Selain diselesaikan
lewat pengadilan, penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat pula
dilakukan di luar Pengadilan atau melalui jalur non litigasi. Dalam
penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, para pihak yang membuat akad
sebelumnya harus sepakat bahwa ketika ada masalah perselisihan dalam
pelaksanaan akad, maka para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui jalur
mediasi oleh lembaga yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. Bila
setelah mediasi ternyata para pihak yang berselisih tidak menemukan kata
sepakat, maka penyelesaian perselisihan dilakukan di Pengadilan sesuai dengan
amanat Undang-undang. Penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar
Pengadilan dapat ditempuh melalui beberapa lembaga antara lain Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Basyarnas dan OJK adalah lembaga yang dapat membantu
menyelesaikan sengketa perbankan syariah antar para pihak yang membuat
kesepakatan dalam akad. Sesuai dengan amanat undang-undang, kedua lembaga ini
memiliki legitimasi untuk menyelesaikan sengketa dalam bidang jasa keuangan
(syariah) sesuai fungsinya masing-masing. Kedua lembaga tersebut memiliki
prosedur dan mekanisme dalam menyelesaikan perselisihan antar para pihak. Namun
demikian, sebelum perselisihan mengenai perbankan syariah diselesaikan melalui
Basyarnas atau OJK, sebaiknya para pihak terlebih dahulu menyelesaikan
perselisihannya secara internal dengan bank syariah tempat melakukan akad
perjanjian syariah. amanat undang-undang.[1]
B. PENYELESAIAN SENGKETA SECARA INTERNAL
DALAM BANK SYARIAH
Para pihak yang berselisih, dalam hal ini adalah antara nasabah dan bank
syariah dapat menyelesaikan perselisihannya secara internal melalui dialog
untuk menemukan solusi atas perselisihan mereka. Pada umumnya perselisihan
antara nasabah dan bank syariah dalam pelaksanaan akad syariah adalah terkait
dengan hak dan kewajiban para pihak misalnya masalah pembayaran angsuran atau
angsuran telah dilunasi namun agunan masih ditahan oleh pihak bank.
Penyelesaian perselisihan bank syariah secara internal antara nasabah dan bank
syariah dapat diselesaikan melalui struktur bank syariah yang bertugas
memberikan pelayanan bagi nasabah bank syariah seperti Divisi Bisnis Konsumen (Consumer
Business Division) atau Divisi Pengadaan dan layanan Umum (Procurement
and General Service Division).
Penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank syariah
secara internal akan memberi manfaat bagi kedua pihak yang berselisih yaitu
masalah perselisihan mereka tidak perlu dilanjutkan penyelesaiannya di luar
institusi bank syariah seperti OJK dan Basyarnas. Sengketa perbankan syariah
antara nasabah dan bank syariah di luar bank syariah akan membawa konsekuensi
yuridis yang tidak diinginkan oleh salah satu pihak seperti adanya sanksi oleh
OJK kepada bank syariah apabila terbukti bersalah melalaikan hak-hak nasabah
atau pembebanan biaya penyelesaian sengketa oleh Basyarnas kepada salah satu
pihak yang berperkara.[2]
C. PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI MEKANISME PENGADUAN KE OJK
OJK adalah sebuah lembaga independen yang dibentuk
berdasarkan amanat UURI No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UURI No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Berdasarkan amanat Undang-Undang BI
tersebut, Presiden atas persetujuan bersama DPR menetapkan UURI No. 21 Tahun
2011 tentang OJK. Sebagai sebuah lembaga pengawasan sektor jasa keuangan, OJK
bersifat independen dan bebas dari campur tangan pihak manapun. OJK mempunyai
fungsi, tugas dan wewenang dalam bidang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan
penyidikan pada sektor jasa keuangan. Secara filosofis tugas OJK adalah bersama
dengan stakeholders lainnya turut berperan dalam menyukseskan pembangunan
ekonomi nasional yang melalui tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance). Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, OJK mengusung
Visi: Menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya,
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan mampu mewujudkan industri
jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global
serta dapat memajukan kesejahteraan umum. Sebagai bentuk implementasi dari visi
OJK tersebut, salah satu misi lembaga yang diusung adalah mewujudkan
terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara teratur,
adil, transparan, dan akuntabel.
Bank syariah sebagai lembaga jasa keuangan di Indonesia
menjadi bagian dari objek pengawasan yang dilakukan
oleh OJK.
Perselisihan antara nasabah dan bank syariah juga dapat diselesaikan melalui
mekanisme pengaduan nasabah bank syariah ke OJK. Nasabah yang bermasalah dengan
bank syariah, ataupun nasabah meragukan kerjasamanya dengan bank syariah, dapat
melaporkannya pada OJK sebagai lembaga pengawas industri jasa keuangan yang
dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa pada sektor keuangan
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu
mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.[3]
Derasnya arus perubahan sosial kemasyarakatan di era
globalisasi termasuk dalam sistem perbankan syariah nasional dan semakin
pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta berbagai inovasi dan
kreasi dalam membuat produk jasa layanan perbankan syariah, telah menciptakan
sebuah sistem perbankan syariah yang begitu kompleks, dinamis, dan saling
terkait dalam hal produk maupun kelembagaan bank syariah. Interaksi dan
transaksi antara nasabah dan bank syariah sebagai lembaga jasa keuangan semakin
kompleks yang tidak menutup kemungkinan akan terjadinya sebuah pengabaian
terhadap perlindungan nasabah baik disengaja maupun tidak.
