Aneka Cara Pembedaan Hukum


Segala sesuatu yang dibatasi oleh waktu dan tempat pada dasarnya dapat dipelajari untuk dibandingkan dan untuk diketahui persamaan dan perbedaan dari yang menjadi perbandingannya itu dan juga dari System hukum seperti yang telah dibahas dan dipelajari dalam perbandingan hukum dari berbagai cabang ilmu hukum seperti hukum pidana, tata Negara dan sebagainya, dari hasil studi ini dapat ditemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan di dalam suatu system hukum yang disebabkan karena perbedaan waktu atau Negara. Dari hasil studi yang antara lain dilakukan oleh metode studi yang dinamakan perbandingan hukum tersebut (bisa dengan metode lain), antara lain bisa ditemukan perbedaan-perbedaan yang menarik untuk diketahui tentang sesuatu di dalam hukum itu. Untuk hal ini terdapat aneka cara pembedaan hukum, diantaranya yang dibedakan adalah antara pasangan-pasangan hukum sebagai berikut:

1.      Ius Constitutum dan Ius Constituendum
a.      Ius Constitutum (hukum positif) ialah hukum yang berlaku dalam suatu Negara pada saat sekarang. Hukum yang berlaku sekarang ini di Indonesia dinamakan ius constitutum atau bersifat hukum positif atau juga sering disebut ”tata hukum” Indonesia.
b.      Ius Constituendum ialah hukum yang diharapkan atau dicita-citakan berlaku pada waktu yang akan datang. Ius Constituendum masih belum menjadi norma dalam bentuk formil (undang-undang atau bentuk lainnya).
Seperti dikatakan oleh W. L.G. Lemdire (1952) bahwa hukum menerbitkan pergaulan hidup manusia suatu tempat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Ia merupakan hasil perkembangan sejarah yang terbentuk dan akan hilang. Jadi bisa dikatakan bahwa, Ius Constitutum sekarang adalah Ius Constituendum pasa masa lampau.
Oleh purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1980) ditegaskan bahwa perbedaan Ius constitutum dengan Ius Constituendum merupakan suatu abstraksi dari fakta bahwa sesungguhnya segala sesuatu merupakan suatu proses perkembangan.
Pendapat yang ditengahkan oleh Sudiman Kartohadiprodjo (Purnadi Purbacaraka - Soerjono Soekanto, 1980). Perbedaan keduanya didasarkan pada perkembangan sejarah tata hukum tertentu.

2.      Hukum Substantif dan Hukum Adjektif
a.      Hukum Materiil (substantif) ialah hukum yang mengatur isi daripada hubungan-hubungan hukum (rechtsverhouding, rechtsbetrekking) dalam masyarakat. Hubungan-hubungan hukum dalam lapangan perdata diatur oleh hukum perdata dan hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum public diatur oleh hukum public.
b.      Hukum Formil (adjektif) ialah hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya mempertahankan atau menegakkan hukum materiil. Hukum Formil ini bisa juga disebut hukum acara, yang terdiri atas hukum acara perdata, hukum acara pidana dan hukun acara tata usaha Negara.

·         Menurut Sumbernya :
                                                                                  I.            Sumber hukum formal, terdiri dari :
v  Hukum undang-undang;
Undang-undang dalam arti material (wet in materiele zin) adalah “setiap keputusan atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa yang berwenang yang isinya mengikat secara umum” atau setiap “keputusan atau ketetapan pemerintah atau penguasa yang berwenang yang memuat ketentuan-ketentuan umum” atau “peraturan-peraturan umum yang dibuat oleh penguasa yang berwenang”
v  Hukum kebiasaan/hukum adat;
Hukum Kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang tetap, dilakukan berulang-ulang dalam rangkaian perbuatan yang sama dan dalam waktu yang lama.
v  Hukum Traktat (perjanjian);
Perjanjian internasional dipergunakan sebgai sumber hukum dalam arti formal, karena itu harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional.
v  Hukum yurisprudensi;
Berasal dari kata jurisprudential (bahasa latin) yang berarti “pengetahuan hukum” (rechtsgeleerdheid), dalam bahasa inggris jurisprudence artinya ilmu hukum atau ajaran hukum umum atau teori hukum umum (algemene rechtsleer atau general theory of law).
v  Doktrin hukum (pendapat atau ajaran ahli hukum).
Doktrin atau ajaran-ajaran atau pendapat para ahli hukum/sarjana hukum terkemuka dan berpengaruh, besar pengaruhnya terhadap hakim dalam mengambil putusan.
                                                                                II.            Sumber hukum material, terdiri dari :
v  Filosofis (menurut filosofi),
v  Ekonomi,
v  Sosiologis (hukum yang disesuaikan dengan fakta sosial),
v  Agamis (menurut kepercayaan),
v  Historis (dengan mempertimbangkan sejarah).

