule of reason.

 

1.      Jabatan Rangkap Horizontal

Larangan jabatan rangkap secara horizontal menurut Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 adalah melarang seseorang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris pada suatu perusahaan, dan pada waktu yang bersamaan menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan yang lain. Pertanyaannya adalah bagaimana persaingan di antara dua perusahaan yang berbeda tetapi terdapat seorang yang menduduki sebagai direksi atau sebagai komisaris. Kedudukan seseorang tersebutlah yang dilarang. Larangan ini bersifat rule of reason, yaitu apabila keberadaan seseorang tersebut pada dua perusahaan yang melakukan kegiatan usaha yang sama dapat mengakibatkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan.

Secara horizontal dua perusahaan yang saling bersaing melakukan strategi bersama yang berkaitan dengan harga, alokasi pasar dan penetapan produksi. Sedangkan secara vertikal dapat meningkatkan efisiensi (propersaingan) dan dapat juga menghambat persaingan di antara pemasok dan pelanggan sehingga menghambat persaingan di antara pemasok dengan membuat perjanjian timbal balik di antara mereka. Bahkan keterkaitan antara jabatan direksi lembaga keuangan dengan jabatan direksi perusahaan nonkeuangan dapat mengakibatkan diskriminasi syarat pembiayaan bagi pesaing dan peran sebagai katalisator dalam upaya memperoleh penguasaan horizontal, vertikal atau konglomerasi.

Dilihat dari perspektif hukum persaingan usaha, maka kedudukan seseorang tersebut perlu dinilai apakah menghambat persaingan usaha tidak sehat pada pasar bersangkutan atau tidak. Penilaian terhadap jabatan rangkap biasanya dilakukan pada proses merger atau akuisisi saham perusahaan. Jika perusahaan melakukan pengambilalihan saham perusahaan yang lain, dan akibat pengambilalihan saham tersebut ditempatkan komisaris atau direksi, maka penempatan tersebut dapat dinilai, apakah nanti dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat di pasar yang bersangkutan atau tidak, maka dinilai kembali melalui besarnya saham yang dimiliki dan pangsa pasar yang dikuasai oleh pelaku usaha yang mengambil alih dan pangsa pasar yang diambil alih (secara horizontal). Artinya, pelaku usaha yang mengambil alih dan yang diambil alih berada pada pasar bersangkutan yang sama.[5]

Dalam proses penggabungan perusahaan atau pengambilalihan saham perusahaan, maka pangsa pasar perusahaan yang akan bergabung atau pangsa pasar perusahaan yang mengambil alih saham perusahaan dan pangsa pasar perusahaan yang akan diambil alih akan dilakukan penilaian, sebelum dan setelah penggabungan atau pengambilalihan saham perusahaan tersebut. Apabila pangsa pasar perusahaan hasil penggabungan atau hasil pengambilalihan saham perusahaan persentasenya menjadi signifikan berpotensi melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat, maka rencana penggabungan atau rencana pengambilalihan saham perusahaan akan dicegah oleh lembaga persaingan usaha, kalau tidak, maka rencana penggabungan atau pengambilalihan saham perusahaan tersebut akan diijinkan.

Akan tetapi pengawasan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan saham perusahan diatur dengan pengawasan kemudian yang dikenal dengan post notifikasi. Namun demikian untuk mengatasi kelemahan sistem post notifikasi, diatur juga konsultasi sebelum penggabungan, peleburan dan pengambilalihan saham perusahaan kepada KPPU.[6]

 Oleh karena itu terhadap pelaku usaha yang akan melakukan penggabungan atau pengambilalihan saham perusahaan lain dilakukan penilaian konsentrasi pasarnya, yaitu dengan penetapan posisi dominan suatu pelaku usaha di pasar yang bersangkutan. Jika konsentrasi pasar hasil penggabungan atau pengambilalihan saham perusahaan rendah tidak dilakukan penilaian menyeluruh.

Sebaliknya jika konsentrasi pasarnya tinggi, maka akan dilakukan penilaian menyeluruh terkait dengan hambatan masuk pasar, perilaku antipersaingan, efisiensi dan kepailitan. Kemudian setelah dilakukan penilaian menyeluruh, maka KPPU akan menetapkan apakah rencana penggabungan atau pengambilalihan tersebut diperbolehkan atau ditolak.