Perlindungan nasabah di sektor perbankan syariah
bertujuan untuk menciptakan sebuah sistem perlindungan konsumen yang andal,
meningkatkan pemberdayaan konsumen, dan menumbuhkan kesadaran dari para pelaku
usaha jasa keuangan tentang pentingnya perlindungan konsumen sehingga
kepercayaan masyarakat akan semakin meningkat. Apabila terdapat produk dan
layanan sebuah bank syariah berpotensi merugikan masyarakat, maka OJK
berwenag untuk menghentikan
kegiatannya.
OJK telah menyiapkan sistem pelayanan dan mekanisme
pengaduan bagi nasabah yang merasa
dirugikan dan
memfasilitasi pengaduan tersebut. Masyarakat hendaknya memanfaatkan layanan
konsumen ini sebaik mungkin. Namun demikian, sebelum melakukan pengaduan ke OJK
sebaiknya nasabah yang merasa dirugikan oleh bank syariah berupaya untuk
menyelesaikan masalahnya terlebih dulu secara kekeluargaan. Apabila masalahnya
belum selesai, maka upaya penyelesaian dapat ditempuh dengan membuat laporan
atau pengaduan pada layanan konsumen OJK. Pengaduan konsumen dapat dikirim
melalui Pos, fax, telepon atau membuka website OJK dan mengirimkan e-mail
pengaduan. OJK hanya akan memproses pengaduan dengan informasi dari konsumen
yang jelas dan akurat seperti adanya bukti penyampaian pengaduan pada LJK,
identitas diri pelapor, deskripsi pengaduan dan dokumen pendukung yang diperlukan.
Dalam konteks perlindungan hukum terhadap konsumen pada
sektor jasa keuangan, OJK menerbitkan Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Prinsip-prinsip perlindungan
konsumen menurut ketentuan ini adalah keterbukaan (transparansi), perlakuan
yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi dari konsumen dan
penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau.[4] Peraturan
OJK ini mengatur tentang kewajiban pelaku usaha seperti bank syariah
untuk bertanggung jawab atas kerugian nasabah yang disebabkan oleh kelalaian
pelaku usaha dan kewajiban untuk menjaga keamanan simpanan atau aset konsumen
yang berada dalam tanggung jawabnya.[5]
D. PENYELESAIAN SENGKETA
MELALUI BADAN SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS).
Basyarnas adalah sebuah lembaga arbitrase yang bertugas
untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa antara para pihak yang membuat
akad ekonomi syariah. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah oleh Basyarnas
adalah upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang biasa disebut
jalur non litigasi. Tujuannya adalah guna mencapai penyelesaian perselisihan
ketika upaya penyelesaian secara musyawarah tidak menemukan kata mufakat.
Basyarnas adalah satu-satunya lembaga arbitrase syariah di Indonesia. Secara
formal eksistensi Basyarnas memiliki dasar yuridis yang kuat. Peraturan
perundang-undangan di Indonesia memberikan peluang bagi para pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya di luar pengadilan.
Undang-Undang RI No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Penyelesaian Sengketa Alternatif dan Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman mengatur Arbitrase tentang upaya penyelesaian sengketa
perdata dapat dilakukan di luar Pengadilan negara melalui arbitrase atau
penyelesaian sengketa alternatif. Basyarnas adalah lembaga yang tepat dalam
menyelesaikan sengketa perbankan syariah secara cepat dan fair berdasarkan
prinsip syariat Islam. Perbankan syariah di Basyarnas harus diawali dengan
adanya kesepakatan para pihak yang berakad bahwa ketika terjadi perselisihan,
maka penyelesaian akan ditempuh melalui Basyarnas.
Basyarnas pada mulanya bernama Badan
Arbitrase
Muamalat yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan SK No.
Kep-392/MUI/V/1992. Pendirian badan Arbitrase Muamalat ini dilakukan di tahun
yang sama dengan Badan Arbitrase pendirian Bank Muamalat sebagai bank syariah
nasional pertama di Indonesia. Tujuannya adalah untuk menangani dan
menyelesaikan sengketa antara nasabah dan bank syariah. Seiring dengan semakin bertambahnya
jumlah bank syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) di Indonesia, sehingga Badan
Arbitrase Muamalat diubah menjadi Basyarnas yang perubahan status dan nama
kelembagaannya berdasarkan SK MUI No. Kep- 09/MUI/XII/2003 tertanggal 24
Desember 2003. Kedudukan Basyarnas adalah sebagai sebuah badan milik MUI.