3.      Hukum Fakultatif dan Hukum Imperatif
a.      Hukum Pelengkap (fakultatif/aanvullend recht) ialah peraturan hukum yang boleh dikesampingkan atau disampingi oleh orang-orang yang berkepentingan. Peraturan hukum yang mana hanya berlaku apabila orang-orang berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya. Seperti tentang bentuk perjanjian boleh tertulis dan boleh tidak tertulis, boleh dilakukan atau dibuat dihadapan notaris atau di bawah tangan.
b.      Hukum Memaksa (imperative/dwingend recht) ialah peraturan hukum yang secara a priori harus ditaati dan tidak boleh dikesampingkan atau disampingi oleh orang-orang yang berkepentingan. Misalnya “setiap Perjanjian harus memenuhi ketentuan pasal 1320 BW tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.”
Menurut Van Apeldoorn, istilah hukum yang memaksa (dwingend recht) merupakan istilah yang menyesatkan karena semua hukum dapat dipaksakan. Kata “memaksa” dalam hal ini dimaksudkan bahwa pembuat undang-undang tidak memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk menerapkan atau tidak menerapkan aturan itu. Dengan perkataan lain, aturan itu tidak boleh disampingi oleh mereka yang melakukan hubungan hukum. Ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa itu berlaku bagi para pihak yang bersangkutan, maupun hakim itu sendiri, sehingga hukum itu harus diterapkan meskipun para pihak berkepentingan mengatur sendiri hubungan mereka. Sebagai contoh adalah ketentuan Pasal 913 Burgerlijk Wetboek Indonesia yang berbunyi :
            Legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah suatu bagian dari harta benda yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat.
            Dari beberapa ahli hukum yang intinya berkisar pada penekanan bahwa;“hukum imperative adalah paksaan dan fakultatif adalah pelengkap, hukum imperative harus ditaati secara mutlak sedangkan fakultatif masih bisa ada pilihan dan sebagainya”.

4.      Hukum Tertulis, Hukum Tidak tertulis, dan Hukum Tercatat
a.      Hukum Tertulis (geschreven recht) ialah hukum yang mencakup perundang-undangan dalam berbagai bentuk yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan traktat yang dihasilkan dari hubungan hukum internasional. Walaupun demikian undang-undang yang dibuat secara nasional dapat berisi hukum internasional, yaitu hukum yang berhubungan dengan peristiwa internasional.
                                                                    I.            Hukum tertulis yang dikodifikasikan, misalnya Hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Hukum Perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (WvK).
                                                                  II.            Hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan, misalnya Undang-Undang: Merek, Hak Cipta, Hak Paten, Kepailitan, Arbitrase, Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi, Notaris, dan sebagainya.
Kodifikasi adalah membukukan hukum sejenis, secara lengkap, sistematis menjadi satu dalam satu kitab undang-undang.
b.      Hukum Tidak Tertulis (ongeschreven recht) ialah hukum yang hidup dalam masyarakat, meskipun tidak tertulis, tetapi ditaati dalam pergaulan hukum di masyarakat.
c.       Hukum Tercatat
Kembali pada hukum tidak tertulis perlu sedikit dijelaskan bahwa ada hukum tidak tertulis yang benar-benar tidak pernah ditulis sama sekali dan ada pula hukum yang tidak tertulis yang tercatat. Mengenai hukum tercatat yang tidak termasuk sebagai hukum tertulis lebih jelas dipelajari Purnasi Purbacaraka – Soerjono Soekanto, “Aneka Cara Pembedaan Hukum”, Alumni Bandung, 1980.
5.      Hukum Alam/Kodrati dan Hukum Positif
a.      Hukum Alam ialah ekspersi dari kegiatan manusia yang mencari keadilan sejati yang mutlak. Apabila orang mengikuti sejarah hukum alam maka ia sedang mengikuti sejarah umat manusia  yang berjuang untuk menemukan keadilan yang mutlak didunia ini serta kegagalannya. Sepanjang waktu yang membentang ribuan tahun lamanya, juga sampai kepada masa sekarang ini, ide tentang hukum alam selalu ada saja muncul sebagai manifestasi dari usaha manusia yang demikian itu, yaitu yang merindukan adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum positif.
Menurut ajaran ini (hukum alam), kaidah hukum adalah hasil dari titah Tuhan dan langsung berasal dari tuhan. Oleh karena itu, ajaran ini mengakui adanya suatu hukum yang benar dan abadi, sesuai dengan ukuran kodrat, serta selaras dengan alam. Dicurahkan ke dalam jiwa manusia untuk memerintahkan agar setiap orang melakukan kewajibannya dan melarang setiap orang melakukan perbuatan kejahatan. Hukum tersebut tidak dapat dihapuskan oleh perwakilan rakyat, bahkan raja sekalipun. Menguasai seluruh tempat dan masa. Dengan istilah Cicere “tuhan yang menetapkan dan mengeluarkannya”
Upaya mencari hukum yang ideal ini berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Ajaran-ajaran hukum alam telah banyak dipergunakan oleh berbagai bagian masyarakat dan generasi, untuk mengungkapkan aspirasi-aspirasinya. Dalam sejarah tercermin bahwa ajaran hukum alam dapat dipergunakan sebagai senjata untuk perkembangan politik dan hukum.