Terhadap seseorang yang sedang menduduki posisi sebagai direksi dan atau sebagai komisaris pada dua perusahaan yang melakukan kegiatan usaha yang sama, unsur penilaiannya adalah apakah dua perusahaan di mana seseorang menduduki posisi direksi atau komisaris pangsa pasarnya dominan pada pasar yang bersangkutan yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Selain penilaian terhadap pangsa pasar kedua perusahaan tersebut juga penilaian pengaruh seseorang yang menduduki jabatan rangkap baik sebagai direksi atau komisaris pada kedua perusahaan tersebut, yaitu apakah pengaruhnya secara langsung atau tidak langsung pada perusahaan tersebut. Bagaimana pengaruhnya terhadap kebijakan perusahaan di bidang harga, manajemen dan mengenai informasi penting tentang perusahaan tersebut. Pembuktian ini tidak mudah, karena tidak bisa didapat bukti langsung mengenai hal-hal tersebut.

 

2.      Jabatan Rangkap Vertikal

Jabatan rangkap secara vertikal terjadi di dua perusahaan yang tidak bergerak di bidang usaha yang sama. Ini disebut perusahaan-perusahaan memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha, yaitu dalam proses produksi suatu barang dari pasar hulu sampai ke pasar hilir. Misalnya perusahaan produsen dengan perusahaan pemasok bahan baku, atau dengan perusahaan distributor atau agen terdapat seorang menjadi direksi di perusahaan produsen, dan orang yang sama menjadi komisaris pada perusahaan pemasok bahan baku, atau pada perusahaan distributor atau agen.

Jabatan rangkap secara vertikal dapat mengakibatkan hambatan persaingan secara vertikal melalui keberadaan seorang yang menduduki jabatan di suatu perusahaan produsen dan juga menduduki sebagai komisaris pada perusaahaan pemasok bahan baku misalnya. Misalnya PT Garuda Indonesia sebagai perusahaan yang melayani jasa penerbangan mempunyai anak perusahaan PT Abacus yang menciptakan sistem pelayanan online ticketing bagi agen-agen Garuda untuk melayani jasa pembelian tiket bagi konsumen.

3.      Contoh Kasus Jabatan Rangkap

Dalam perkembangannya, KPPU menemukan tiga kasus yang berkaitan dengan jabatan rangkap di suatu perusahaan. Kasus pertama diputus KPPU dalam Perkara No.1/KPPU/L/2003 yang memutuskan bahwa telah terjadi pelanggaran Pasal 26 UU No.5 tahun 1999 yang dilakukan oleh PT Garuda dan PT Abacus. Dalam kasus tersebut KPPU menemukan adanya jabatan rangkap, dimana diketahui bahwa dua orang Direksi PT Garuda juga menjabat sebagai komisaris di PT Abacus. Hubungan antara PT Garuda dan PT Abacus adalah perusahaan induk dengan anak perusahaan (hubungan vertikal), dimana PT Garuda sebagai penyedia jasa transporatasi udara dan PT Abacus adalah penyedia Computerized Reservation System (CSR). Bukti dan fakta yang terungkap juga menemukan beberapa pelanggaran lain seperti pelangaran Pasal 14 tentang integrasi vertikal, Pasal 15 tentang perjanjian tertutup, Pasal 17 tentang Monopoli, Pasal 19 a, Pasal 19 b dan Pasal 19 d. Dengan bukti pelanggaran di beberapa pasal tersebut, maka secara otomatis unsur Pasal 26 mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terbukti secara sah dan meyakinkan.

B.     Pengertian dan Ruang Lingkup Pemegang Saham Mayoritas

Berdasarkan pemahaman dari Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999, maksud dari kepemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan adalah kepemilikan saham dalam suatu perusahaan yang mengakibatkan pemegang saham tersebut memegang kendali atas manajemen dan penentuan arah, strategi, dan jalannya kegiatan usaha, termasuk tetapi tidak terbatas pada pembagian keuntungan, dan tindakan korporasi seperti penyertaan modal, penggabungan, peleburan, dan atau pengambil-alihan. Yang perlu diperhatikan adalah cara bagaimana dia memiliki saham tersebut sehingga menjadi pengendali dan cara bagaimana dia menggunakannya.