Kehadiran Basyarnas sebagai
lembaga arbitrase atas sengketa perbankan syariah sangat diharapkan oleh umat
Islam di Indonesia. Semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan layanan jasa
perbankan syariah sejalan dengan kebutuhan masyarakat pengguna jasa perbankan
syariah akan keberadaan Basyarnas yang berfungsi menyelesaikan sengketa antar
para pihak yang berselisih. Pendirian Basyarnas oleh MUI bertujuan untuk:
1. Menyelesaikan
perselisihan/sengketa keperdataan dengan prinsip perdamaian
(ishlah);
2. Menyelesaikan perselisihan dengan
cepat dan adil atas sengketa-sengketa muamalah yang timbul dalam bidang
perekonomian syariah;
3. Memberikan suatu pendapat yang
mengikat atas suatu persoalan yang berkaitan dengan akad-akad syariah;
4. Menyelesaikan sengketa-sengketa
antara bank-bank syariah/ lembaga keuangan syariah dan nasabah dengan syariat
Islam sebagai dasarnya.
Penyelesaian sengketa perbankan syariah di Basyarnas
dilakukan dengan sistem persidangan. Pemeriksaan perkara pada sidang arbitrasi
dilakukan oleh majelis yang beranggotakan 3 (tiga) orang arbiter. Sidang
perkara secara arbitrase dilakukan secara tertutup dengan upaya penyelesaian
secara damai melalui upaya islah bagi para pihak yang berselisih. Jika upaya
perdamaian tidak tercapai, proses pemeriksaan dilanjutkan secara arbitrase dengan mendengarkan keterangan
kedua belah pihak secara seimbang disertai dengan bukti-bukti yang diajukannya.
Putusan Basyarnas dilakukan secara musyawarah oleh majelis arbiter berdasarkan
syariat Islam.
Sengketa
perbankan syariah yang diselesaikan melalui lembaga arbitrase memiliki beberapa
kelebihan antara lain:
1. Pelaksanaannya mengutamakan
pendekatan musyawarah menyelesaikan sengketa dengan jalan damai (ishlah);
2. Sidang arbiter perbankan syariah
bersifat tertutup, sehingga hak-hak keperdataan para pihak terlindungi dan
tidak perlu diketahui oleh masyarakat umum. Hanya para pihak yang bersengketa
dan pihak lain yang terkait dengan sengketa yang diperkenankan hadir dalam
sidang arbitrase;
3. Proses penyelesaian sengketa oleh
arbiter berlangsung cepat dan efisien, dengan putusan majelis arbitrase yang
bersifat final dan mengikat. Tidak dikenal adanya suatu upaya hukum untuk
mengoreksi putusan majelis sebelumnya sebagaimana yang terjadi di Pengadilan;
4. Putusan majelis arbitrase memiliki
kekuatan eksekutorial. Sesuai ketentuan Pasal 59 UURI No. 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan Kehakiman. Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase termasuk arbitrase
syariah dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri (umum).
Menurut hemat penulis, eksekusi putusan arbitrase syariah
yang dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri menjadi rancu
sebab putusan MK No. 93/PUU- X/2012 terhadap penyelesaian sengketa perbankan
syariah di Indonesia jelas menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UURI
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UURI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (LNRI Tahun 2008 No. 94, TLNRI No. 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Putusan MK ini menegaskan bahwa satu-satunya pranata Pengadilan yang
berwenang memeriksa dan memutus sengketa perbankan syariah adalah Pengadilan
Agama. Oleh sebab itu, maka sudah sewajarnya bila eksekusi putusan Basyarnas
dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Agama.
Masyarakat pengguna jasa layanan perbankan syariah perlu
menyadari hak dan kewajibannya sebagai nasabah yang tertuang di dalam akad
syariah. Pada prinsipnya, hak salah satu pihak adalah kewajiban bagi pihak lain
demikian pula sebaliknya. Ketika para pihak menyadari hak dan kewajibannya
untuk menunaikan akad sesuai kesepakatan bersama di awal akad, maka sengketa
perbankan syariah dapat dihindari. Namun demikian jika dalam pelaksanaan akad
syariah tidak dapat dihindari terjadinya perselisihan yang berujung pada
sengketa perbankan syariah, maka para pihak dapat menyelesaikannya melalui
jalur arbitrase sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.[6]
[1]
Muammar Arafat Yusmad, Aspek Hukum Perbankan
Syariah dari Teori Ke Praktik (Yogyakarta: Deepublish, 2018) hal.197
[2]
Muammar Arafat Yusmad, Aspek Hukum Perbankan
Syariah dari Teori Ke Praktik (Yogyakarta: Deepublish, 2018) hal.198
[3]
Muammar Arafat, Harmoni Hukum Indonesia
(Makassar: Aksara Timur, 2015) hal 17
[4]
Muammar Arafat, Harmoni Hukum Indonesia
(Makassar: Aksara Timur, 2015) hal 17
[5]
Muammar Arafat Yusmad, Aspek Hukum Perbankan
Syariah dari Teori Ke Praktik (Yogyakarta: Deepublish, 2018)hal.202
[6]
Muammar Arafat Yusmad, Aspek Hukum Perbankan
Syariah dari Teori Ke Praktik (Yogyakarta: Deepublish, 2018)hal. 207