b.      Hukum Positif (stellingrecht), merupakan suatu kaidah yang berlaku, sebenarnya merumuskan suatu hubungan yang pantas antara hukum dengan akibat hukum yang merupakan abstraksi dari keputusan-keputusan. Keputusan yang konkrit sebagai fakta social yang mengatur hungan-hubungan, senantiasa terjadi dalam suatu tertib pergaulan hidup. Menurut Logemann hukum Positif adalah kenyataan hukum yang dikenal.

·         Pembedaan antara hukum alam dengan hukum positif terletak pada ruang lingkup dari hukum, menurut Purnadi-Soerjono :
a.      Hukum Alam
Prinsipnya dapat diberlakukan di manapun dan kapanpun. (Universal). Hukum Alam hanya memuat asas – asas umum seperti misalnya :
                                                                      I.            Berbuat baik dan jauhilah kejahatan.
                                                                    II.            Bertindaklah menurut pikiran yang sehat.
                                                                  III.            Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri.
Menurut thomas van aquino, asas – asas pokok tersebut mempunyai kekuatan yang mutlak, tidak mengenal kekecualian, berlaku dimana-mana dan tetap tidak berubah sepanjang jaman.
b.      Hukum Positif
Orientasinya adalah pada tempat dan waktu tertentu. (Terbatas).

·         Berdasarkan ketergantungannya :
a.      Hukum Alam
Hukum alam bergantung pada norma-norma yang bukan makna dari tindakan kemauan manusia. Nilai-nilainya sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitraiy), subjektif atau relative.
b.      Hukum Positif
Hukum positif ialah hukum yang dijadikan khusus oleh suatu perbuatan manusia; oleh sebab itu, hukum positif itu di dalam wujudnya tergantung pada perbuatan manusia sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum bukanlah hal yang statis bukan hal yang sudah pasti. Hukum itu abstrak dan beragam bahkan sampai detik ini sarjana-sarjana hukum mencari apa itu hukum.

B.    Saran
Seperti yang kita ketahui hukum terbagi menjadi banyak bagian dan setiap bagian terbagi lagi menjadi bagian dan seterusnya. Sehingga kita harus banyak membaca buku-buku yang berkaitan dengan hukum dan bagian-bagiannya untuk memahami penjelasan yang kurang jelas dari makalah ini atau yang bersangkutan dengan materi ini. Sebagai calon sarjana hukum sudah sewajibnya kita mengetahui dasar-dasar dari teori hukum itu terlebih dahulu. Karna apabila kita membangun rumah tanpa pondasi maka sangat diyakinkan rumah itu tidak akan berdiri.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Pengantar Ilmu Hukum, DR.Soedjono Dirdjosisworo, SH.,hlm.166-167

2.      Pengantar Ilmu Hukum, DR.Soedjono Dirdjosisworo, SH.,hlm.166

3.      Filsafat,Teori,dan Ilmu Hukum,Prof.DR.Teguh Prasetyo,S.H.,M.Si.,DR.Abdul Halim Barkatullah,S.Ag.,S.H.,M.hum,hlm.91

4.      Ilmu Hukum, Prof. Dr. satjipto Rahardjo, S.H.

5.      Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Indonesia, Drs. C. S. T. Kansil, S.H.

6.      Pengantar Ilmu hukum (edisi revisi), Prof. Peter Mahmud Marzuki.

7.      Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Prof.DR.Teguh Prasetyo,S.H.,M.Si.,DR.Abdul Halim Barkatullah,S.Ag.,S.H.,M.hum.