Sedangkan maksud dari pendirian beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama adalah pelaku usaha mendirikan perusahaan baru baik pada waktu yang bersamaan maupun waktu yang berbeda, dengan cara (i) pendirian baru, (ii) penggabungan atau (iii) peleburan yang berdampak pada terciptanya posisi dominan sehingga berakibat timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat.

Tindakan kepemilikan saham mayoritas atau pendirian perusahaan baru tersebut melanggar persaingan usaha dalam hal tindakan tersebut menciptakan posisi dominan, karena terciptanya penguasaan pasar oleh suatu kelompok usaha atau oleh beberapa kelompok usaha akan meniadakan iklim persaingan usaha yang sehat, yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat.[7]

 

1.      Penjabaran Unsur-Unsur

Dari perumusan Pasal 27 UU No.5 Tahun 1999 tersebut terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

1)      Unsur Pelaku Usaha

Pelaku usaha, menurut ketentuan pasal 1 angka 5 dari UU No.5 Tahun 1999 adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

2)      Unsur Saham Mayoritas

Kepemilikan saham mayoritas adalah bentuk penguasaan terhadap bagian modal perusahaan yang berakibat bahwa pemegang saham yang bersangkutan memegang kendali terhadap manajemen, penentuan arah, strategi, dan kebijakan perusahaan termasuk tapi tidak terbatas pada kebijakan pengambilan tindakan korporasi (corporate actions), penentuan direksi Tahun komisaris, pelaksanaan hak veto, akses terhadap informasi sensitif (private information), pembagian keuntungan, penggabungan, peleburan, dan atau pengambilalihan;

3)      Unsur Perusahaan

Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba, termasuk perusahaan-perusahaan yang dimiliki atau bernaung di bawah lembaga-lembaga sosial. Sejalan dengan ketentuan Pasal 27 UU No.5 Tahun 1999, pengertian perusahaan meliputi segala jenis perusahaan baikyang berbadan hukum dan mengenal konsep kepemilikan saham, yaitu perseroan terbatas, maupun yang tidak berbadan hukum.

4)      Unsur Pasar Bersangkutan

Pasar bersangkutan, menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 UU No.5 Tahun 1999 adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.

5)      Unsur Mendirikan Beberapa Perusahaan

Mendirikan beberapa perusahaan berarti membentuk lebih dari satu perusahaan.

6)      Unsur Pangsa Pasar

Pangsa pasar, menurut ketentuan Pasal 1 angka 13 UU No.5 Tahun 1999 adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.

Pangsa pasar yang digunakan dalam menilai pemilikan saham yang dilarang, adalah apabila mengakibatkan :

1 (satu) pelaku usaha atau 1 (satu) kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, atau 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.[8]

2.     Kepemilikan Saham Mayoritas yang Dilarang

Untuk mengetahui apakah suatu kepemilikan saham mayoritas oleh suatu pelaku usaha dilarang oleh UU No. 5/1999, maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

a)      Pelaku usaha memiliki saham mayoritas pada dua atau lebih perusahaan/perseroan;

b)      Kepemilikan saham mayoritas tersebut, dengan tetap memperhatikan apa yang diatur dalam anggaran dasar perseroan, memberikan kewenangan yang lebih besar dengan melakukan pengendalian atas perseroan;

c)      Dua atau lebih perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang sejenis;

d)     Dua atau lebih perusahaan tersebut melakukan kegiatan usaha pada pasar bersangkutan yang sama; dan

e)      Kepemilikan pelaku usaha pada dua atau lebih perusahaan tersebut mengakibatkan satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai pangsa pasar sebesar 50% atas suatu barang/jasa atau menguasai pangsa pasar sebesar 75% atas suatu barang/jasa.

Berikut penjelasan lebih lanjut atas kelima pertimbangan di atas:

1)      Pelaku usaha memiliki saham mayoritas pada dua atau lebih perusahaan.

Kepemilikan saham mayoritas yang dilarang adalah bentuk penguasaan terhadap modal perusahaan yang berakibat pada pemegang saham tersebut dapat memegang kendali terhadap manajemen, penentuan arah, strategi, dan kebijakan perusahaan, termasuk tapi tidak terbatas pada penentuan direksi/komisaris, penentuan hak veto, akses terhadap informasi sensitif (private information), pembagian keuntungan dan tindakan korporasi (corporate actions) termasuk tetapi tidak terbatas pada penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, divestasi, investasi, pencatatan saham pada bursa, privatisasi.

Kendali yang dimaksud adalah baik kendali dengan memiliki proporsi jumlah saham secara kumulatif lebih besar yang dimiliki oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha dibandingkan dengan jumlah saham yang dimiliki oleh pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha lain atas badan usaha yang sama. Misalkan suatu perusahaan dimiliki oleh tiga pelaku usaha dengan komposisi kepemilikan 40%, 35%, dan 25%, maka yang disebut sebagai saham mayoritas pada contoh ini adalah kepemilikan 40%. Pemilikan saham mayoritas yang diatur oleh undang-undang ini adalah kepemilikan saham mayoritas pada dua atau lebih perusahaan. Jadi dalam hal pemilikan saham mayoritas pada satu perusahaan, maka kepemilikan saham tersebut tidak melanggar ketentuan pasal 27 UU No. 5/1999.

Selain itu dikenal juga kendali bentuk lain yaitu walaupun memiliki saham tidak dalam jumlah terbanyak tetapi cukup untuk pengambilan keputusan strategis dalam rapat umum pemegang saham.

Praktek kepemilikan saham silang paling berpotensi menghambat persaingan apabila:

a.        Pemegang saham yang menguasai dua atau lebih perusahaan pada pasar bersangkutan yang sama dapat menentukan/menempatkan perwakilan dalam struktur direksi/komisaris perusahaan yang bersangkutan;

b.        Pemegang saham yang menguasai dua atau lebih perusahaan pada pasar bersangkutan yang sama memiliki hak suara (voting right) serta dapat menjalankan (excercise) hak tersebut untuk menentukan kebijakan strategis dan operasional perusahaan yang bersangkutan;

c.        Pemegang saham yang menguasai dua atau lebih perusahaan pada pasar bersangkutan yang sama memiliki dan menggunakan akses terhadap informasi intern (private information) perusahaan yang bersangkutan.

 

2)      Dua atau lebih perusahaan tersebut melakukan kegiatan usaha pasar bersangkutan yang sama.

Dalam penerapan Pedoman ini, perlu diketahui apakah dua atau lebih perusahaan yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut melakukan kegiatan usaha dalam pasar bersangkutan yang sama.

Pasar bersangkutan yang sama dalam pengertian Pedoman ini adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut. Jadi dalam hal ini, dua atau lebih perusahaan pada pasar bersangkutan yang sama merupakan dua atau lebih perusahaan yang menghasilkan produk yang sama atau sejenis atau saling bersubtitusi pada wilayah pemasaran yang sama. Sebagai contoh, dua atau lebih perusahaan yang sama-sama menghasilkan dan memasarkan produk sepeda motor di propinsi DKI Jakarta, merupakan dua atau lebih perusahaan yang berada pada pasar bersangkutan yang sama.

3)      Kepemilikan pelaku usaha pada dua atau lebih perusahaan tersebut mengakibatkan satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai pangsa pasar sebesar 50% atas suatu barang/jasa; atau menguasai pangsa pasar sebesar 75% atas suatu barang/jasa.

Pengertian pangsa pasar berdasarkan Pedoman ini adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu. Dengan demikian, penilaian pangsa pasar berdasarkan Pedoman ini adalah nilai penjualan yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam tahun tertentu.

Penerapan pangsa pasar pada Pedoman ini tidak hanya terbatas pada pangsa pasar yang telah terjadi, tetapi juga dapat mencakup pangsa pasar yang diharapkan terjadi berdasarkan penilaian yang dilakukan. Jadi, dalam menilai apakah kepemilikan saham mayoritas tersebut mengakibatkan pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai batasan pangsa pasar yang ditetapkan, maka perlu diperhatikan gabungan pangsa pasar yang dimiliki atau berpotensi dimiliki oleh pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha sebagai akibat kepemilikan saham mayoritasnya pada dua atau lebih perusahaan. Berikut bagan contoh pemilikan saham mayoritas yang dilarang oleh Pedoman ini.

3.      Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Untuk Menganalisa Adanya Pemilikan Saham Yang Dilarang

Dalam UU No. 5/1999, pemilikan saham yang dilarang merupakan bagian dari pengaturan mengenai posisi dominan. Pendekatan yang digunakan dalam menganalisa Pasal 27 UU No.5/1999 tersebut bersifat per se illegal, artinya terhadap pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi hukum tanpa terlebih dahulu dinilai apakah tindakan tersebut menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat.

4.     Dampak Pemilikan Saham Mayoritas

Terdapat beberapa dampak yang ditimbulkan akibat pemilikan saham mayoritas dan atau pendirian beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama yang menghambat persaingan usaha sehat, yaitu antara lain:

a.       Melalui pemilikan saham mayoritas serta dengan pendirian beberapa perusahaan yang mengakibatkan timbulnya integrasi horisontal atau posisi dominan di pasar yang bersangkutan, maka potensi pelanggaran prinsip persaingan usaha yang sehat menjadi besar. Hal ini terwujud dalam bentuk munculnya hambatan persaingan atau reduksi dari intensitas persaingan antar perusahaan yang bergerak dalam pasar bersangkutan yang sama.

b.      Melalui pemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan pemegang posisi dominan, maka secara faktual pelaku usaha memiliki kekuatan untuk mengontrol pasar yang bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan kerugian kepada masyarakat. Dalam hal inilah pengaturan yang mendistorsi pasar seperti penetapan harga, pengaturan pasokan dan beberapa perilaku pengaturan lainnya.

5.      Contoh Kasus Pemilikan Saham Mayoritas

Berikut adalah contoh pemilikan saham mayoritas dan pendirian beberapa perusahaan yang dilarang.

a.      Kasus Pemilikan Saham Mayoritas Bioskop

Kegiatan jasa distribusi dan jasa penayangan film impor yang berbentuk gulungan pita seluloid 22 milimeter dan duplikatnya. Kegiatan usaha ini dilakukan oleh suatu kelompok usaha bioskop first round, yaitu bioskop „XY“. Di suatu ibukota propinsi, yaitu kota M, terdapat beberapa jenis kelompok bioskop, yaitu kelompok bioskop „OB“, bioskop „MU“, dan bioskop „XY“.

Berdasarkan kegiatan usaha dan barang/jasa yang ditawarkan, hanya kelompok „OB“ dan „MU“ yang berada pada pasar bersangkutan yang sama. Berdasarkan pengamatan, diketahui bahwa kelompok bioskop-biosokop „XY“ yang terdapat di kota tersebut dimiliki oleh PT. ABC dan PT. DEF. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kedua perusahaan tersebut menguasai pasar bioskop first round. Di saat yang sama, juga diketahui bahwa 98% saham PTl. ABC dan 70% saham PT. DEF dimiliki oleh PT. XYZ. Dengan demikian, secara langsung dapat dkatakan PT. XYZ memiliki posisi dominan atas produk atau jasa tersebut.

Bentuk pemilikan ini merupakan pemilikan saham mayoritas yang dilarang oleh Pasal 27 UU No.5/1999, karena:

a)      PT. XYZ memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan, yaitu 98% pada PT. ABC dan 70% pada PT. DEF, yang melakukan kegiatan usaha di bidang usaha yang sama, yaitu bidang usaha bioskop first round, dan pada pasar bersangkutan yang sama, yaitu kota M.

b)      Pemilikan tersebut mengakibatkan PT. XYZ menguasai seluruh pasar bioskop first round di kota M.

 

b.      Kasus kepemilikan saham oleh satu perusahaan terhadap beberapa perusahaan sejenis.

PT. A merupakan perusahaan holding yang memiliki saham di dua perusahaan yang bergerak di bidang yang sama yaitu PT. D dan PT. S, pangsa pasar dari kedua perusahaan tersebut masing-masing adalah sebesar 35 % dan 45%. Diantara kedua perusahaan tersebut terdapat perbedaan posisi kepemilikan saham dari PT A dimana pada PT D, PT A berperan sebagai pemegang saham mayoritas sedangkan pada PT S, PT A tidak berperan sebagai pemegang saham mayoritas. Pada kedua perusahaan tersebut, PT A menempatkan perwakilannya di jajaran Direksi dan Komisaris.

Pada keadaan tersebut, meskipun PT A hanya menjadi pemegang saham mayoritas di salah satu perusahaan yang dalam hal ini adalah PT D dan tidak menjadi pemegang saham mayoritas di PT S namun PT A dapat dikategorikan sebagai pemegang saham mayoritas pada kedua perusahaan tersebut melalui komposisi sahamnya di PT A dan kewenangan yang dimilikinya pada PT D dan PT S. Melalui kewenangan di PT D dan PT S, PT A memiliki kewenangan yang strategis dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis dalam RUPS di PT S. Bentuk kepemilikan saham seperti ini merupakan bentuk kepemilikan saham yang dilarang oleh Pasal 27 UU No.5/1999 karena berdasarkan komposisi kepemilikan saham PT A pada PT D dan PT S, PT A memiliki posisi sebagai pemegang saham mayoritas yang diindikasikan dari komposisi saham yang mayoritas di salah satu perusahaan dan kemampuan untuk mengendalikan (ability to control) di kedua perusahaan tersebut melalui perwakilannya di jajaran direksi dan komisaris di PT D dan PT. S.[9]

 

 

 


 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Salah satu tindakan yang dilarang dalam Undang-undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah mengenai rangkap jabatan (interlocking directorate) yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan Pasal 26 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi aau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan tersebut: (a) berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau (b) memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan aau jenis usaha; atau (c) secara bersama-sama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Selanjutnya dalam Pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999 yang mengatur pemegang saham mayoritas maksud dari kepemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan adalah kepemilikan saham dalam suatu perusahaan yang mengakibatkan pemegang saham tersebut memegang kendali atas manajemen dan penentuan arah, strategi, dan jalannya kegiatan usaha, termasuk tetapi tidak terbatas pada pembagian keuntungan, dan tindakan korporasi seperti penyertaan modal, penggabungan, peleburan, dan atau pengambil-alihan.

Tindakan kepemilikan saham mayoritas atau pendirian perusahaan baru tersebut melanggar persaingan usaha dalam hal tindakan tersebut menciptakan posisi dominan, karena terciptanya penguasaan pasar oleh suatu kelompok usaha atau oleh beberapa kelompok usaha akan meniadakan iklim persaingan usaha yang sehat, yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat.

 

 

 

Daftar Pustaka

I.            Buku dan Jurnal Ilmiah

Francesca di Donato dan Riccardo Tiscini, Cross Ownership and Interlocking Directorates Between Bank and Listed Firms: An Empirical Analysis of the Effects on Debts Leverage and Cost of Debt in Italian Case, Corporate Ownership and Control, Volume 6, Issue 3, Spring, 2009

Normin S.Pakpahan, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Proyek Elips, 1994.

Sitompul, Asril. Praktek Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999). Cet I. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999.

II.            Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No.5 tahun 1999, LN No.33 Tahun 1999, TLN No.3817

Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010

KPPU, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tentang Rangkap Jabatan. (Perkom) No.7 tahun 2010.

KPPU, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tentang Pemilikan Saham. (Perkom) No.7 tahun 2011.

 



[1] Peraturan Komisi No. 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 26 tentang Jabatan Rangkap, hal. 5.  

[2] Asril Sitompul, Praktek Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999),  cet I, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.40-41.

[3] Normin S.Pakpahan, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Proyek Elips, 1994), hal. 19.

[4] Francesca di Donato dan Riccardo Tiscini, Cross Ownership and Interlocking Directorates Between Bank and Listed Firms: An Empirical Analysis of the Effects on Debts Leverage and Cost of Debt in Italian Case, Corporate Ownership and Control, Volume 6, Issue 3, Spring, 2009, hal. 475.  

[5] Pasal 26 huruf a UU No. 5 Tahun 1999.  

[6] Pengawasan Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Saham Perusahaan menurut Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010.

[7] Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 27 (Pemilikan Saham) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[8] Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 27 (Pemilikan Saham) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[9] Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 27 (Pemilikan Saham) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.